Benarkah Jafar Barzanji Penganut Syiah Zaidiyah? Begini Kata Gus Baha
loading...
A
A
A
Kitab lain yang ditulis oleh Jafar Barzanji namun kurang dikenal secara luas di Indonesia adalah Qishshah al-Mi‘raj, kitab ini masih tentang Nabi Muhammad saw. Lalu ada juga kitab hagiografi yang disusunnya tentang wali zaman pertengahan yang kurang dikenal, yaitu Hamzah. Kitab ini tampaknya juga hanya dikenal paling tidak oleh beberapa orang Indonesia saja.
Kitab lainnya gubahan Jafar Barzanji yang lebih kurang dikenal lagi di antara lain adalah Syawahid al-Ghufran ‘Ala Jaliy al-Ahzan fi Fadhail Ramadhan, Mashabihul Ghurur ‘Ala Jaliyyil Qadr, dan Taj al-Ibtihaj ‘Ala Dhau’ al-Wahhaj fi al-Isra’ Wa Al-Mi’raj.
Jafar Barzanji juga menulis kitab manaqib yang menceritakan perjalanan hidupnya sendiri, yaitu ar-Raudh al-Athar fi Manaqib as-Sayyid Jafar.
Mufti Mazhab Syafii
Pada tahun 1984, William Ochsenwald menerbitkan sebuah buku yang berjudul Society and the State in Arabia. The Hijaz under Ottoman Control, 1840-1908. Isi buku tersebut merupakan sebuah studi tentang wilayah Hijaz ketika berada di bawah kekuasaan Kesultanan Turki Utsmani (1840- 1908).
Studi tersebut menunjukkan, bahwa dalam rentang waktu 67 tahun Turki Utsmani berkuasa di Hijaz, keluarga Barzinji yang menetap di Madinah memiliki pengaruh yang besar. Jabatan mufti mazhab Syafii di kota tersebut seringkali berada di tangan mereka, dan Jafar Barzanji adalah salah satunya.
Jafar Barzanji adalah penganut mazhab Syafii. Keluarga Barzanji yang berasal dari Kurdi, secara tradisional memang pengikut mazhab Syafii. Orang-orang Kurdi umumnya pada abad ke-17 adalah para pengikut Syafii.
Bahkan di Kurdistan, terdapat sebuah wilayah yang bernama Syahrazur, tempat dilahirkannya ulama-ulama Syafii yang kelak memiliki nama besar, salah satunya adalah Ibrahim al-Kurani. Banyak orang-orang Indonesia yang belajar kepada ulama-ulama asal Syahrazur ini di Mekkah dan Madinah. Keluarga Barzanji (yakni keluarga asal Jafar Barzanji), adalah keluarga ulama ternama yang juga berasal dari Syahrazur ini.
Syiah Zaidiyah
Dalam sejarahnya, Syiah Zaidiyah didirikan oleh Imam Zaid bin Ali Zainal-Abidin. Beliau salah satu Imam Ahlul Bait (keluarga Nabi), yang merupakan cucu Khalifah Ali bin Abi Thalib dari jalur Husain. Ulama yang lahir antara tahun 75–80 ini hidup di masa yang sama dengan Imam Abu Hanifah.
Tentang kecerdasannya, Imam Abu Hanifah berkata: “Aku tidak melihat ada yang lebih pintar dari Imam Zaid di zamannya, dan juga tidak menemukan orang yang bisa secepat Imam Zaid dalam menjawab pertanyaan, serta lugas penjelasannya”.
Meski Imam Zaid dimasukkan sebagai salah satu tokoh Syiah, namun pandangannya sangat berbeda dengan Syiah lainnya. Umumnya kelompok Syiah menempatkan Khalifah Abu Bakar dan Umar sebagai perampas kekuasaan. Tetapi Imam Zaid sebaliknya, menentang pendapat tersebut.
Ketika itu sekelompok orang Syiah yang sangat membenci Abu Bakar dan Umar berkata,“Wahai Imam (Zaid), Tabarro’ (berlepas diri lah!) dari Abu Bakar dan Umar (maksudnya, lepaskan diri dari penghormatan kepada Abu Bakar dan Umar). Kalau kau sudah ber-tabarro’ dari keduanya, kami akan membaiat anda wahai Imam!”
Imam Zaid dengan tegas menjawab: “Tidak! Aku tidak akan berlepas diri dari mereka berdua (Abu Bakar dan Umar)”. Mereka menanggapi: “kalau gitu, kami menolakmu (Rafdh)”.
Imam Zaid tanpa basa basi menjawab,”Baik, pergilah kalian. Kalian semua adalah penolak/penentang! (Rafidhah)”
Ali bin Ibrahim Al-Halabi dalam "Al-Sirah Al-Halabiyah" menyebut sejak saat itulah istilah ‘rafidhah’ digunakan bagi mereka yang membenci dan menentang Abu Bakar dan Umar bin Khattab . Dan nama ‘zaidiyah’ digunakan bagi mereka yang mengikuti Imam Zaid dalam pandangannya terhadap Abu Bakar dan Umar.
Al-Ustadz Muhammad Al-Khudhari Bik dalam "Tarikh Al-Tasyri’ Al-Islami" mengatakan lantaran faktor inilah mazhab ini diterima oleh para ulama Ahlu Sunnah. Mereka sama sekali tidak menghina Shaikhan; Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Hanya saja lebih mendahulukan atau mengutamakan Ali bin Abi Thalib ketimbang keduanya.
