Kisah Bijak Para Sufi: Maruf Si Tukang Sepatu dengan Istri yang Jahat

Kamis, 09 Juli 2020 - 06:01 WIB
loading...
A A A
Sementara itu, Wazir menghasut raja agar menyelidiki keadaan Maruf yang sebenarnya. Mereka berdua pun meminta bantuan Sang Putri, yang setuju saja untuk mencari tahu, pada saat yang tepat, kebenaran dari perkara itu.

Malam harinya, ketika mereka berbaring berpelukan, putri itu meminta suaminya menjelaskan perihal kafilahnya yang hilang. Maruf baru saja hari itu juga mengatakan pada temannya, Ali, bahwa ia memang mempunyai sebuah kafilah penuh barang tak ternilai. Namun kini, ia memutuskan mengungkapkan yang sebenarnya. "Aku tak punya kafilah," katanya, "dan meskipun dugaan Wazir benar, perkataannya didorong oleh kerakusan semata. Ayahmu pun memberi kau padaku karena kerakusannya. Lalu, kenapa pula kau setuju menikahiku?"

"Kau suamiku," jawab Sang Putri, "dan aku tak akan pernah mempermalukanmu. Ambillah lima puluh ribu keping uang emas ini, tinggalkan negeri ini, kemudian kirimlah sebuah pesan dari tempat yang aman, dan aku akan menyusulmu ke sana. Sementara itu, aku akan mengamati perkembangan keadaan istana." Di kegelapan malam itu juga, Maruf kabur mengenakan pakaian seorang budak.

Dan, ketika Sang Raja dan penasihatnya meminta Putri Dunia menceritakan hasil penyelidikannya, ia berkata, "Ayah tersayang dan Wazir yang berjasa, aku baru saja mau mengajukan pertanyaan itu kepada suamiku, Maruf, tadi malam, ketika suatu peristiwa aneh terjadi." ( )

"Peristiwa apa gerangan?" tanya keduanya serempak.

"Sepuluh orang Mameluke, berpakaian sangat mewah, muncul di jendela kamar kami; mereka membawa sepucuk surat dari kepala kafilah Maruf. Isi surat itu mengatakan bahwa kafilah terlambat tiba ke istana sebab sekelompok orang Badui menyerang mereka, menewaskan lima puluh dari lima ratus pengawal, lalu membawa kabur sejumlah barang dagangan beserta dua ratus muatan unta."

"Dan apa yang dikatakan Maruf?"

"Katanya, tak mengapa. Dua ratus muatan dan lima puluh nyawa bukan apa-apa. Namun, ia segera pula berkuda menjemput kafilah itu untuk membawanya kemari."

Demikianlah Sang Putri mengulur-ulur waktu.

Ada pun Maruf bersicepat memacu kudanya, tanpa tahu tujuan, hingga dilihatnya seorang petani membajak sebidang sawah. Si Tukang Sepatu pun mengucapkan salam, dan petani itu berkata, keluar dari kebaikan hatinya, "Jadilah tamuku, Hamba Agung dari Raja yang Mulia. Akan hamba bawakan makanan untuk kita santap bersama." ( )

Si Petani pun bergegas, dan Maruf, yang tersentuh oleh kebaikan orang itu, melanjutkan membajak tanah, sebagai sumbangan bagi kesejahteraannya. Belum lagi ia membuat banyak galur, cangkulnya terbentur sebongkah batu. Ketika disingkirkannya batu itu, tampaklah ada anak tangga menuju bawah tanah. Di bawah sana terdapat sebuah kamar luas, penuh harta tak ternilai.

Di dalam sebuah kotak hablur ada sebuah cincin, yang oleh Maruf diambil dan digosok. Tiba-tiba saja suatu bayangan aneh mewujud, yang berseru, "Ini aku, pelayanmu, Tuanku."

Maruf mengetahui bahwa jin itu dikenal sebagai Bapak Kebahagian, dan bahwa ia salah satu pemimpin jin yang paling berkuasa, dan bahwa harta itu milik raja zaman dahulu, Raja Shaddad, putra Aad. Bapak Kebahagian kini menjadi pelayan Maruf.

Si Tukang Sepatu menyuruh jin itu membawa harta karun tersebut ke permukiman tanah. Kemudian, dimuatnya semua itu di atas puluhan unta, bagal, dan kuda, buatan Sang Jin. Berbagai macam barang berharga pun dibuat oleh jin-jin lain yang mengabdi pada Bapak Kebahagian, dan segera saja kafilah Maruf siap berangkat. (Baca juga: Kisah Bijak Para Sufi: Membawa Sepatu )

Saat itu, Si Petani muncul membawa sedikit kacang dan roti gandum. Ketika dilihatnya Maruf berikut seluruh kafilah itu, ia berpikiran bahwa tamu itu pastilah seorang raja. Maruf memberinya sejumlah emas dan mengatakan padanya agar menuntut pahala yang lebih besar lagi nanti. Karena menghargai keramahtamahan Si Petani, Maruf pun hanya makan roti gandum dan kacang.

Maruf pun mengutus para jin itu (menyamar sebagai manusia dan binatang) berjalan duluan ke kota ayah mertuanya. Ketika kafilah itu tiba, Sang Raja pun murka kepada Wazir yang telah menghasut bahwa Maruf itu miskin. Ketika Sang Putri mendengar bahwa sebuah kafilah gilang-gemilang telah sampai, kepunyaan Maruf, ia tak mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi. Ia menduga pengakuan Maruf waktu itu bahwa ia berbohong kepada raja, dimaksudkan untuk menguji kesetiaan istrinya.

Teman Maruf, Ali, mengira kafilah besar itu pekerjaan Sang Putri, yang pasti telah merencanakan menyelamatkan nyawa dan nama baik suaminya. (

Semua saudagar yang telah meminjamkan uang kepada Maruf dan mengagumi kemurahan hatinya, kini jauh lebih terkesima lagi menyaksikan jumlah emas, permata, dan pemberian yang Si Tukang Kayu itu bagi-bagikan kepada orang-orang miskin dan yang membutuhkan.

Namun, Wazir masih tetap curiga. Belum pernah ada saudagar yang berbuat demikian, katanya kepada raja; dan ia pun merencanakan suatu muslihat. Penasihat itu membujuk Maruf ke kebun istana, lalu menghiburnya dengan musik dan anggur: dalam keadaan mabuk itu, Maruf pun mengatakan yang sebenarnya.

Wazir kemudian meminjam cincin ajaib dari Maruf yang sama sekali tak menolak, membuat Sang Jin muncul, dan menyuruhnya membawa Maruf pergi ke padang pasir terjauh.
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1782 seconds (0.1#10.140)