Benarkah Ada Kemiripan Antara Sikap Golongan Kolonialis Muslim dan Eropa?
loading...
A
A
A
Orientalis yang pakar studi-studi keislaman dari Britania Raya, William Montgomery Watt (1909-2006), mengatakan ada kemiripan antara sikap golongan kolonialis muslim -- tepatnya pemikiran Spanyol -- dan golongan kolonialis Eropa . Lalu, benarkan penjajahan Eropa di negeri Muslim tersebut mendorong kembangkitan Islam kembali?
Penjajahan Eropa dapat dikatakan telah dimulai dengan laporan perjalanan Vasco da Gama, seorang pelaut Portugis, dalam rute perjalanannya keliling Afrika ke India dan India Timur. Vasco da Gama ini diikuti oleh bangsa Perancis, Inggris dan Belanda.
William Montgomery Watt dalam buku yang diterjemahkan Zaimudin berjudul "Titik Temu Islam dan Kristen" (Gaya Media Pratama, 1996) menuturkan dalam kegiatan ini ada sedikit pemikiran tentang penaklukan terhadap satu wilayah baru tertentu.
Perhatian utama perjalanan ekspedisi ilmiah ini adalah perdagangan dan khususnya bangsa Eropa bertujuan hendak menemukan sumber- sumber persediaan rempah-rempah, barang-barang mewah dan benda-benda lain yang harus sampai ke Eropa melalui negeri-negeri Islam Mediteranian timur.
Peperangan diperlukan apabila terjadi perlawanan bersenjata atas para pedagang tersebut. Walaupun demikian, secara perlahan tapi pasti perdagangan ini semakin meningkatkan kemajuannya, maka keterlibatan politik menjadi makin lebih besar.
Semenjak abad ke-18, India dan Malaysia berada di bawah kontrol Inggris, sementara India Timur atau Indonesia berada di bawah kontrol Belanda. Terkadang kontrol ini dilakukan lewat perjanjian-perjanjian dengan para pemimpin pribumi, terkadang oleh administrasi pemerintah langsung.
"Namun harus dicatat bahwa di India sampai tahun 1834 administrasi pemerintah langsung itu bukan di tangan kekuasaan Inggris, melainkan apa yang pada mulanya menjadi usaha komersial The East India Company (Perusahaan/Perdagangan India Timur)," jelasnya.
Sekadar mengingatkan William Montgomery Watt adalah seorang penulis barat tentang Islam. Ia pernah mendapatkan gelar "Emiritus Professor," gelar penghormatan tertinggi bagi seorang ilmuwan. Gelar ini diberikan kepadanya oleh Universitas Edinburgh. Penghormatan ini diberikan kepada Watt atas keahliannya di bidang bahasa Arab dan Kajian Islam (Islamic Studies). Berikut selengkapnya tulisannya tersebut:
Pendudukan Perancis atas Algeria semenjak tahun 1830 dan seterusnnya, kontrol parsialnya atas Tunisia dan pendudukan Italia atas Lybia pada tahun 1912, terutama bukan karena alasan-alasan komersial melainkan secara langsung membawa kepada kolonisasi.
Mandat-mandat yang diberikan setelah Perang tahun 1914-1918 juga dapat dipandang sebagai bentuk koloni; namun masa-masa kolonialisme ini dengan jelas hanya dianggap sebagai warga penduduk sebagian terbesar "koloni-koloni" yang memberi dampak kepada kesadaran politik.
Sebagian koloni yang terdahulu ini mendapatkan kemerdekaan formal sebelum pecah Perang Dunia II dan pada dekade itu dan seterusnya hampir semuanya masih tersisa, yang juga menjadi anggota PBB.
Kendatipun demikian, wilayah pendudukan ini segera menemukan dirinya bahwa kolonialisme politik lalu berganti dengan kolonialisme ekonomi. Oleh karena dunia sudah menjadi jaringan akrab masyarakat ekonomi, maka para pemegang tampuk kekuatan ekonomi yang besar dapat mengontrol urusan-urusan di sebagian terbesar dunia ini.
