Kisah Cinta Mengharukan Atikah dan Abdullah Putra Abu Bakar
loading...
A
A
A
Duhai Atikah sayang, aku tak mampu melupakanmu sepanjang mentari masih bersinar
Dan sepanjang merpati cantik itu masih bersuara indah
Duhai Atikah, hatiku sepanjang siang dan malam
Selalu bergantung pada dirimu tentang rasa dalam jiwa
Tak terbayangkan orang sepertiku menceraikan orang sepertimu hari ini
Tidak juga orang sepertimu yang diceraikan tanpa kesalahan
Ia berakhlak mulia, cerdas, terpandang
Dan kesempurnaan fisik yang dibalut malu dan kejujuran
Begitulah salah satu syair kesedihan Abdullah bin Abu Bakar setelah ayahnya menyuruh dirinya menceraikan istri tercinta, Atikah. Abdullah larut dalam kesedihan. Atikah, sungguh membuatnya mabuk kepayang.
Ibnu Hajar dalam Al Ishobah memaparkan tentang kisah Abdullah dan Atikah ini. Digambarkan, Atikah adalah wanita yang cantik jelita. Bukan hanya itu, dia juga berakhlak mulia. Nasabnya, Atikah binti Zaid bin Amr. Ia adalah wanita Quraisy, saudarinya Said bin Zaid, salah satu 10 sahabat yang dijamin masuk surga dalam satu hadis Nabi. Atikah juga adalah sepupu Umar bin Khattab .
Kecantikan dan keluhuran pribadi Atikah benar-benar menyihir hati Abdullah. Menyita seluruh jiwanya. Menyandera seutuh akalnya. Hari-harinya hanya mengagumi Atikah. Kecantikannya, jelitanya, dan adab mulianya.
Cinta Atikah nyaris tak menyisakan kehidupan Abdullah, kecuali mengagumi dan larut dalam cintanya. Setiap hari dan setiap saat. “Ia (Atikah) menyibukkannya(Abdullah) dari perang-perangnya,” tulis Imam Ibnu Hajar.
Karena mabuk cinta, membuat Abdullah enggan terlibat dalam berbagai ekspedisi yang dilakukan oleh kaum Muslimin. Inilah yang membuat Abu Bakar melampiaskan kemarahannya, dan mengatakan kepada anaknya dengan kata-kata bahwa kegagalan yang dilakukan Abdullah dalam dakwah sudah memasuki tahap yang mengkhawatirkan.
Dari Abdullah bin Aashim bin Al Mundzir dia mengatakan semenjak Abdullah menikahi Atikah, dia pun terus ingin bersamanya sehingga sering tertinggal dari kancah pertempuran. Maka ketika sang ayah melihat penurunan semangat sang putra dari jihad, dia pun merintahkan sang putra untuk menceraikan istrinya.
Abdullah tak peduli. Di dalam pikirannya hanya ada Atikah. Cinta telah mulai berubah menjadi diktator dan mulai terlihat angkuh, memaksa untuk hanya dia yang diperhatikan dan dipedulikan. Bahkan memaksa Abdullah untuk melupakan berbagai kewajiban hidup.
Abu Bakar meminta Abdullah menceraikan Atikah dalam waktu tiga hari sejak perintah itu dikeluarkan. Sang Ayah berasumsi hanya dengan cara itu kehidupan Abdullah bisa normal kembali. Perintah itu tak bisa ditawar. Sebagai anak yang patuh, Abdullah menuruti titah ayahanda.
Tapi Abdullah gundah gulana. Atikah telah menguasai hatinya. Setiap guratan kegundahannya itu dituangkan dalam untaian syair.
Mereka berkata: ceraikan ia dan tutuplah posisinya
Menetap dengan harapan jiwa terhadap mimpi orang yang tidur
Sesungguhnya berpisah dari keluarga yang telah kucintai mereka
Begitu besarnya dariku adalah sebuah hal yang berat
Sang ayah mengetahui apa yang sedang terjadi, namun ia tak peduli. Abu Bakar tak peduli bahwa cinta sang putera telah berkarat. Ia tak peduli apakah perpisahan adalah kemustahilan yang harus terjadi. Tak peduli apakah tidur tak lagi nyaman oleh usikan cinta dan kerinduan. Karena cinta telah egois dan angkuh.
