Wasiat Al-Fatih kepada Putranya (3): Perluas Negeri Melalui Jihad
Kamis, 23 Juli 2020 - 13:29 WIB

Pasukan Usmaniyah. Foto/Ilustrasi/Ist
SULTAN Muhammad Al-Fatih menyampaikan wasiat kepada putranya, menjelang beliau wafat. Wasiat ini melukiskan gambaran tentang jalan hidup, nilai- nilai, dan prinsip-prinsip keyakinan, serta impian-impiannya kepada pemimpin penggantinya. “Janganlah kamu sekali-kali mengangkat orang-orang yang tidak peduli agama sebagai pembantumu. Jangan pula kamu mengangkat orang-orang yang tidak menjauhi dosa-dosa besar dan larut dalam perbuatan keji," begitu salah satu wasiat Al-Fatih. (Baca juga: Wasiat Al-Fatih kepada Putranya (1): “Aku Sama Sekali Tidak Menyesal” )
Prof Dr Ali Muhammad Ash-Shalabi dalam Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah , menjelaskan para sultan Utsmani memperhatikan akademi-akademi dengan tujuan melahirkan komandan-komandan perang yang mampu memikul tugas-tugas penting negara. (Baca juga: Wasiat Al-Fatih kepada Putranya (2): Berperang di Jalan Allah atau Mati Syahid )
Para Sultan menetapkan manhaj pendidikan khusus bagi para pemimpin, khususnya komandan militer. Mereka juga sangat hati-hati dalam memilih orang yang akan menempati posisi tertentu.
Baca juga: Sejarah Hagia Sophia, antara Katedral Kristen Ortodoks dan Masjid
Pilihan mereka adalah orang-orang yang amanah, kapabel, memiliki pemikiran cemerlang, dan takwa. Mereka diberikan otoritas kekuasaan dalam kepemimpinan dalam militer dan kehakiman.
Wasiat selanjutnya, “Hindari bid’ah-bid'ah yang merusak. Jauhi orang-orang yang menyuruhmu melakukannya.”
Para Sultan Utsmani berjalan di atas manhaj Ahlu Sunnah Waljama’ah. Mereka sangat mengerti akan bahaya bid’ah serta bahaya mendekati ahli bid’ah. Mereka mencukupkan diri dengan Kitab Allah , Sunnah Rasulullah , Ijma’, serta ijtihad-ijtihad para ulama yang telah masyhur ilmunya.
Perluasan Negeri
Wasiat selanjutnya adalah "lakukan perluasan negeri melalui jihad ". Ash-Shalabi menjelaskan para Sultan Utsmani melakukan perluasan negeri melalui jihad, menebarkan rasa aman, meredakan semua bahaya yang mengancam negeri. Mereka membentengi negeri dengan peralatan senjata dan kekuatan, sehingga mampu menghalau musuh dan melenyapkan bahayanya. (Baca juga: Al-Fatih Sebaik-Baik Pemimpin, Pasukannya Sebaik-baik Pasukan )
Sultan Muhammad Al-Fatih dan para pendahulunya telah mempersiapkan umat melalui persiapan jihad. Dia telah menunaikan kewajibannya untuk memerangi orang-orang kafir yang menghadang Islam, hingga mereka masuk ke dalam Islam atau tunduk di bawah kekuasaan kaum muslimin.
Masyarakat Utsmani telah dibentuk dalam satu pola masyarakat islami yang menjunjung tinggi nilai-nilai jihad dan dakwah. Personil-personil tentara dipersiapkan secara sengaja untuk berjihad di jalan Allah sejak masa anak-anak. Mereka disiapkan dengan persiapan yang sebaik-baiknya dan sempurna.
Baca juga: Al-Fatih Kirim Hadiah dan Surat kepada Penguasa Makkah, Begini Isinya
Pemerintahan Utsmani hingga masa pemerintahan Sulaiman Al-Qanuni mampu merealisasikan cita-cita kaum muslimin yang sejak 700 tahuh sebelumnya telah didambakan kaum muslimin, yaitu untuk memancangkan panji-panji Islam di benteng-benteng ibukota negeri-negeri Eropa, khususnya Konstantinopel. Naungan Islam membentang dari Timur sampai ke Barat Eropa.
Pada Muktamar ke-7 menteri-menteri negara Islam di Istambul, Profesor mujahid Najmuddin Arbakan menyampaikan pidatonya dengan mengingatkan kejayaan yang pernah dicapai oleh pemerintahan Utsmani. (Baca juga: Sembahyang Terakhir di Hagia Sophia, Kisah Haru Jelang Takluknya Konstantinopel )
Dia berkata, “Sesungguhnya istana yang Allah kehendaki menjadi tempat muktamar Islam yang besar ini, telah diukir di depannya kalimat Islam yang agung ‘Laa llaaha Ilia Allah’... la adalah istana Sultan Muhammad Al-Fatih yang dia bangun setelah penaklukkan lstambul.
Bagaimana mungkin tempat ini tidak memiliki nilai-nilai historis, padahal di sini pernah menjadi pusat penyelenggaraan tatanan dunia Islam dalam jangka waktu yang lama?
Baca juga: Armada Laut Utsmani Kian Perkasa Setelah Taklukkan Konstantinopel
Bagaimana ia tidak akan memiliki nilai-nilai historis, padahal dari sini diberangkatkan pasukan Islam ke berbagai belahan dunia, berjihad di jalan Allah, menebarkan cahaya dan hidayah, serta keadilan di mana pun mereka berada?