Salah satu pertanyaan yang dilontarkan oleh refleksi atas peristiwa-peristiwa yang terjadi ini adalah mengapa umat Islam Asia Timur tidak menanggapi dengan mengirimkan kapal-kapal ke Eropa untuk tujuan perdagangan.
Ada saudagar-saudagar muslim dengan keahlian komersialnya dan ada pula pelaut-pelaut muslim dengan pengalaman yang sudah lama di samudra Indonesia.
Apabila ketrampilan pembuatan kapal dan ketrampilan navigasional yang diperlukan, maka secara pasti hampir dapat dipelajari dengan cepat. Apakah barang-barang yang harus diberikan oleh Eropa tidak merupakan kecenderungan menyeluruh untuk mengabsahkan pelayaran?
Sementara pada saat bangsa Eropa membawa barang-barang dagangannya ke Asia Selatan harus diterima. Apakah ada stabilitas politik yang memadai, agar para saudagar makin berkurang sandaran politik yang mereka butuhkan? Atau apakah kegagalan orang Islam untuk pergi ke Eropa ini benar-benar menjadikan kombinasi faktor-faktor tersebut?
Apapun alasan-alasan yang dibuat, itu masih pula menyisakan kenyataan bahwa perdagangan antara Eropa dan Asia Selatan itu seluruhnya berada di tangan bangsa Eropa.
Masalah lain adalah sikap personal para penjajah itu. Diperintah oleh orang-orang asing adalah selalu tidak enak, namun tingkat ketidakenakan ini dapat naik atau turun oleh karena sikap-sikap para penguasa yang memerintah.
Kemiripan
Ada kemiripan antara sikap golongan kolonialis muslim -- tepatnya pemikiran Spanyol -- dan golongan kolonialis Eropa. Pada kedua kasus ini ada kultur para penguasa yang superior dan kedua kasus penguasa kolonialis ini juga merasa dirinya sebagai manusia yang superior terhadap rakyatnya yang dikuasai.
Boleh jadi umat Islam telah mewarisi kebanggaan Arab kuno karena memiliki suku bangsa yang besar dan dapat mengembangkan kesukuan besar ini bagi superioritas Islam sebagai agama.
Sikap para penjajah Eropa ini telah dianalisis secara mendalam oleh Edward Said pada bukunya yang berbicara tentang Orientalism.
Pernyataan-pernyataannya tentang orientalisme itu bahkan menghadiran superioritas para penjajah seperti yang tampak pada ucapan dan tulisan-tulisan AJ Balfour dan Lord Cromer sekitar tahun 1910 berkenaan dengan kontrol Inggris atas negeri Mesir.
Mereka mengasumsikan superioritas Inggris merupakan keharusan yang tak perlu dipersoalkan, dan berdasarkan landasan stereotipe yang bertentangan terhadap perkataan "Oriental" (yang meliputi bangsa Mesir) sebagai yang mempunyai semua bentuk kelemahan: tidak ada kemampuan bagi pemerintah sendiri; degradasi moral dan sosial; tidak mampu berpikir logis atau tidak mampu mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang jelas; ketidakcermatan secara umum; dan lain-lain.
Dalam rangka menciptakan suasana agar administrator bangsa Eropa itu merasakan dan memikirkan persoalan-persoalan yang berkembang di atas, agaknya sulit bagi bangsa Eropa untuk bersahabat akrab dengan bangsa Timur atas dasar persamaan hak dan kedudukan.
Boleh jadi hal inilah yang menjadi intisari persoalan keluhan umat Islam dan bangsa-bangsa lain di Asia dan Afrika, sehingga mereka harus berjuang menghadapi para penjajah Eropa itu.
Bangsa Timur diperlakukan sebagai bangsa yang "lemah tanpa hukum" dan sebagai bangsa manusia yang tidak sama martabat dan derajatnya.
Memang benar bahwa bangsa Eropa itu sangat unggul dalam aplikasi ilmu pengetahuan dan teknologi terhadap aspek-aspek kehidupan material, namun sama sekali tidak unggul di bidang moral. Oleh karena itu, oriental harus dianggap sebagai bangsa yang rendah secara moral.
Dalam hal ini bangsa Eropa tidak benar dan sahih, sebab perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mereka miliki secara pasti nyaris memiskinkan kesadaran akan berbagai nilai-nilai fundamental yang akan timbul pada hubungan hubungan manusia.