Dan sepanjang merpati cantik itu masih bersuara indah
Duhai Atikah, hatiku sepanjang siang dan malam
Selalu bergantung pada dirimu tentang rasa dalam jiwa
Tak terbayangkan orang sepertiku menceraikan orang sepertimu hari ini
Tidak juga orang sepertimu yang diceraikan tanpa kesalahan
Ia berakhlak mulia, cerdas, terpandang
Dan kesempurnaan fisik yang dibalut malu dan kejujuran
Begitulah salah satu syair kesedihan Abdullah bin Abu Bakar setelah ayahnya menyuruh dirinya menceraikan istri tercinta, Atikah. Abdullah larut dalam kesedihan. Atikah, sungguh membuatnya mabuk kepayang.
Ibnu Hajar dalam Al Ishobah memaparkan tentang kisah Abdullah dan Atikah ini. Digambarkan, Atikah adalah wanita yang cantik jelita. Bukan hanya itu, dia juga berakhlak mulia. Nasabnya, Atikah binti Zaid bin Amr. Ia adalah wanita Quraisy, saudarinya Said bin Zaid, salah satu 10 sahabat yang dijamin masuk surga dalam satu hadis Nabi. Atikah juga adalah sepupu Umar bin Khattab .
Kecantikan dan keluhuran pribadi Atikah benar-benar menyihir hati Abdullah. Menyita seluruh jiwanya. Menyandera seutuh akalnya. Hari-harinya hanya mengagumi Atikah. Kecantikannya, jelitanya, dan adab mulianya.
Cinta Atikah nyaris tak menyisakan kehidupan Abdullah, kecuali mengagumi dan larut dalam cintanya. Setiap hari dan setiap saat. “Ia (Atikah) menyibukkannya(Abdullah) dari perang-perangnya,” tulis Imam Ibnu Hajar.
Karena mabuk cinta, membuat Abdullah enggan terlibat dalam berbagai ekspedisi yang dilakukan oleh kaum Muslimin. Inilah yang membuat Abu Bakar melampiaskan kemarahannya, dan mengatakan kepada anaknya dengan kata-kata bahwa kegagalan yang dilakukan Abdullah dalam dakwah sudah memasuki tahap yang mengkhawatirkan.
Dari Abdullah bin Aashim bin Al Mundzir dia mengatakan semenjak Abdullah menikahi Atikah, dia pun terus ingin bersamanya sehingga sering tertinggal dari kancah pertempuran. Maka ketika sang ayah melihat penurunan semangat sang putra dari jihad, dia pun merintahkan sang putra untuk menceraikan istrinya.
Abdullah tak peduli. Di dalam pikirannya hanya ada Atikah. Cinta telah mulai berubah menjadi diktator dan mulai terlihat angkuh, memaksa untuk hanya dia yang diperhatikan dan dipedulikan. Bahkan memaksa Abdullah untuk melupakan berbagai kewajiban hidup.
Abu Bakar meminta Abdullah menceraikan Atikah dalam waktu tiga hari sejak perintah itu dikeluarkan. Sang Ayah berasumsi hanya dengan cara itu kehidupan Abdullah bisa normal kembali. Perintah itu tak bisa ditawar. Sebagai anak yang patuh, Abdullah menuruti titah ayahanda.
Tapi Abdullah gundah gulana. Atikah telah menguasai hatinya. Setiap guratan kegundahannya itu dituangkan dalam untaian syair.
Mereka berkata: ceraikan ia dan tutuplah posisinya
Menetap dengan harapan jiwa terhadap mimpi orang yang tidur
Sesungguhnya berpisah dari keluarga yang telah kucintai mereka
Begitu besarnya dariku adalah sebuah hal yang berat
Sang ayah mengetahui apa yang sedang terjadi, namun ia tak peduli. Abu Bakar tak peduli bahwa cinta sang putera telah berkarat. Ia tak peduli apakah perpisahan adalah kemustahilan yang harus terjadi. Tak peduli apakah tidur tak lagi nyaman oleh usikan cinta dan kerinduan. Karena cinta telah egois dan angkuh.