Bagaimana tidak akan memiliki nilai-nilai historis, padahal di atas batu yang di atasnya kini berdiri mikropon, pernah dipancangkan panji-panji tentara Islam yang bergerak dari negeri-negeri muslim?
Baca juga: Ketika Sultan Muhammad Al-Fatih Ubah Daratan Menjadi Lautan
Prof Dr Ali Muhammad Ash-Shalabi dalam Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah , menjelaskan para sultan Utsmani memperhatikan akademi-akademi dengan tujuan melahirkan komandan-komandan perang yang mampu memikul tugas-tugas penting negara. (Baca juga: Wasiat Al-Fatih kepada Putranya (2): Berperang di Jalan Allah atau Mati Syahid )
Para Sultan menetapkan manhaj pendidikan khusus bagi para pemimpin, khususnya komandan militer. Mereka juga sangat hati-hati dalam memilih orang yang akan menempati posisi tertentu.
Baca juga: Sejarah Hagia Sophia, antara Katedral Kristen Ortodoks dan Masjid
Pilihan mereka adalah orang-orang yang amanah, kapabel, memiliki pemikiran cemerlang, dan takwa. Mereka diberikan otoritas kekuasaan dalam kepemimpinan dalam militer dan kehakiman.
Wasiat selanjutnya, “Hindari bid’ah-bid'ah yang merusak. Jauhi orang-orang yang menyuruhmu melakukannya.”
Para Sultan Utsmani berjalan di atas manhaj Ahlu Sunnah Waljama’ah. Mereka sangat mengerti akan bahaya bid’ah serta bahaya mendekati ahli bid’ah. Mereka mencukupkan diri dengan Kitab Allah , Sunnah Rasulullah , Ijma’, serta ijtihad-ijtihad para ulama yang telah masyhur ilmunya.
Perluasan Negeri
Wasiat selanjutnya adalah "lakukan perluasan negeri melalui jihad ". Ash-Shalabi menjelaskan para Sultan Utsmani melakukan perluasan negeri melalui jihad, menebarkan rasa aman, meredakan semua bahaya yang mengancam negeri. Mereka membentengi negeri dengan peralatan senjata dan kekuatan, sehingga mampu menghalau musuh dan melenyapkan bahayanya. (Baca juga: Al-Fatih Sebaik-Baik Pemimpin, Pasukannya Sebaik-baik Pasukan )
Sultan Muhammad Al-Fatih dan para pendahulunya telah mempersiapkan umat melalui persiapan jihad. Dia telah menunaikan kewajibannya untuk memerangi orang-orang kafir yang menghadang Islam, hingga mereka masuk ke dalam Islam atau tunduk di bawah kekuasaan kaum muslimin.
Masyarakat Utsmani telah dibentuk dalam satu pola masyarakat islami yang menjunjung tinggi nilai-nilai jihad dan dakwah. Personil-personil tentara dipersiapkan secara sengaja untuk berjihad di jalan Allah sejak masa anak-anak. Mereka disiapkan dengan persiapan yang sebaik-baiknya dan sempurna.
Baca juga: Al-Fatih Kirim Hadiah dan Surat kepada Penguasa Makkah, Begini Isinya
Pemerintahan Utsmani hingga masa pemerintahan Sulaiman Al-Qanuni mampu merealisasikan cita-cita kaum muslimin yang sejak 700 tahuh sebelumnya telah didambakan kaum muslimin, yaitu untuk memancangkan panji-panji Islam di benteng-benteng ibukota negeri-negeri Eropa, khususnya Konstantinopel. Naungan Islam membentang dari Timur sampai ke Barat Eropa.
Pada Muktamar ke-7 menteri-menteri negara Islam di Istambul, Profesor mujahid Najmuddin Arbakan menyampaikan pidatonya dengan mengingatkan kejayaan yang pernah dicapai oleh pemerintahan Utsmani. (Baca juga: Sembahyang Terakhir di Hagia Sophia, Kisah Haru Jelang Takluknya Konstantinopel )
Dia berkata, “Sesungguhnya istana yang Allah kehendaki menjadi tempat muktamar Islam yang besar ini, telah diukir di depannya kalimat Islam yang agung ‘Laa llaaha Ilia Allah’... la adalah istana Sultan Muhammad Al-Fatih yang dia bangun setelah penaklukkan lstambul.
Bagaimana mungkin tempat ini tidak memiliki nilai-nilai historis, padahal di sini pernah menjadi pusat penyelenggaraan tatanan dunia Islam dalam jangka waktu yang lama?
Baca juga: Armada Laut Utsmani Kian Perkasa Setelah Taklukkan Konstantinopel
Bagaimana ia tidak akan memiliki nilai-nilai historis, padahal dari sini diberangkatkan pasukan Islam ke berbagai belahan dunia, berjihad di jalan Allah, menebarkan cahaya dan hidayah, serta keadilan di mana pun mereka berada?
Bagaimana tidak akan memiliki nilai-nilai historis, padahal di atas batu yang di atasnya kini berdiri mikropon, pernah dipancangkan panji-panji tentara Islam yang bergerak dari negeri-negeri muslim?
Baca juga: Ketika Sultan Muhammad Al-Fatih Ubah Daratan Menjadi Lautan
Lihat Juga :