Makna Simbolik Kata Ramadhan Menurut Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani
loading...
A
A
A
Syaikh Abdul Qadir al-Jilani dalam kitab "al-Ghunyah li Thalibi Thariq al-Haqqa Azza wa Jalla" mengurai tafsir puasa dan makna Ramadhan . Beliau pun menjelaskan persoalan syariat dan perintah puasa yang juga berlaku pada umat-umat terdahulu, terutama Yahudi dan Kristen . Ini dipantik dari diskusi tafsiran kalimat “kama kutiba alalladzina min qablikum” dalam surat al-Baqarah [2] ayat 183.
Dalam mengurai makna Ramadhan, Syekh Abdul Qadir Al-Jilani mengutip satu hadis yang bersumber dari Ibnu Umar ra yang mengisahkan sabda Nabi Muhammad SAW : “Kita adalah umat yang ummiy (buta huruf), kita tidak bisa menulis dan tidak pula menghitung. Satu bulan itu sama dengan begini, begini, dan begini (beliau menurunkan ibu jarinya pada kali yang ketiga), dengan mengenapkan menjadi tiga puluh.”
Menurutnya, dinamakan bulan (syahr) karena putihnya. Ini terambil dari kata syahirat (putih) yang artinya keputihan (al-bayadh). Selain itu, ada pula yang mengatakan: pedang itu tampak putih kemilau (syahirat) ketika terhunus; bulan terlihat terang keputihan saat kemunculannya.
Bertolak dari pengertian ini, Syekh Abdul Qadir al-Jilani melanjutkan pembahasan tentang perbedaan makna Ramadhan. Sebagian mengartikan dan memaknai Ramadhan sebagai nama Allah SWT. Ini disandarkan pada riwayat Jafar As-Shadiq yang bersumber dari ayahnya. Dia mengatakan, “Bulan Ramadan adalah bulannya Allah (Syahrullah).”
Oleh karena itulah, Syekh Abdul Qadir Al-Jilani mewanti-wanti agar jangan sekadar menyebutkan “Ramadhan” (tanpa “bulan’), tetapi hendaknya sematkan padanya kata “bulan (syahr)” sebagaimana Allah menyematkannya di dalam Al-Quran dalam firman-Nya “syahru ramadhan (bulan Ramadan).” Demikian penjelasan dari Anas bin Malik ra.
Adapun dinamakan Ramadhan karena di dalamnya terjadi perubahan sehingga cuaca menjadi panas, sehingga bebatuan pun memanas.
Ramadhan diambil dari ar-ramdhu, yang artinya hujan yang turun di tengah musim gugur. Maka pada bulan Ramadhan tubuh-tubuh dibersihkan dan disucikan dari berbagai keburukan, dan hati disucikan agar menjadi suci.
Lebih jauh dari makna-makna di atas bahwa pada bulan itu hati manusia dikeluarkan dari panas lewat nasehat dan pemikiran tentang urusan akhirat, layaknya mengangkat bebatuan dan kerikil dari panasnya matahari.
Derajat Tertinggi
Di sisi lain, Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani dalam "Tafsir al-Jilani" juga menafsirkan surat Al-Baqarah [2] ayat 186. Dia menyebut Ramadhan dalam konteks ayat ini merupakan bulan yang memiliki derajat dan martabat tertinggi serta paling mulia di sisi Allah.
Pada bulan ini, berdasarkan riwayat Ibnu Abbas, Al-Quran diturunkan secara keseluruhan dari Lauh al-Mahfuzh saat Lailatul Qadr. Kemudian diletakkan di Baitul Izzah di langit dunia, dan disampaikan oleh Malaikat Jibril kepada Nabi Muhamad SAW secara bertahap selama dua puluh tiga tahun. Tidak hanya itu, kemuliaan bulan Ramadhan ditambah dengan adanya fakta bahwa empat kitab (Al-Quran, Taurat, Zabur, dan Injil) juga diturunkan pada bulan itu.
Al-Quran diturunkan sebagai petunjuk bagi orang-orang (hudan lin nasi) yang beriman dengan keesaan Allah dan menghadapkan pandangannya yang menuntun ke arah tingkatan yakin (martabat al-yaqin).
Demikian pula, Al-Quran menjadi penjelas terhadap penyaksian dan tanda-tanda “petunjuk” yang begitu nyata. Petunjuk ini akan menyampaikan mereka yang telah tersingkap dari rahasia-rahasia keesaan (tauhid) menuju ke tingkatan kasat mata (ainul yaqin).
