Hukum Mengonsumsi Obat Kuat: Sunah, Mubah, Apa Haram?

Selasa, 07 September 2021 - 15:11 WIB
loading...
Hukum Mengonsumsi Obat Kuat: Sunah, Mubah, Apa Haram?
Hukum mengonsumsi obat kuat bisa sunah, bisa haram, tergantung pada kondisi apa seorang suami melakukan itu. (Ilustrasi/Ist
A A A
Mengonsumsi obat kuat lazim dilakukan sementara suami agar kuat dalam bersenggama dalam rangka menjalankan kewajiban ranjang terhadap istrinya yang sah. Lalu, bagaimana hukumnya berdasarkan syariat Islam?



Syekh Abu Bakar bin Muhammad Syatha dalam karyanya I’ânatuth Thâlibîn menyebutkan, hukum meminum obat kuat dengan tujuan supaya kuat dalam bersenggama dengan istri sunnah selama menggunakan obat yang diperbolehkan secara medis dan dengan tujuan yang baik seperti menjaga keluarga supaya tetap romantis dan mendapatkan keturunan.

Selain itu, hubungan ranjang yang berkualitas dinilai menjadi salah satu faktor suami untuk kian dicintai. Sedangkan suami dianjurkan melakukan ikhtiar supaya dicintai istrinya.

Abu Bakar bin Muhammad Syatha ad-Dimyathi menyebutkan disunnahkan bagi lelaki menggunakan media yang bisa memperkuat tubuh dengan obat-obatan yang diperkenankan namun harus dengan memperhatikan aturan-aturan medis serta mempunyai tujuan yang baik, seperti menjaga keharmonisan keluarga dan keturunan. Karena hal tersebut merupakan media supaya lelaki tetap dicintai istrinya.

"Oleh karena itu sebaiknya lelaki memang dicintai istrinya. Banyak masyarakat yang tidak menggunakan obat kuat tersebut. Akhirnya senggamanya menghasilkan bahaya yang cukup besar,” tulisnya.

Kesimpulan dari penjelasan di atas adalah, petama, sunnah menggunakan obat kuat selama tidak bertentangan dengan aturan medis (menimbulkan mudarat secara kesehatan, red); kedua, bagi lelaki sebaiknya mencari cara yang dihalalkan syara’ supaya tetap dicintai istrinya.



Dua Kondisi
Sementara itu, Syekh Zainal Abidin bin Syekh Azwan dalam karya tulisnya membagi dua kondisi seseorang mengkonsumsi obat kuat.

Kondisi pertama, karena ada dorongan kebutuhan seperti lanjut usia atau mengobati orang sakit. Maka penggunaannya menjadi mubah secara agama. Karena Islam memerintahkan seseorang untuk berobat. Dan mengambil sebab pengobatan.

Di antara hal itu sabda Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam:

‏ تَدَاوَوْا فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَمْ يَضَعْ دَاءً إِلاَّ وَضَعَ لَهُ دَوَاءً غَيْرَ دَاءٍ وَاحِدٍ الْهَرَمُ

“Berobatlah, karena sesungguhnya Allah Azza wa jalla tidak menaruh penyakit melainkan menaruh obatnya kecuali penyakit tua renta.” [HR. Tirmizi dan dishohehkannya. Abu Dawud dan Ibnu Majah]

Menurutnya, terkadang bisa menjadi sunah secara agama agar mendapatkan keturunan karena agama dalam nash syariat mewasiatkan hal itu.

Di antara nash tersebut adalah firman Allah Ta’ala:

فَالآَنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ

“Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu” [Al-Baqarah/2: 187].

Dan sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam:

تَزَوَّجُوا الْوَدُودَ الْوَلُودَ فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ الْأُمَمَ

“Menikahlah dengan wanita penyayang, yang memberi banyak keturunan. Karena saya bangga dengan banyaknya umat”[HR. Abu Dawud, Nasa’i dan ini shahih].
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2258 seconds (0.1#10.140)