Raja yang Mewakili Rasululullah SAW Saat Menikahi Ummu Habibah

Rabu, 07 Juli 2021 - 10:23 WIB
loading...
Raja yang Mewakili Rasululullah SAW Saat Menikahi Ummu Habibah
Ilustrasi/Ist
A A A
MEMASUKI tahun baru 7 Hijriyah, Rasulullah berkehendak untuk berdakwah kepada enam orang pemimpin negeri tetangga agar mau masuk agama Islam. Beliau menulis untuk mengingatkan mereka akan iman, dan menasihatkan akan bahaya syirik dan kekufuran. Maka beliau menyiapkan enam orang sahabat. Terlebih dulu mereka mempelajari bahasa kaum yang hendak didatangi agar dapat menyelesaikan tugas dengan sempurna.



Setelah siap, keenam sahabat itu berangkat pada hari yang sama. Di antara mereka ada Amru bin Umayah Adh-Dhamari yang diutus kepada Najasyi di negeri Habasyah.

Sampailah Amru bin Umayah Adh-Dhamari di hadapan Najasyi. Dia memberi salam secara Islam dan Najasyi menjawabnya dengan lebih indah serta menyambutnya dengan baik.

Setelah dipersilakan duduk di majelis Habasyah, Amru bin Umayah memberikan surat Rasulullah SAW kepada Najasyi dan langsung dibacanya. Di dalamnya tertulis ajakan kepada Islam, disertai beberapa ayat Al-Qur’an. Najasyi menempelkan surat itu di kepala dan matanya dengan penuh hormat.

Setelah itu dia turun dari singgasana dan menyatakan keislamannya di hadapan hadirin. Selesai mengucapkan syahadat, dia berkata, “Kalau saja aku mampu untuk mendatangi Muhammad SAW niscaya aku akan duduk di hadapan beliau dan membasuh kedua kakinya.”

Kemudian beliau menulis surat jawaban kepada Rasulullah SAW berisi pernyataan menerima dakwahnya dan keimanan atas nubuwatnya.

Selanjutnya Amru bin Umayah menyodorkan surat Nabi SAW yang kedua. Dalam surat itu Rasulullah SAW meminta agar Najasyi bertindak sebagai wakil untuk pernikahan beliau dengan Ramlah binti Abu Sufyan yang termasuk rombongan Muhajirin ke Habasyah.



Ummu Habibah
Sedangkan Ramlah yang biasa dipanggil Ummu Habibah itu, memiliki liku-liku hidup yang berakhir dengan kebahagiaan. Meski sepintas, marilah kita simak pejalanannya.

Ramlah binti Abu Sufyan adalah salah satu penentang kepecayaan ayahnya sang pemuka Quraisy itu. Dia menyatakan keimanannya kepada Allah dan rasul-Nya bersama suaminya Ubaidullah bin Jahsy. Oleh karena itu pasangan suami istri ini termasuk yang mendapat gangguan dari orang-orang Quraisy.

Keduanya ikut dalam rombongan muhajirin yang berlindung kepada Najasyi di Habasyah demi mempertahankan Dienullah. Seperti yang telah disampaikan, para muhajirin itu mendapat pelayanan yang baik dan jaminan keamanan dari Najasyi, sehingga terbayang dalam angan Ummu Habibah bahwa semua deritanya akan segera berlalu. Dia tidak tahu apa yang disembunyikan takdir untuknya.

Allah berkendak menguji Ummu Habibah dengan ujian berat yang mampu menggoncangkan akal. Tidak disangka, Ubaidullah bin Jahsy menjadi murtad. Dia masuk agama Nasrani dan berbalik memusuhi Islam serta kaum muslimin. Pekerjaannya hanya duduk-duduk di tempat maksiat dan menjadi pemabuk berat. Bahkan dia memberikan tawaran kepada Ummu Habibah, ikut agama Masehi seperti dirinya atau diceraikan.

Di hadapan Ummu Habibah ada tiga pilihan yang sulit. Pertama, mengikuti suami dan menjadi seorang Nasrani, yang demikian akan dikutuk dunia dan akhirat. Kedua, kembali kepada ayahnya yang masih hidup dalam kemusyrikan. Dan ketiga, tetap di Habasyah, seorang diri dalam pengasingan bersama putrinya, Habibah.

Akhirnya beliau mengutamakan ridha Allah di atas segala masalah dan bertekad tetap tinggal di Habasyah bersama muhajirin lainnya sampai Allah menunjukkan jalan keluar.