Sementara itu, fungsi Al-Quran sebagai pembeda (al-Furqan), atau yang menjadi pembeda antara al-Haqq (kebenaran sejati) yaitu Allah Yang Mahawujud dan al-bathil (kenisbian; ketiadaan) dari seluruh wujud alam semesta selain Allah itu sendiri. Pembeda (al-Furqan) ini akan mengantarkan mereka ke tingkatan pengetahuan hakiki (haqq al-yaqin).
Makna Simbolik
Syaikh Abdul Qadir al-Jilani menyematkan makna simbolik dari kata Ramadhan. Huruf ra sama dengan ridhwanullah (keridaan Allah); mim berarti muhabatullah (cinta kasih Allah terhadap para pelaku dosa); huruf dhadh diartikan dengan dhimmanullah (tanggung jawab atau garansi dari Allah); huruf alif bermakna alfatullah (keramahan Allah); huruf nun sama dengan nurullah (cahaya Allah).
Menurut Syaikh Abdul Qadir al-Jilani, karena itulah, bulan Ramadhan menjadi bulan keridhaan, bulan kecintaan Allah, bulannya Allah yang penuh tanggung jawab, bulan keramahan Allah, bulan limpahan dan karamah bagi para wali dan pelaku kebajikan.
Demikianlah, segala sesuatu memiliki pusat orbitnya masing-masing. Dari pusat orbit itulah semua hal bermula. Dia menjadi semacam pijakan awal dalam keberlangsungan alam semesta. Dia menjadi yang terbaik di antara yang lain.
Syaikh Abdul Qadir al-Jilani menandai Ramadhan sebagai punggawa di antara bulan-bulan lainnya (sayyidusy syuhur). Seperti Adam sebagai Tuan bagi sekalian manusia, Muhammad sebagai Tuannya bangsa Arab dan non Arab, Salman Al-Farisi sebagai punggawanya orang-orang Persia; Al-Baqarah sebagai sayyid Al-Quran, dan ayat kursi menjadi tuannya surat Al-Baqarah.
Ramadhan, kata Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani, ibarat hati di dalam dada; seperti kehadiran para nabi di antara sekian makhluk. Layaknya Mekkah bagi Arab, di mana Dajjal tak diizinkan menginjakkan kakinya di sana. Setan terbelenggu, dan para Nabi memberikan syafaat bagi para pelaku kemaksiatan.
Bulan Ramadhan menjadi syafaat bagi mereka yang berpuasa, sementara hati-hati dihiasi dengan cahaya makrifat dan keimanan. Bulan itu, dilimpahi kilauan bacaan Al-Quran.
Dalam mengurai makna Ramadhan, Syekh Abdul Qadir Al-Jilani mengutip satu hadis yang bersumber dari Ibnu Umar ra yang mengisahkan sabda Nabi Muhammad SAW : “Kita adalah umat yang ummiy (buta huruf), kita tidak bisa menulis dan tidak pula menghitung. Satu bulan itu sama dengan begini, begini, dan begini (beliau menurunkan ibu jarinya pada kali yang ketiga), dengan mengenapkan menjadi tiga puluh.”
Menurutnya, dinamakan bulan (syahr) karena putihnya. Ini terambil dari kata syahirat (putih) yang artinya keputihan (al-bayadh). Selain itu, ada pula yang mengatakan: pedang itu tampak putih kemilau (syahirat) ketika terhunus; bulan terlihat terang keputihan saat kemunculannya.
Bertolak dari pengertian ini, Syekh Abdul Qadir al-Jilani melanjutkan pembahasan tentang perbedaan makna Ramadhan. Sebagian mengartikan dan memaknai Ramadhan sebagai nama Allah SWT. Ini disandarkan pada riwayat Jafar As-Shadiq yang bersumber dari ayahnya. Dia mengatakan, “Bulan Ramadan adalah bulannya Allah (Syahrullah).”
Oleh karena itulah, Syekh Abdul Qadir Al-Jilani mewanti-wanti agar jangan sekadar menyebutkan “Ramadhan” (tanpa “bulan’), tetapi hendaknya sematkan padanya kata “bulan (syahr)” sebagaimana Allah menyematkannya di dalam Al-Quran dalam firman-Nya “syahru ramadhan (bulan Ramadan).” Demikian penjelasan dari Anas bin Malik ra.
Adapun dinamakan Ramadhan karena di dalamnya terjadi perubahan sehingga cuaca menjadi panas, sehingga bebatuan pun memanas.
