Begini Kondisi Kehidupan Nusantara di Zaman Nabi Muhammad SAW Berdakwah

Senin, 01 Agustus 2022 - 15:15 WIB
loading...
A A A
Pada tahun 674 - 675 M sampailah satu utusan bangsa Ta-Cheh ke Holing. Kagumlah utusan Ta-Cheh itu melihat bagaimana amannya negeri Holing di bawah perintah Ratu Simo sehingga pada suatu ketika, Raja Ta-Cheh itu mencoba mencecerkan (sepura) emas di tengah jalan, namun tidak ada orang yang sudi mengambilnya.

Sampai tiga tahun pundi-pundi emas itu terletak saja di tengah jalan. Bila ada orang sampai ke tempat barang itu terletak, ia akan sengaja mengelak ke tepi.

Pada suatu hari setelah tiga tahun, lewatlah Putra Mahkota Kerajaan Holing di tempat itu. Beliau melihat pundi-pundi terletak di tengah jalan, disepakkannya barang itu dengan kakinya sehingga pecahlah pundi-pundi itu dan tersembullah emas dari dalamnya.

Perbuatan Putra Mahkota itu rupanya dipandang suatu kesalahan besar oleh Ratu Simo, ibunya. Baginda amat murka setelah mengetahui kesalahan anaknya. Memberi malu bagi kerajaan di hadapan bangsa asing yang datang hendak menyaksikan keamanan dan kemakmuran negeri.

Putra Mahkota dipandang telah melanggar keluhuran budi. Oleh sebab itu, Putra Mahkota dihukum, kaki yang menyepak pundi-pundi wajib dipotong. Bagaimanapun para menteri membujuk agar baginda ratu mengurungkan niatnya untuk melakukan hukuman, namun ratu tidaklah mau undur. Kaki putra Mahkota dipotong.

Hamka mengatakan demikianlah cerita yang terekam di dalam catatan sejarah Tiongkok, yang menjadi bahan penelitian dari masa ke masa oleh ahli sejarah hingga ke zaman sekarang ini.

"Hasil penelitian menyatakan bahwa Cho-p'o itu adalah tanah Jowo, pulau Jawa kita ini," katanya.



Kerajaan Holing ialah Kerajaan Kalingga, yang memang pernah berdiri di Jawa Tengah (kata sebagian peneliti) dan di Jawa Timur (kata sebagian pula). Pada pertengahan kurun (abad) ke-7 memang ada seorang ratu yang bernama Sima, atau Simo.

Raja Ta-Cheh yang menjatuhkan pundi-pundi emas di tengah jalan itu ialah Raja Arab. Sebab Ta-Cheh adalah nama yang diberikan oleh orang Tiongkok kepada bangsa Arab pada zaman-zaman itu.

Setelah disesuaikan dengan perhitungan tahun Hijrah, ujar Buya Hamka, jelas bahwa tahun 674 M adalah 42 tahun setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Beliau wafat pada tahun 632 M, tahun ke-11 dari hijrah beliau. Tahun 674 M, bertepatan dengan tahun 51 H. Khalifah yang memerintah pada masa itu ialah Yazid bin Mu'awiyyah, Khalifah ke-2 dari Bani Umayah.

Buya Hamka mengatakan peneliti-peneliti sejarah mengorek-ngorek sejarah tersebut, mencari kecocokan di sana sini, menyatakan tidak tahu siapakah yang disebut raja Arab, yang mencecerkan pundi-pundi di tengah jalan dalam negeri Holing itu. Namun, bagi kita yang menyelami pula sejarah dan ketentuan istiadat bangsa Arab, atau kaum Islam, tidaklah kita akan mengatakan tidak tahu siapa raja itu.

"Sebab Nabi Muhammad SAW sendiri telah menyunahkan, apabila orang mengembara, musafir jauh, hendaklah mereka merajakan seorang di antara mereka, yang lebih tua usianya, yang banyak pengalamannya, atau yang gagah berani walaupun usianya lebih muda, dan yang fasih lidahnya berkata-kata, terutama dapat menjadi imam dalam sholat," katanya.

Kepala rombongan itulah yang disebut dalam bahasa Arab Amir perjalanan, merangkap juga menjadi Imam dalam sholat. Amir dapat juga diartikan dengan Raja.



Seorang pencatat sejarah Tingkok yang lain, yang mengembara pada tahun itu (674 M) di Pesisir Barat pulau Sumatra, telah mendapati pula satu kelompok bangsa Arab yang membuat kampung di tepi pantai.

Catatan inilah yang mengubah pandangan orang tentang sejarah masuknya agama Islam ke tanah air kita. Jika menurut biasanya, catatan masuknya Islam dimulai pada abad ke-11 M, sekarang telah dinaikkan empat abad lagi ke atas, yaitu abad ke-7 M.

Tidaklah dicatat di dalam sejarah-sejarah Islam yang besar, permulaan masuknya Islam ke Nusantara umumnya. Sebab pengembara Muslim yang datang ke Indonesia bukanlah ekspedisi resmi dari Khalifah (Raja) di Damaskus atau di Baghdad. Pengembaranya bukanlah orang yang membawa senjata, melainkan berniaga dan berdagang. Mereka datang ke tanah air kita dengan sukarela.

Kerajaan Hindu atau Buddha masih kuat dan teguh. Kerajaan Sriwijaya di Sumatra, Kalingga di tanah Jawa, dan kerajaan Hindu di tempat lain masih dalam keadaan sangat kuat kuasanya.

Oleh karena itu, pengembara-pengembara yang pertama itu belumlah dapat dengan leluasa menyampaikan dakwahnya kepada penduduk. Bahkan, ketika mereka mencoba untuk mencecerkan pundi-pundi emas di tengah jalan raya, tidak ada orang yang berani mengambil karena takut kena murka sang Ratu. Ia tidaklah ragu menjatuhkan hukuman memotong kaki Putra Mahkotanya, ketika ia mencoba menyepakkan pundi-pundi emas milik orang Arab itu.
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1392 seconds (0.1#10.140)