Demikian juga dalam masalah nikah mut’ah (kawin kontrak) yang umumnya diakui oleh kalangan Syiah. Zaidiyah ini malah menentang dan tidak membenarkannya sebagaimana Ahlu Sunnah.
Kitab lainnya gubahan Jafar Barzanji yang lebih kurang dikenal lagi di antara lain adalah Syawahid al-Ghufran ‘Ala Jaliy al-Ahzan fi Fadhail Ramadhan, Mashabihul Ghurur ‘Ala Jaliyyil Qadr, dan Taj al-Ibtihaj ‘Ala Dhau’ al-Wahhaj fi al-Isra’ Wa Al-Mi’raj.
Jafar Barzanji juga menulis kitab manaqib yang menceritakan perjalanan hidupnya sendiri, yaitu ar-Raudh al-Athar fi Manaqib as-Sayyid Jafar.
Mufti Mazhab Syafii
Pada tahun 1984, William Ochsenwald menerbitkan sebuah buku yang berjudul Society and the State in Arabia. The Hijaz under Ottoman Control, 1840-1908. Isi buku tersebut merupakan sebuah studi tentang wilayah Hijaz ketika berada di bawah kekuasaan Kesultanan Turki Utsmani (1840- 1908).
Studi tersebut menunjukkan, bahwa dalam rentang waktu 67 tahun Turki Utsmani berkuasa di Hijaz, keluarga Barzinji yang menetap di Madinah memiliki pengaruh yang besar. Jabatan mufti mazhab Syafii di kota tersebut seringkali berada di tangan mereka, dan Jafar Barzanji adalah salah satunya.
Jafar Barzanji adalah penganut mazhab Syafii. Keluarga Barzanji yang berasal dari Kurdi, secara tradisional memang pengikut mazhab Syafii. Orang-orang Kurdi umumnya pada abad ke-17 adalah para pengikut Syafii.
Bahkan di Kurdistan, terdapat sebuah wilayah yang bernama Syahrazur, tempat dilahirkannya ulama-ulama Syafii yang kelak memiliki nama besar, salah satunya adalah Ibrahim al-Kurani. Banyak orang-orang Indonesia yang belajar kepada ulama-ulama asal Syahrazur ini di Mekkah dan Madinah. Keluarga Barzanji (yakni keluarga asal Jafar Barzanji), adalah keluarga ulama ternama yang juga berasal dari Syahrazur ini.
Syiah Zaidiyah
Dalam sejarahnya, Syiah Zaidiyah didirikan oleh Imam Zaid bin Ali Zainal-Abidin. Beliau salah satu Imam Ahlul Bait (keluarga Nabi), yang merupakan cucu Khalifah Ali bin Abi Thalib dari jalur Husain. Ulama yang lahir antara tahun 75–80 ini hidup di masa yang sama dengan Imam Abu Hanifah.
Tentang kecerdasannya, Imam Abu Hanifah berkata: “Aku tidak melihat ada yang lebih pintar dari Imam Zaid di zamannya, dan juga tidak menemukan orang yang bisa secepat Imam Zaid dalam menjawab pertanyaan, serta lugas penjelasannya”.
Meski Imam Zaid dimasukkan sebagai salah satu tokoh Syiah, namun pandangannya sangat berbeda dengan Syiah lainnya. Umumnya kelompok Syiah menempatkan Khalifah Abu Bakar dan Umar sebagai perampas kekuasaan. Tetapi Imam Zaid sebaliknya, menentang pendapat tersebut.
Ketika itu sekelompok orang Syiah yang sangat membenci Abu Bakar dan Umar berkata,“Wahai Imam (Zaid), Tabarro’ (berlepas diri lah!) dari Abu Bakar dan Umar (maksudnya, lepaskan diri dari penghormatan kepada Abu Bakar dan Umar). Kalau kau sudah ber-tabarro’ dari keduanya, kami akan membaiat anda wahai Imam!”
Imam Zaid dengan tegas menjawab: “Tidak! Aku tidak akan berlepas diri dari mereka berdua (Abu Bakar dan Umar)”. Mereka menanggapi: “kalau gitu, kami menolakmu (Rafdh)”.
Imam Zaid tanpa basa basi menjawab,”Baik, pergilah kalian. Kalian semua adalah penolak/penentang! (Rafidhah)”
Ali bin Ibrahim Al-Halabi dalam "Al-Sirah Al-Halabiyah" menyebut sejak saat itulah istilah ‘rafidhah’ digunakan bagi mereka yang membenci dan menentang Abu Bakar dan Umar bin Khattab . Dan nama ‘zaidiyah’ digunakan bagi mereka yang mengikuti Imam Zaid dalam pandangannya terhadap Abu Bakar dan Umar.
Al-Ustadz Muhammad Al-Khudhari Bik dalam "Tarikh Al-Tasyri’ Al-Islami" mengatakan lantaran faktor inilah mazhab ini diterima oleh para ulama Ahlu Sunnah. Mereka sama sekali tidak menghina Shaikhan; Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Hanya saja lebih mendahulukan atau mengutamakan Ali bin Abi Thalib ketimbang keduanya.
Demikian juga dalam masalah nikah mut’ah (kawin kontrak) yang umumnya diakui oleh kalangan Syiah. Zaidiyah ini malah menentang dan tidak membenarkannya sebagaimana Ahlu Sunnah.
(mhy)