Ramadhan diambil dari ar-ramdhu, yang artinya hujan yang turun di tengah musim gugur. Maka pada bulan Ramadhan tubuh-tubuh dibersihkan dan disucikan dari berbagai keburukan, dan hati disucikan agar menjadi suci.
Lebih jauh dari makna-makna di atas bahwa pada bulan itu hati manusia dikeluarkan dari panas lewat nasehat dan pemikiran tentang urusan akhirat, layaknya mengangkat bebatuan dan kerikil dari panasnya matahari.
Derajat Tertinggi
Di sisi lain, Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani dalam "Tafsir al-Jilani" juga menafsirkan surat Al-Baqarah [2] ayat 186. Dia menyebut Ramadhan dalam konteks ayat ini merupakan bulan yang memiliki derajat dan martabat tertinggi serta paling mulia di sisi Allah.
Pada bulan ini, berdasarkan riwayat Ibnu Abbas, Al-Quran diturunkan secara keseluruhan dari Lauh al-Mahfuzh saat Lailatul Qadr. Kemudian diletakkan di Baitul Izzah di langit dunia, dan disampaikan oleh Malaikat Jibril kepada Nabi Muhamad SAW secara bertahap selama dua puluh tiga tahun. Tidak hanya itu, kemuliaan bulan Ramadhan ditambah dengan adanya fakta bahwa empat kitab (Al-Quran, Taurat, Zabur, dan Injil) juga diturunkan pada bulan itu.
Al-Quran diturunkan sebagai petunjuk bagi orang-orang (hudan lin nasi) yang beriman dengan keesaan Allah dan menghadapkan pandangannya yang menuntun ke arah tingkatan yakin (martabat al-yaqin).
Demikian pula, Al-Quran menjadi penjelas terhadap penyaksian dan tanda-tanda “petunjuk” yang begitu nyata. Petunjuk ini akan menyampaikan mereka yang telah tersingkap dari rahasia-rahasia keesaan (tauhid) menuju ke tingkatan kasat mata (ainul yaqin).
Sementara itu, fungsi Al-Quran sebagai pembeda (al-Furqan), atau yang menjadi pembeda antara al-Haqq (kebenaran sejati) yaitu Allah Yang Mahawujud dan al-bathil (kenisbian; ketiadaan) dari seluruh wujud alam semesta selain Allah itu sendiri. Pembeda (al-Furqan) ini akan mengantarkan mereka ke tingkatan pengetahuan hakiki (haqq al-yaqin).
Makna Simbolik
Syaikh Abdul Qadir al-Jilani menyematkan makna simbolik dari kata Ramadhan. Huruf ra sama dengan ridhwanullah (keridaan Allah); mim berarti muhabatullah (cinta kasih Allah terhadap para pelaku dosa); huruf dhadh diartikan dengan dhimmanullah (tanggung jawab atau garansi dari Allah); huruf alif bermakna alfatullah (keramahan Allah); huruf nun sama dengan nurullah (cahaya Allah).
Menurut Syaikh Abdul Qadir al-Jilani, karena itulah, bulan Ramadhan menjadi bulan keridhaan, bulan kecintaan Allah, bulannya Allah yang penuh tanggung jawab, bulan keramahan Allah, bulan limpahan dan karamah bagi para wali dan pelaku kebajikan.
Demikianlah, segala sesuatu memiliki pusat orbitnya masing-masing. Dari pusat orbit itulah semua hal bermula. Dia menjadi semacam pijakan awal dalam keberlangsungan alam semesta. Dia menjadi yang terbaik di antara yang lain.
Syaikh Abdul Qadir al-Jilani menandai Ramadhan sebagai punggawa di antara bulan-bulan lainnya (sayyidusy syuhur). Seperti Adam sebagai Tuan bagi sekalian manusia, Muhammad sebagai Tuannya bangsa Arab dan non Arab, Salman Al-Farisi sebagai punggawanya orang-orang Persia; Al-Baqarah sebagai sayyid Al-Quran, dan ayat kursi menjadi tuannya surat Al-Baqarah.
Ramadhan, kata Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani, ibarat hati di dalam dada; seperti kehadiran para nabi di antara sekian makhluk. Layaknya Mekkah bagi Arab, di mana Dajjal tak diizinkan menginjakkan kakinya di sana. Setan terbelenggu, dan para Nabi memberikan syafaat bagi para pelaku kemaksiatan.
Bulan Ramadhan menjadi syafaat bagi mereka yang berpuasa, sementara hati-hati dihiasi dengan cahaya makrifat dan keimanan. Bulan itu, dilimpahi kilauan bacaan Al-Quran.
(mhy)