Hukum Bercerai Saat Hamil Tidak Dilarang, Begini Penjelasannya
loading...
A
A
A
Hukum bercerai saat hamil tidaklah dilarang. Adapun anggapan yang tersebar di tengah masyarakat awam, bahwa wanita hamil tidak sah dicerai, adalah anggapan yang keliru.
Menurut pendapat mayoritas ulama, termasuk di antaranya adalah ulama dari mazhab Syafi’i , melakukan perceraian ketika istri dalam kondisi hamil tidak melanggar aturan agama.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim diceritakan bahwa Abdullah bin Umar RA menalak istrinya dalam kondisi haid. Kejadian itu kemudian diceritakan oleh Umar bin Khatthab RA kepada Rasulullah SAW .
Mendengar cerita tersebut lantas Rasulullah SAW meminta Umar bin Khattab RA agar memerintahkan putranya untuk kembali kepada istrinya. Baru kemudian jika ia tetap ingin menceraikannya, maka ceraikan ketika dalam kondisi suci atau hamil.
Artinya, “Dari Ibnu Umar RA bahwa ia pernah menalak istrinya dalam keadaan haid. Kemudian Umar bin Khattab RA menceritakan kejadian tersebut kepada Nabi. Lantas beliau pun berkata kepada Umar bin Khattab RA, ‘Perintah kepada dia (Ibnu Umar RA) untuk kembali kepada istrinya, baru kemudian talaklah dia dalam keadaan suci atau hamil,” (HR Muslim).
Perintah Rasulullah SAW kepada Ibnu Umar RA melalui ayahnya, yaitu Umar bin Khattab RA itu setidaknya mengadung dua hal penting.
Pertama, larangan untuk menalak wanita dalam keadaan haid. Kedua, kebolehan menalak wanita dalam keadaan suci atau hamil.
Senada dengan hal ini Muhyidin Syaraf An-Nawawi dalam Syarah Muslim-nya menjelaskan bahwa kandungan hadits tersebut menunjukkan kebolehan menalak wanita yang sedang hamil yang jelas kehamilannya.
Menurutnya, ini adalah pandangan Madzhab Syafi‘i. Lebih lanjut, menurut Ibnul Mundzir, pandangan Madzhab Syafi‘i ini adalah pendapat mayoritas ulama.
Ibnul Mundzir berkata, pandangan ini juga dianut oleh mayoritas ulama, antara lain Thawus, Al-Hasan, Ibnu Sirin, Rabiah, Hammad bin Abi Sulaiman, Malik, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, dan Abu Ubaid.
Ibnul Mundzir juga mengamini pendapat yang menyatakan kebolehan menalak wanita yang dalam kondisi hamil. Demikian juga sebagian ulama dari kalangan Mazhab Maliki. Namun ada juga sebagian ulama Mazhab Maliki yang mengharamkannya.
Sedangkan riwayat lain mengatakan, Al-Hasan berpendapat bahwa menalak wanita yang sedang hamil adalah makruh.
Ibnul Mundzir berkata, "Saya juga berpendapat demikian. Begitu juga dengan sebagian ulama dari kalangan Mazhab Maliki. Sedang sebagian yang lain menyatakan haram."
Ibnul Mundzir juga meriwayatkan riwayat jalur lain dari Al-Hasan. Menurut riwayat jalur ini, Al-Hasan berpendapat bahwa menalak wanita yang sedang hamil adalah makruh.” (Lihat Muhyiddin Syaraf An-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarhin Nawawi, juz V, halaman 325).
Laman resmi Nahdlatul Ulama menyampaikan bahwa berangkat dari penjelasan di atas, maka kita dapat menarik kesimpulan bahwa mayoritas ulama memperbolehkan penalakan wanita yang sedang hamil kendati ada yang menyatakan bahwa makruh dan haram. Namun pendapat yang dianggap kuat adalah pendapat mayoritas ulama yang memperbolehkan penalakan wanita yang sedang hamil. Dan iddah bagi wanita hamil yang ditalak adalah sampai ia melahirkan kandungannya sebagaimana firman Allah SWT berikut ini:
Artinya, “Wanita-wanita yang hamil waktu iddah mereka adalah sampai melahirkan kandungan,” ( QS At-Thalaq [65]: 4).
