Sembahyang Terakhir di Hagia Sophia, Kisah Haru Jelang Takluknya Konstantinopel

Minggu, 19 Juli 2020 - 12:44 WIB
loading...
Sembahyang Terakhir...
Pasukan Usmaniyah. Foto/Ilustrasi/Ist
A A A
DALAM rangka menyambut datangnya penaklukan umum, pada hari Ahad tanggal 18 Jumadil Ula 857 H, yang bertepatan dengan tanggal 27 Mei 1435 M, Sultan Muhammad Al-Fatih memberikan wejangan kepada pasukannya untuk khusyuk , membersihkan diri, mendekatkan diri kepada Allah dengan melakukan salat dan amal-amal kebaikan lain. ( )

Dia juga memerintahkan agar para mujahidin banyak berdoa dan merendahkan diri di hadapan Allah Yang Mahakuasa, dengan harapan semoga Allah memudahkan penaklukkan kota. Semangat ini tersebar luas di kalangan kaum muslimin.

Prof Dr Ali Muhammad Ash-Shalabi dalam Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah memaparkan pada hari itu juga, Sultan melakukan kunjungan langsung ke pagar-pagar pembatas kota dan dia ingin mengetahui kondisi terakhir pasukan.

Dia juga mencari tahu sejauhmana kondisi para pasukan musuh yang menjaga pagar-pagar kota di berbagai titik. Kemudian dia menentukan titik mana saja yang akan menjadi sasaran penyerangan pasukan Utsmani.

Dia memeriksa kondisi pasukan dan memberikan semangat untuk selalu rela berkorban dalam memerangi musuh. Selain itu dia mengutus utusan ke warga Galata, yang saat itu bersikap netral, agar mereka tidak ikut campur konflik antara Turki Utsmani melawan Byzantium . Sultan juga berjanji akan mengganti semua kerugian yang diderita akibat perang itu.

Pada sore hari, tentara Utsmani menyalakan api yang begitu tinggi membumbung di sekitar markas mereka. Kobaran api diliputi oleh suara-suara penuh semangat pasukan Utsmani dalam mengumandangkan tahlil dan takbir .

Peristiwa ini membuat orang-orang Romawi berpikir bahwa api telah berkobar besar di markas pasukan Utsmani. Mereka mengira, pasukan Utsmani telah melakukan pesta kemenangan sebelum penyerangan. Satu hal yang menimbulkan rasa takut yang demikian besar di dalam dada pasukan Romawi.



Sehari setelah itu, yakni pada tanggal 28 Mei, meriam-meriam pasukan Utsmani melemparkan peluru-peluru yang disertai semburan api. Sedangkan Sultan melakukan aksi keliling ke semua barak-barak pasukan, sambil memberikan komando, mengingatkan mereka untuk ikhlas, selalu berdoa, rela berkorban dan siap menyongsong jihad di lalan Allah.

Setiap kali Sultan Al-Fatih melewati kerumunan pasukan, maka dia selalu berpidato di depan mereka, mengobarkan semangat. Dia menjelaskan bahwa dengan terbukanya Kota Konstantinopel, berarti bahwa mereka akan mendapatkan kemuliaan abadi dan pahala yang berlimpah dari Allah.

Saat itulah akan direbut tanah-tanah kota yang semula dikuasai oleh musuh-musuh kaum muslimin. Sedangkan bagi anggota pasukan yang berhasil pertama kali menancapkan panji Islam di atas pagar perbatasan Konstantinopel, maka Sultan berjanji akan memberikan ganjaran besar dan mendapatkan tanah yang luas.

Para ulama dan anggota pasukan senior kaum muslimin, mereka berkeliling ke semua barak tentara sambil membacakan ayat-ayat jihad dan perang, serta membacakan Surat Al-Anfal.


Sembahyang Terakhir di Hagia Sophia
Ash-Shalabi mengatakan pada saat yang sama, Kaisar Byzantium mengumpulkan masyarakat dan pasukan di Konstantinopel untuk mengadakan ritual nasional berupa doa, rampan, ketundukan di gereja-gereja . Ritual itu dihadiri kaum pria, wanita, anak-anak, dan orang tua. Mereka berharap, doa-doanya dikabulkan, sehingga selamat dari segala marabahaya.

Kala itu Kaisar mengucapkan sebuah pidato terakhir yang indah mempesona. Dalam pidatonya dia menekankan, agar rakyat siap mempertahankan dan membela kota walaupun Kaisar telah mati.

Dia menekankan, agar rakyatnya berjuang mati-matian untuk melindungi agama Nasrani dari serangan kaum muslimin Utsmani.



Pidato yang dia sampaikan, menurut ahli sejarah, demikian mempesona sehingga mereka yang hadir sesegukan tak kuat menahan rasa haru dan simpati. Kaisar juga melakukan sembahyang terakhir di gereja Hagia Sophia , gereja paling kudus dalam anggapan mereka.

Setelah itu, Kaisar pergi ke istananya untuk melakukan perpisahan. Dia mengucapkan ucapan selamat tinggal kepada semua yang ada di istana dan meminta maaf pada semuanya. Pemandangan itu demikian mengharukan, sebagaimana yang ditulis sejarawan kalangan Nasrani.

Salah seorang Nasrani yang hadir berkata, “Andaikata seseorang hatinya terbuat dari kayu dan atau dari batu karang, pastilah kedua matanya akan berlinang air mata melihat pemandangan yang sangat mengharukan itu." (Baca juga: Sejarah Hagia Sophia, antara Katedral Kristen Ortodoks dan Masjid )

Constantine kemudian menghadapkan wajahnya pada sebuah lukisan Isa Al-Masih yang tergantung di salah satu kamar. Dia kemudian rukuk di bawahnya dan melantunkan beberapa doa. Lalu dia bangkit dan memakai penutup kepala militer. Selanjutnya ia keluar dari istananya menjelang tengah malam bersama teman, pengawal, sekretaris, dan seorang sejarawan bernama Franteztes.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2658 seconds (0.1#10.140)