Sejarah Puasa: Rahasia Dipilihnya Bulan Ramadhan sebagai Waktu Berpuasa

Selasa, 29 Maret 2022 - 15:24 WIB
loading...
Sejarah Puasa: Rahasia Dipilihnya Bulan Ramadhan sebagai Waktu Berpuasa
Ada kriteria yang telah terpenuhi oleh Ramadhan, sehingga bulan ini dipilih menjadi momen umat Islam berpuasa. Yakni, karena di bulan ini, turun Al-Quran. Foto/Ilusrasi: SINDOnews
A A A
Dipilihnya bulan Ramadhan sebagai waktu untuk berpuasa ternyata menyimpan rahasia. Syaikh Waliyullah al-Dahlawi dalam bukunya berjudul "Hujjah Allah al-Balighah" menyebut ada kriteria yang telah terpenuhi oleh Ramadhan, sehingga bulan ini dipilih menjadi momen umat Islam berpuasa . Yakni, karena di bulan ini, turun Al-Qur'an, dasar agama Islam sekaligus mukjizat paling agung.

Statemen al-Dahlawi juga telah dijelaskan lebih lanjut oleh Al-Razi saat menafsir surat al-Baqarah [2] ayat 185, bahwa ayat tersebut memuat ‘illat (alasan) mengapa perintah puasa jatuh pada bulan Ramadhan. ‘Illat itu tak lain karena di bulan Ramadhan turun tanda ketuhanan (ayat rububiyyah) yang paling agung, yaitu Al-Qur'an.

Oleh sebab itu, lanjut al-Razi, seorang hamba harus mengabdikan dirinya dengan mengamalkan ritus ibadah sebagai simbol penghambaan kepada Rabbnya (ayat ‘ubudiyyah). Kemudian puasa dipilih sebagai ritus ibadah tersebut.



Bertahab
Para ulama mengatakan bahwa pada awalnya, kaum muslimin diberi pilihan antara berpuasa atau memberi fidyah; yaitu berdasarkan firman-Nya:

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ ۖ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ ۚ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ ۖ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ


Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. ( QS Al-Baqarah / 2: 184)

Kemudian adanya pilihan di atas, dihapuskan hukumnya (dinaskh) dengan diwajibkannya puasa itu sendiri; dengan firman-Nya:

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ


Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, [ QS Al-Baqarah / 2: 185 ]



Dan hikmah dari hal tersebut adalah adanya tahapan (tadarruj; barangsur-angsur, tidak seketika) dalam menetapkan suatu syariat dan memberikan keringanan pada umat ini. Ketika mereka tidak terbiasa berpuasa, maka ditentukannya puasa atas mereka dari awal mula, maka itu hal yang begitu berat.

Pada mulanya, mereka diberi pilihan antara berpuasa atau memberi fidyah. Kemudian ketika keyakinan mereka sudah kuat dan jiwa mereka pun telah tenang serta mereka telah terbiasa puasa, maka diwajibkan atas mereka berpuasa saja. Untuk hal seperti ini ada padanannya dalam berbagai syariat Islam yang terasa berat; di mana itu disyariatkan dengan berangsur-angsur.

Akan tetapi yang sahih adalah bahwa ayat tersebut mansukh (dihapuskan hukumnya) bagi orang yang mampu untuk berpuasa. Adapun bagi orang yang tidak mampu berpuasa baik karena telah tua renta, atau sakit yang tak ada harapan sembuh; maka ayat tersebut tidaklah di-naskh (tidak dihapuskan hukumnya bagi mereka).

Mereka bisa berbuka dan memberi makan untuk setiap harinya seorang miskin. Dan tidak ada qadha’ atas mereka. Adapun orang selain mereka, maka yang wajib adalah berpuasa. Bila ia berbuka karena sakit yang menimpa, atau safar, maka wajib untuk diqadha’.



Ritus Kuno
Pada tahun kedua dari Hijrah, pada malam kedua dari Sya’ban, Allâh mewajibkan puasa atas kaum Muslimin.