Menurut pendapat mayoritas ulama, termasuk di antaranya adalah ulama dari mazhab Syafi’i , melakukan perceraian ketika istri dalam kondisi hamil tidak melanggar aturan agama.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim diceritakan bahwa Abdullah bin Umar RA menalak istrinya dalam kondisi haid. Kejadian itu kemudian diceritakan oleh Umar bin Khatthab RA kepada Rasulullah SAW .
Mendengar cerita tersebut lantas Rasulullah SAW meminta Umar bin Khattab RA agar memerintahkan putranya untuk kembali kepada istrinya. Baru kemudian jika ia tetap ingin menceraikannya, maka ceraikan ketika dalam kondisi suci atau hamil.
عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ وَهِيَ حَائِضٌ فَذَكَرَ ذَلِكَ عُمَرُ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا ثُمَّ لِيُطَلِّقْهَا طَاهِرًا أَوْ حَامِلًا
Artinya, “Dari Ibnu Umar RA bahwa ia pernah menalak istrinya dalam keadaan haid. Kemudian Umar bin Khattab RA menceritakan kejadian tersebut kepada Nabi. Lantas beliau pun berkata kepada Umar bin Khattab RA, ‘Perintah kepada dia (Ibnu Umar RA) untuk kembali kepada istrinya, baru kemudian talaklah dia dalam keadaan suci atau hamil,” (HR Muslim).
Perintah Rasulullah SAW kepada Ibnu Umar RA melalui ayahnya, yaitu Umar bin Khattab RA itu setidaknya mengadung dua hal penting.
Pertama, larangan untuk menalak wanita dalam keadaan haid. Kedua, kebolehan menalak wanita dalam keadaan suci atau hamil.
Senada dengan hal ini Muhyidin Syaraf An-Nawawi dalam Syarah Muslim-nya menjelaskan bahwa kandungan hadits tersebut menunjukkan kebolehan menalak wanita yang sedang hamil yang jelas kehamilannya.
Menurutnya, ini adalah pandangan Madzhab Syafi‘i. Lebih lanjut, menurut Ibnul Mundzir, pandangan Madzhab Syafi‘i ini adalah pendapat mayoritas ulama.
Ibnul Mundzir berkata, pandangan ini juga dianut oleh mayoritas ulama, antara lain Thawus, Al-Hasan, Ibnu Sirin, Rabiah, Hammad bin Abi Sulaiman, Malik, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, dan Abu Ubaid.
Ibnul Mundzir juga mengamini pendapat yang menyatakan kebolehan menalak wanita yang dalam kondisi hamil. Demikian juga sebagian ulama dari kalangan Mazhab Maliki. Namun ada juga sebagian ulama Mazhab Maliki yang mengharamkannya.
Sedangkan riwayat lain mengatakan, Al-Hasan berpendapat bahwa menalak wanita yang sedang hamil adalah makruh.
Ibnul Mundzir berkata, "Saya juga berpendapat demikian. Begitu juga dengan sebagian ulama dari kalangan Mazhab Maliki. Sedang sebagian yang lain menyatakan haram."
Ibnul Mundzir juga meriwayatkan riwayat jalur lain dari Al-Hasan. Menurut riwayat jalur ini, Al-Hasan berpendapat bahwa menalak wanita yang sedang hamil adalah makruh.” (Lihat Muhyiddin Syaraf An-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarhin Nawawi, juz V, halaman 325).
Laman resmi Nahdlatul Ulama menyampaikan bahwa berangkat dari penjelasan di atas, maka kita dapat menarik kesimpulan bahwa mayoritas ulama memperbolehkan penalakan wanita yang sedang hamil kendati ada yang menyatakan bahwa makruh dan haram. Namun pendapat yang dianggap kuat adalah pendapat mayoritas ulama yang memperbolehkan penalakan wanita yang sedang hamil. Dan iddah bagi wanita hamil yang ditalak adalah sampai ia melahirkan kandungannya sebagaimana firman Allah SWT berikut ini:
وَأُولاتُ الأحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
Artinya, “Wanita-wanita yang hamil waktu iddah mereka adalah sampai melahirkan kandungan,” ( QS At-Thalaq [65]: 4).