Boleh Berkurban dengan Hewan Apapun yang Halal, Termasuk Ayam

Kamis, 10 Juni 2021 - 18:55 WIB
loading...
Boleh Berkurban dengan...
Ilustrasi/Ist
A A A
Abu Muhammad Ali ibn Ahmad ibn Said ibn Hazm (wafat 1064) terkenal dengan Ibnu Hazm adalah tokoh Muslim dari zaman klasik yang mengkaji agama-agama. Dilahirkan di kota Cordoba pada 30 Ramadhan 384 H. Beliau tergolong ulama besar Andalus pada masanya dan termasuk ulama yang sangat produktif dalam menghasilkan karya tulis yang fenomenal.



Dalam bidang fiqih, mulanya Ibn Hazm bermazhab Syafi’i. Belakangan ia berpindah menjadi seorang Dzahiri. Dia pembela gigih mazhab ini.

Beberapa pendapat Fiqih Ibnu Hazm ada yang berbeda dengan ulama kebanyakan. Perihal masalah kurban, misalnya, dia berpendapatboleh berkurban dengan hewan apapun yang halal.

Sedangkan mayoritas ulama dari empat mazhab fiqih, yaitu Al Hanafiyah, Al Malikiyah, Asy Syafi’iyah dan Al Hanabilah sepakat bahwa hewan yang boleh dikurbankan hanyalah hewan ternak berkaki empat, atau yang dikenal dengan istilah Al An’am dalam buku-buku fiqih, yaitu unta, sapid dan kambing. Maka menurut mereka selain hewan-hewan tersebut tidak boleh dijadikan hewan kurban.

Berbeda dengan Ibnu Hazm. Dalam masalah ini beliau menyelisihi mayoritas ulama. Beliau berpendapat bahwa berkurban boleh dengan semua hewan yang dagingnya halal dimakan, baik itu hewan berkaki empat seperti unta, sapi, kambing, kuda dan hewan-hewan lain yang boleh dimakan atau unggas seperti ayam, bebek dan burung-burung yang dagingnya dihalalkan dalam Islam. (Al Muhalla, jilid 6, hal. 29)



Tak hanya itu. Beda pendapat fiqih juga terjadi pada beberapa hal lainnya.

Pertama, tentang lupa niat puasa di malam hari. Menurut Ibnu Hazm, jika seseorang lupa melakukan niat puasa Ramadhan di malam hari, dan baru ingat di siangnya atau bahkan baru ingat ketika hampir waktu buka dan tidak tersisa waktunya kecuali hanya sekadar untuk niat saja, maka ia harus berniat puasa pada saat itu juga, puasanya sah dan tidak perlu diqadha, walaupun ia sudah makan dan minum atau bahkan sudah berhubungan suami istri. (Ibnu Hazm w. 456 H, Al Muhalla, jilid 4 hal. 290)

Kedua, berbohong membatalkan puasa. Menurut Imam Madzhab Al Hazmiyah, sesorang yang sedang berpuasa jika melakukan maksiat seperti berbohong, menggunjing atau menggibah orang, mengadu domba, berbuat dzolim ataupun maksiat-maksiat lain jika ia lakukan dengan sengaja dan dalam keadaan tidak lupa bahwa ia sedang puasa maka puasanya batal dan tidak sah, bukan hanya pahala puasanya yang batal seperti pendapat jumhur. (Ibnu Hazm w. 456 H, Al Muhalla, jilid 4 hal. 304)



Ketiga, harus diam. Wanita bikr (perawan) jika ingin dinikahi atau dinikahkan maka terlebih dahulu dimintai izinnya. Izinnya menurut mayoritas ulama fiqih minimal adalah diamnya ia, dan jika ia berkata "iya" atau memberikan isyarat setuju maka hal itu lebih boleh.

Pendapat ini berdasarkan hadis Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam saat ditanya oleh para sahabatnya bagaimana izinnya wahai Rasulallah?

Beliau menjawab: "izinnya adalah diamnya".

Adapun selebihnya, maka mereka berdalil dengan mafhum muwafaqah hadis tersebut, kalau diamnya saja merupakan izin, maka apalagi jika si dia mengatakan "iya" atau memberi isyarat setuju, maka itu merupakan izin + +. Begitu menurut jumhur fuqaha.

Namun berbeda dengan Ibnu Hazm. Beliau tidak sepenuhnya setuju dengan mayoritas ulama mengenai izin wanita bikr ini. Menurut beliau wanita perawan ketika dimintai izin untuk dinikahkan maka pokoknya ia harus diam jika memang setuju untuk dinikahkan. Jika ia berkata "iya" atau "mau" atau "setuju" maka itu tidak dianggap izin dan ia tidak boleh dinikahkan; karena ia tidak diam.

Dalam bukunya Al Muhalla beliau berkata: "Setiap perawan maka izinnya ketika ingin dinikahkan hanyalah diamnya, jika ia diam maka berarti ia mengizinkan dan nikahnya menjadi lazim, namun jika ia berkata "setuju" atau "tidak setuju" atau perkataan lain, maka tidak boleh dinikahkan" (Al Muhalla jilid 9/hal 57)

Dalil yang digunakan Ibnu Hazm untuk pendapatnya ini sama dengan dalil jumhur ulama, yaitu hadis:

"ولا تنكح البكر حتى تستأذن" قالوا: يا رسول الله وكيف إذنها؟ قال: "أن تسكت"

"Wanita perawan tidak boleh dinikahkan hingga dimintai izin'. Para sahabat bertanya: bagaimana izinnya wahai Rasulallah? Beliau menjawab: "diamnya ia"
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3395 seconds (0.1#10.140)