Tak berselang lama beliau merasakan duka cita, suaminya mati dalam keadaan mabuk. Setelah masa iddahnya habis, datanglah pertolongan Allah untuknya.



Pagi itu amat cerah, saat terdengar ketukan di pintu rumah Ummu Habibah. Ketika dibuka, seorang wanita utusan Najasyi memberi salam dan berkata, “Tuanku Najasyi mengirimkan salamnya untuk Anda dan berpesan bahwa Muhammad Rasulullah SAW telah meminang Anda. Baginda Najasyi ditunjuk sebagai wakil untuk akad nikah. Maka bila Anda menerima pinangan itu, bersiaplah segera siapa yang Anda tunjuk sebagai wali.”

Betapa tidak terukur kebahagiaan Ummu Habibah. Beliau berkata kepada utusannya tersebut, “Semoga Anda mendapatkan kebahagiaan dari Allah.” Kemudian Ummu Habibah berkata, “Aku menunjuk Khalid bin Sa’id bin Ash sebagai waliku karena dialah kerabatku yang terdekat di negeri ini.”

Begitulah, hari itu istana Najasyi tampak semarak. Seluruh sahabat yang ada di Habasyah hadir untuk menyaksikan pernikahan Ummu Habibah dengan Rasulullah SAW. Setelah segalanya siap, Najasyi mengucapkan salam dan tahmid dan berkata, “Amma ba’du, saya penuhi permintaan Rasulullah SAW untuk menikah dengan Ramlah binti Abi Sufyan. Dan saya berikan mahar sebagai wakil Rasulullah berupa empat ratus dinar emas berdasarkan sunnatullah dan sunnah Rasul-Nya.”

Khalid bin Sa’id bin Ash sebagai wali Ummu Habibah berkata, “Saya terima permintaan Rasulullah SAW dan saya nikahkan Ramlah binti Abi Sufyan yang memberi saya wakalah dengan Rasulullah. Semoga Allah memberkahi rasul dan istrinya.” Selamat atas Ramlah dengan anugerah yang agung tersebut.

Kemudian Najasyi mempersiapkan dua buah kapal untuk mengantarkan Ummul mukminin Ramlah binti Abi Sufyan dan putrinya. Habibah beserta sisa-sisa kaum muslimin yang ada di Habasyah. Sejumlah rakyat Habsyi yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya turut bersama mereka. Mereka rindu untuk berjumpa langsung dengan Rasulullah SAW dan salat di belakang beliau. Rombongan tersebut dipimpin oleh Ja’far bin Abi Thalib.

Najasyi juga memberikan hadiah-hadiah kepada Ummu Habibah berupa wewangian mahal milik istri-istrinya, juga beberapa bingkisan untuk Rasulullah SAW, di antaranya ada tiga batang tongkat Habasyah yang terbuat dari kayu-kayu pilihan.

Di kemudian hari, satu tongkat itu dipakai oleh beliau sendiri, dan yang lain dihadiahkan kepada Umar bin Khathab dan Ali bin Abi Thalib .

Bilal selalu membawanya bila berjalan di muka Rasulullah SAW tongkat tersebut juga biasa didirikan di hadapan Nabi (sebagai sutrah) ketika ditegakkan salat. Yakni tatkala tempat-tempat yang tidak ada masjid atau bangunan lainnya atau di dalam perjalanan, dalam salat-salat I’ed dan salat istisqa’.

Pada masa khilafah Abu Bakar Ash-Shiddiq, Bilal adalah yang memegang tongkat itu. Lalu pada zaman Umar bin Khathab dan Utsman bin Affan, tongkat tersebut beralih ke tangan Sa’ad Al-Qarazhi. Begitu seterusnya setiap pergantian khalifah.

Ada juga hadiah perhiasan-perhiasan, di antaranya ada cincin emas. Nabi SAW menerima tetai tidak dipakai sendiri melainkan diberika kepada Umamah, cucu dari putri beliau, Zaenab, “Pakailah ini wahai cucuku.”

Tidak berselang lama sebelum Fathu Makkah, Najasyi wafat, Rasulullah SAW memanggil para sahabat untuk melakukan salat ghaib. Padahal Rasul belum pernah salat ghaib sebelum wafatnya dan tidak pula setelahnya. Semoga Allah meridhai Najasyi dan menjadikan surga-Nya yang kekal sebagai tempat kembalinya.

Sungguh dia telah menguatkan kaum muslimin di saat mereka lemah, memberikan rasa aman di saat mereka ketakutan dan dia melakukan hal itu semata-mata karena mencari ridha Allah Ta’ala.”
(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1263 seconds (0.1#10.140)