Sementara itu, Edward Said masih memperlihatkan sikap-sikap bangsa Eropa yang ditampilkan pada orientalisme dan khususnya pada kajian Islam, maka orang-orang barat sadar akan unsur kesalahan yang mendasari seluruh sikap-sikap tersebut.
Thomas Merton dengan artikelnya yang cerdas berjudul "Cargo Cults of the South Pacific", menganalisis hubungan antara administrator-administrator penjajah kulit putih dan penduduk primitif Laut Selatan yang pribumi, didapatkan kelemahan pada roh dan jiwa peradaban barat. Dia berharap agar kita dapat menggunakan pemahaman gerakan-gerakan seperti pelaksanaan terhadap cargo tersebut:
Membantu mengantarkan diri kita dari takhyul superioritas kulit putih yang mengerikan ini. Namun malahan kita merasa harus menjawab dan memang kita berkeinginan untuk membantu bangsa kulit hitam saudara kita itu. Namun bantuan itu diwujudkan dalam terma-terma arogan, sia-sia dan hanya memuaskan diri sendiri, semaunya sendiri.
Satu-satunya harapan adalah kita hendak menolong bangsa kulit hitam agar benar-benar seperti kita, walaupun di saat yang sama mustahil dapat menjadi sama persis seperti kita.
Lalu kita menempatkannya pada persembunyian yang tak akan mungkin diketahui dan kemudian harus merasa kasihan mengapa dia pedih menderita.
Semua bangsa manusia yang bukan kulit putih, adalah bangsa manusia yang serba kekurangan, sama-sama amat rindu akan pembalasan yang sahih kepada bangsa kulit putih, disimbolisasi oleh makan bersama, duduk di meja yang sama, mengakui satu sama lain sebagai bangsa manusia yang saling memberi pada makanan yang sama.
Memang benar berbagai umat Islam yang kesemuanya berada pada tingkat peradaban yang lebih tinggi ketimbang para pengikut pemujaan cargo, agar jurang pemisah antara mereka dan para penjajah itu banyak berkurang; sebaliknya tanggapan mereka terhadap sikap penjajah itu adalah sama. Hal ini akan dilihat kembali dalam hubungan dengan kebangkitan kembali Islam.
Penjajahan Eropa dapat dikatakan telah dimulai dengan laporan perjalanan Vasco da Gama, seorang pelaut Portugis, dalam rute perjalanannya keliling Afrika ke India dan India Timur. Vasco da Gama ini diikuti oleh bangsa Perancis, Inggris dan Belanda.
William Montgomery Watt dalam buku yang diterjemahkan Zaimudin berjudul "Titik Temu Islam dan Kristen" (Gaya Media Pratama, 1996) menuturkan dalam kegiatan ini ada sedikit pemikiran tentang penaklukan terhadap satu wilayah baru tertentu.
Perhatian utama perjalanan ekspedisi ilmiah ini adalah perdagangan dan khususnya bangsa Eropa bertujuan hendak menemukan sumber- sumber persediaan rempah-rempah, barang-barang mewah dan benda-benda lain yang harus sampai ke Eropa melalui negeri-negeri Islam Mediteranian timur.
Peperangan diperlukan apabila terjadi perlawanan bersenjata atas para pedagang tersebut. Walaupun demikian, secara perlahan tapi pasti perdagangan ini semakin meningkatkan kemajuannya, maka keterlibatan politik menjadi makin lebih besar.
Semenjak abad ke-18, India dan Malaysia berada di bawah kontrol Inggris, sementara India Timur atau Indonesia berada di bawah kontrol Belanda. Terkadang kontrol ini dilakukan lewat perjanjian-perjanjian dengan para pemimpin pribumi, terkadang oleh administrasi pemerintah langsung.
"Namun harus dicatat bahwa di India sampai tahun 1834 administrasi pemerintah langsung itu bukan di tangan kekuasaan Inggris, melainkan apa yang pada mulanya menjadi usaha komersial The East India Company (Perusahaan/Perdagangan India Timur)," jelasnya.