Puasa merupakan ritus kuno bagi beragam agama jauh sebelum Islam datang. Louis Ma’luf dalam Kamus al-Munjid menyebutkan sejak abad 26 SM, bangsa Mesir dan Phoenisa sudah berpuasa untuk menghormati Dewi Izis, penentu nasib jodoh manusia.

Al-Tabari dalam Jami’ al-Bayan, juga menerangkan bahwa Umat Nasrani di masa silam telah berpuasa di bulan Ramadhan. Al-Bukhari dalam Shahihnya, juga mentakhrij hadis dari ‘Aisyah, tentang ibadah puasa kaum Jahiliyyah Arab di Hari ‘Asyura (10 Muharram).

Al-Jurjawi, dalam Hikmah Tasyri’, juga menerangkan bahwa Kaum Watsani (penyembah api dan berhala) berpuasa saat Tuhannya marah atau untuk meminta kerelaan Tuhan mereka atas pengharapan-pengharapan yang mereka langitkan.

Dalam tradisi Agama Yahudi, ‘Asyura juga diagungkan dan penganutnya puasa di hari itu. Di hari ‘Asyura, bahtera Nabi Nuh berlabuh di lembah Judiy dan Nabi Musa serta Bani Israel selamat dari kejaran Fir’aun dan bala tentaranya. Puasa dijadikannya ritus untuk memperingati momen penting itu.

Islam pun juga mensyariatkan puasa hari Asyura’ sebagai ibadah sunnah, dan bahkan wajib menurut Hanafiyyah. Hingga, pada tahun 2 Hijriah pada bulan Sya’ban, turunlah perintah wajib berpuasa Ramadhan bagi umat Islam.



Hamba yang Takwa
Berbeda dengan tujuan dan motivasi puasa dengan umat sebelumnya, Islam mensyariatkan puasa atas dasar ibadah dan bertujuan untuk menjadi hamba yang bertakwa. Seperti firman Allah dalam Surat al-Baqarah [2]: 185:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ


Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atasmu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (QS Al-Baqarah: 185)

Ayat tersebut menunjukkan bahwa tujuan puasa ialah membentuk ketakwaan dalam diri seorang muslim. Nabi SAW juga bersabda bahwa barangsiapa berpuasa di Bulan Ramadhan didasari oleh keimanan dan harapan mendapat pahala, maka dosanya yang telah lalu akan diampuni. Berikut ini sabda Nabi yang ditakhrij oleh Imam Muslim dalam kitab Sahihnya:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Barangsiapa berpuasa Ramadhan atas dasar keimanan dan mengharapkan pahala maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.



Dua Dimensi
Puasa, berdasarkan pengalaman para sufi terbukti ampuh untuk menyingkap tabir itu. Al-Razi menuturkan, puasa adalah sebab yang paling mujarab untuk menghilangkan egoisme manusia, sehingga patut dijadikan ritus ibadah di bulan Ramadhan. Keampuhan puasa sebagai penahan hawa nafsu dapat dicermati dari ketentuan puasa itu sendiri.

Puasa yang semakna dengan al-imsak (menahan) memiliki dua dimensi yang harus ditahan. Dimensi syar’i berupa menahan makan, minum, berhubungan suami-istri, dan dimensi akhlaki berupa egois, dengki, menggunjing, memfitnah, dan etika tercela lainnya.

Keefektifan puasa dalam menahan hawa nafsu juga disampaikan oleh Nabi. Menyitir dari al-Jurjawi, terdapat sabda Nabi:

من جاع بطنه عظمت فكرته وفطن قلبه

“Barangsiapa lapar, akan luas pikirannya dan peka hatinya.”

Begitu pula, dalam secuplik nasihat Lukman al-Hakim kepada anaknya, juga disampaikan bahwa perut yang penuh mengakibatkan pikiran tertutup, hati bungkam, dan tubuh lumpuh untuk beribadah.

(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1798 seconds (0.1#10.140)