Sa’ad bin Muadz (2): Begini Sikapnya Ketika Tidak Menyetujui Keputusan Rasulullah SAW

Senin, 06 September 2021 - 12:02 WIB
loading...
Sa’ad bin Muadz (2): Begini Sikapnya Ketika Tidak Menyetujui Keputusan Rasulullah SAW
Saad bin Muadz tak segan-segan mempertanyakan kebijakan Nabi SAW jika ia rasa kurang pas. Ilustrasi/Ist
A A A
Sa’ad bin Muadz ra adalah sahabat Nabi SAW . Beliau adalah sahabat yang diajak berunding Rasulullah SAW perihal perjanjian damai dari Pemimpin kaum Yahudi Madinah. Terhadap pendapat Rasulullah yang menurutnya kurang pas, Sa’ad bin Muadz ra bertanya: “Ya, Rasulullah ini pendapat Anda pribadi apa titah dari Allah SWT?”



Alkisah, tatkala Rasulullah SAW bersama para sahabat hidup dengan sejahtera di Madinah, segolongan pemimpin Yahudi secara diam-diam pergi ke Mekkah lalu menghasut orang- orang Quraisy terhadap Rasulullah sambil memberikan janji dan ikrar akan berdiri di samping Quraisy bila terjadi peperangan dengan orang-orang Islam nanti.

Pendeknya mereka telah membuat perjanjian dengan orang-orang musyrik itu, dan bersama- sama telah mengatur rencana dan siasat peperangan. Di samping itu dalam perjalanan pulang mereka ke Madinah, mereka berhasil pula menghasut suatu suku terbesar di antara suku-suku Arab yaitu kabilah Gathfan dan mencapai persetujuan untuk menggabungkan diri dengan tentara Quraisy.

Siasat peperangan telah diatur dan tugas serta peranan telah dibagi-bagi. Quraisy dan Gathfan akan menyerang Madinah dengan tentara besar, sementara orang-orang Yahudi , di waktu Kaum Muslimin mendapat serangan secara mendadak itu, akan melakukan penghancuran di dalam kota dan sekelilingnya!

Begitu Nabi SAW mengetahui permufakatan jahat ini, beliau mengambil langkah-langkah pengamanan. Dititahkannyalah menggali khandak atau parit perlindungan sekeliling Madinah untuk membendung serbuan musuh. Di samping itu diutusnya
pula Sa'ad bin Mu'adz dan Sa'ad bin Ubadah kepada Ka'ab bin Asad pemimpin Yahudi suku Ouraidha untuk menyelidiki sikap mereka yang sesungguhnya terhadap orang yang akan datang, walaupun antara mereka dengan Nabi SAW sebenarnya sudah ada
beberapa perjanjian dan persetujuan damai.

Dan alangkah terkejutnya kedua utusan Nabi, karena ketika bertemu dengan pemimpin Bani Quraidha itu, jawabnya ialah: "Tak ada persetujuan atau perjanjian antara Kami dengan Muhammad!"



Menghadapkan penduduk Madinah kepada pertempuran sengit dan pengepungan ketat ini, terasa berat bagi Rasulullah SAW. OLeh sebab itulah beliau memikirkan sesuatu siasat untuk memisahkan suku Gathfan dari Quraisy, hingga musuh yang akan menyerang, bilangan dan kekuatan mereka akan tinggal separoh.

Siasat itu segera beliau laksanakan yaitu dengan mengadakan perundingan dengan para pemimpin Gathfan dan menawarkan agar mereka mengundurkan diri dari peperangan dengan imbalan akan beroleh sepertiga dari hasil pertanian Madinah. Tawaran itu disetujui oleh pemimpin Gathfan, dan tinggal lagi mencatat persetujuan itu hitam di atas putih.

Sewaktu usaha Nabi sampai sejauh ini, beliau tertegun, karena menyadari tiadalah sewajarnya ia memutuskan sendiri masalah tersebut. Maka dipanggilnyalah para sahabatnya, terutama Sa'ad bin Mu'adz dan Sa'ad bin Ubadah. Buah pikiran mereka amat diperhatikannya, karena kedua mereka adalah pemuka Madinah, dan yang pertama kali berhak untuk membicarakan soal tersebut dan memilih langkah mana yang akan diambil.

Rasulullah menceritakan kepada keduanya tentang peristiwa perundingan yang berlangsung antaranya dengan pemimpin-pemimpin Gathfan. Tak lupa ia menyatakan bahwa langkah itu diambilnya ialah karena ingin menghindarkan kota dan penduduk Madinah dari serangan dan pengepungan dahsyat.

Kedua pemimpin itu tampil mengajukan pertanyaan: "Wahai Rasulullah, apakah ini pendapat Anda sendiri, ataukah wahyu yang dititahkan Allah ... ?"



Rasulullah menjawab: "Bukan, tetapi ia adalah pendapatku yang kurasa baik untuk tuan-tuan! Demi Allah, saya tidak hendak melakukannya kecuali karena melihat orang-orang Arab hendak memanah tuan-tuan secara serentak dan mendesak tuan-tuan dari segenap jurusan. Maka saya bermaksud hendak membatasi kejahatan mereka sekecil mungkin.. !"

Sa'ad bin Mu'adz merasa bahwa nilai mereka sebagai laki-laki dan orang-orang beriman, mendapat ujian betapa juga coraknya.

Maka katanya: 'Wahai Rasulullah! Dahulu kami dan orang-orang itu berada dalam kemusyrikan dan pemujaan berhala, tiada mengabdikan diri pada Allah dan tidak kenal kepada-Nya, sedang mereka tak mengharapkan akan dapat makan sebutir kurma pun dari hasil bumi kami kecuali bila disuguhkan atau dengan cara jual beli. Sekarang, apakah setelah kami beroleh kehormatan dari Allah dengan memeluk Islam dan mendapat bimbingan untuk menerimanya, dan setelah kami dimuliakan-Nya dengan Anda dan dengan Agama itu, lain kami harus menyerahkan harta kekayaan kami?

Demi Allah, kami tidak memerlukan itu, dan demi Allah, kami tak hendak memberi kepada mereka kecuali pedang, hingga Allah menjatuhkan putusan-Nya dalam mengadili kami dengan mereka!"

Tanpa bertangguh Rasulullah SAW mengubah pendiriannya dan menyampaikan kepada para pemimpin suku Gathfan bahwa sahabat-sahabatnya menolak rencana perundingan, dan bahwa beliau menyetujui dan berpegang kepada putusan
sahabatnya. (Bersambung)

(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3023 seconds (0.1#10.140)