Sekadar mengingatkan William Montgomery Watt adalah seorang penulis barat tentang Islam. Ia pernah mendapatkan gelar "Emiritus Professor," gelar penghormatan tertinggi bagi seorang ilmuwan. Gelar ini diberikan kepadanya oleh Universitas Edinburgh. Penghormatan ini diberikan kepada Watt atas keahliannya di bidang bahasa Arab dan Kajian Islam (Islamic Studies). Berikut selengkapnya tulisannya tersebut:
Pendudukan Perancis atas Algeria semenjak tahun 1830 dan seterusnnya, kontrol parsialnya atas Tunisia dan pendudukan Italia atas Lybia pada tahun 1912, terutama bukan karena alasan-alasan komersial melainkan secara langsung membawa kepada kolonisasi.
Mandat-mandat yang diberikan setelah Perang tahun 1914-1918 juga dapat dipandang sebagai bentuk koloni; namun masa-masa kolonialisme ini dengan jelas hanya dianggap sebagai warga penduduk sebagian terbesar "koloni-koloni" yang memberi dampak kepada kesadaran politik.
Sebagian koloni yang terdahulu ini mendapatkan kemerdekaan formal sebelum pecah Perang Dunia II dan pada dekade itu dan seterusnya hampir semuanya masih tersisa, yang juga menjadi anggota PBB.
Kendatipun demikian, wilayah pendudukan ini segera menemukan dirinya bahwa kolonialisme politik lalu berganti dengan kolonialisme ekonomi. Oleh karena dunia sudah menjadi jaringan akrab masyarakat ekonomi, maka para pemegang tampuk kekuatan ekonomi yang besar dapat mengontrol urusan-urusan di sebagian terbesar dunia ini.
Salah satu pertanyaan yang dilontarkan oleh refleksi atas peristiwa-peristiwa yang terjadi ini adalah mengapa umat Islam Asia Timur tidak menanggapi dengan mengirimkan kapal-kapal ke Eropa untuk tujuan perdagangan.
Ada saudagar-saudagar muslim dengan keahlian komersialnya dan ada pula pelaut-pelaut muslim dengan pengalaman yang sudah lama di samudra Indonesia.
Apabila ketrampilan pembuatan kapal dan ketrampilan navigasional yang diperlukan, maka secara pasti hampir dapat dipelajari dengan cepat. Apakah barang-barang yang harus diberikan oleh Eropa tidak merupakan kecenderungan menyeluruh untuk mengabsahkan pelayaran?
Sementara pada saat bangsa Eropa membawa barang-barang dagangannya ke Asia Selatan harus diterima. Apakah ada stabilitas politik yang memadai, agar para saudagar makin berkurang sandaran politik yang mereka butuhkan? Atau apakah kegagalan orang Islam untuk pergi ke Eropa ini benar-benar menjadikan kombinasi faktor-faktor tersebut?
Apapun alasan-alasan yang dibuat, itu masih pula menyisakan kenyataan bahwa perdagangan antara Eropa dan Asia Selatan itu seluruhnya berada di tangan bangsa Eropa.
Masalah lain adalah sikap personal para penjajah itu. Diperintah oleh orang-orang asing adalah selalu tidak enak, namun tingkat ketidakenakan ini dapat naik atau turun oleh karena sikap-sikap para penguasa yang memerintah.
Kemiripan
Ada kemiripan antara sikap golongan kolonialis muslim -- tepatnya pemikiran Spanyol -- dan golongan kolonialis Eropa. Pada kedua kasus ini ada kultur para penguasa yang superior dan kedua kasus penguasa kolonialis ini juga merasa dirinya sebagai manusia yang superior terhadap rakyatnya yang dikuasai.
Boleh jadi umat Islam telah mewarisi kebanggaan Arab kuno karena memiliki suku bangsa yang besar dan dapat mengembangkan kesukuan besar ini bagi superioritas Islam sebagai agama.
Sikap para penjajah Eropa ini telah dianalisis secara mendalam oleh Edward Said pada bukunya yang berbicara tentang Orientalism.
Pernyataan-pernyataannya tentang orientalisme itu bahkan menghadiran superioritas para penjajah seperti yang tampak pada ucapan dan tulisan-tulisan AJ Balfour dan Lord Cromer sekitar tahun 1910 berkenaan dengan kontrol Inggris atas negeri Mesir.
Mereka mengasumsikan superioritas Inggris merupakan keharusan yang tak perlu dipersoalkan, dan berdasarkan landasan stereotipe yang bertentangan terhadap perkataan "Oriental" (yang meliputi bangsa Mesir) sebagai yang mempunyai semua bentuk kelemahan: tidak ada kemampuan bagi pemerintah sendiri; degradasi moral dan sosial; tidak mampu berpikir logis atau tidak mampu mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang jelas; ketidakcermatan secara umum; dan lain-lain.
Dalam rangka menciptakan suasana agar administrator bangsa Eropa itu merasakan dan memikirkan persoalan-persoalan yang berkembang di atas, agaknya sulit bagi bangsa Eropa untuk bersahabat akrab dengan bangsa Timur atas dasar persamaan hak dan kedudukan.
Boleh jadi hal inilah yang menjadi intisari persoalan keluhan umat Islam dan bangsa-bangsa lain di Asia dan Afrika, sehingga mereka harus berjuang menghadapi para penjajah Eropa itu.
Bangsa Timur diperlakukan sebagai bangsa yang "lemah tanpa hukum" dan sebagai bangsa manusia yang tidak sama martabat dan derajatnya.
Memang benar bahwa bangsa Eropa itu sangat unggul dalam aplikasi ilmu pengetahuan dan teknologi terhadap aspek-aspek kehidupan material, namun sama sekali tidak unggul di bidang moral. Oleh karena itu, oriental harus dianggap sebagai bangsa yang rendah secara moral.
Dalam hal ini bangsa Eropa tidak benar dan sahih, sebab perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mereka miliki secara pasti nyaris memiskinkan kesadaran akan berbagai nilai-nilai fundamental yang akan timbul pada hubungan hubungan manusia.
Sementara itu, Edward Said masih memperlihatkan sikap-sikap bangsa Eropa yang ditampilkan pada orientalisme dan khususnya pada kajian Islam, maka orang-orang barat sadar akan unsur kesalahan yang mendasari seluruh sikap-sikap tersebut.
Thomas Merton dengan artikelnya yang cerdas berjudul "Cargo Cults of the South Pacific", menganalisis hubungan antara administrator-administrator penjajah kulit putih dan penduduk primitif Laut Selatan yang pribumi, didapatkan kelemahan pada roh dan jiwa peradaban barat. Dia berharap agar kita dapat menggunakan pemahaman gerakan-gerakan seperti pelaksanaan terhadap cargo tersebut:
Membantu mengantarkan diri kita dari takhyul superioritas kulit putih yang mengerikan ini. Namun malahan kita merasa harus menjawab dan memang kita berkeinginan untuk membantu bangsa kulit hitam saudara kita itu. Namun bantuan itu diwujudkan dalam terma-terma arogan, sia-sia dan hanya memuaskan diri sendiri, semaunya sendiri.
Satu-satunya harapan adalah kita hendak menolong bangsa kulit hitam agar benar-benar seperti kita, walaupun di saat yang sama mustahil dapat menjadi sama persis seperti kita.
Lalu kita menempatkannya pada persembunyian yang tak akan mungkin diketahui dan kemudian harus merasa kasihan mengapa dia pedih menderita.
Semua bangsa manusia yang bukan kulit putih, adalah bangsa manusia yang serba kekurangan, sama-sama amat rindu akan pembalasan yang sahih kepada bangsa kulit putih, disimbolisasi oleh makan bersama, duduk di meja yang sama, mengakui satu sama lain sebagai bangsa manusia yang saling memberi pada makanan yang sama.
Memang benar berbagai umat Islam yang kesemuanya berada pada tingkat peradaban yang lebih tinggi ketimbang para pengikut pemujaan cargo, agar jurang pemisah antara mereka dan para penjajah itu banyak berkurang; sebaliknya tanggapan mereka terhadap sikap penjajah itu adalah sama. Hal ini akan dilihat kembali dalam hubungan dengan kebangkitan kembali Islam.
(mhy)