Zakat Fitrah Kewajiban Pribadi yang Memiliki Konsekuensi Sosial
Rabu, 27 Maret 2024 - 16:33 WIB
Ibadah puasa selama sebulan diakhiri dengan Hari Raya Lebaran atau Idul Fitri (Id-al-fithr, "Siklus Fitrah"), yang menggambarkan tentang saat kembalinya fitrah atau kesucian asal manusia setelah hilang karena dosa selama setahun, dan setelah pensucian diri dosa itu melalui puasa .
"Dalam praktik yang melembaga dan mapan sebagai adat kita semua, manifestasi dari Lebaran itu ialah sikap-sikap dan perilaku kemanusiaan yang setulus-tulusnya dan setinggi-tingginya," ujar cendekiawan muslim Nurcholish Madjid atau Cak Nur (1939–2005) dalam bukunya berjudul "Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah" (Yayasan Paramadina, 1994).
Dimulai dengan pembayaran zakat fitrah yang dibagikan kepada fakir miskin, diteruskan dengan bertemu sesama anggota umat dalam perjumpaan besar pada salat Id, kemudian dikembangkan dalam kebiasaan terpuji bersilaturahmi kepada sanak kerabat dan teman sejawat, keseluruhan manifestasi Lebaran itu menggambarkan dengan jelas aspek sosial dari hasil ibadah puasa.
Adalah bersyukur atas nikmat-karunia yang merupakan hidayah Allah kepada kita itu maka pada hari Lebaran kita dianjurkan untuk memperlihatkan kebahagiaan dan kegembiraan kita.
Petunjuk Nabi dalam berbagai Hadis mengarahkan agar pada hari Lebaran tidak seorang pun tertinggal dalam bergembira dan berbahagia, tanpa berlebihan dan melewati batas.
Konsep Kesucian
Cak Nur mengatakan fitrah merupakan konsep kesucian asal pribadi manusia, yang memandang bahwa setiap individu dilahirkan dalam keadaan suci bersih.
"Karena itu zakat fitrah merupakan kewajiban pribadi berdasarkan kesucian asalnya, namun memiliki konsekuensi sosial yang sangat langsung dan jelas," ujarnya.
Menurutnya, seperti halnya dengan setiap zakat atau "sedekah" (shadaqah, secara etimologis berarti "tindakan kebenaran"). Pertama-tama dan terutama diperuntukkan bagi golongan fakir-miskin serta mereka yang berada dalam kesulitan hidup seperti al-riqab, mereka yang terbelenggu, yakni, para budak; dalam istilah modern dapat berarti mereka yang terkungkung oleh "kemiskinan struktural". Lalu, al-gharimun, yakni mereka yang terbeban berat hutang, serta ibn al-sabil, orang yang terlantar dalam perjalanan, demi usaha ikut meringankan beban hidup mereka.
Sasaran zakat yang lain pun masih berkaitan dengan kriteria bahwa zakat adalah untuk kepentingan umum atau sosial, seperti sasaran amil atau panitia zakat sendiri, kaum mu'allaf, dan sabil-Allah ("sabilillah", jalan Allah), kepentingan masyarakat dalam artian yang seluas-luasnya.
Menurut Cak Nur, zakat fitrah sebenarnya lebih banyak merupakan peringatan simbolik tentang kewajiban atas anggota masyarakat untuk berbagi kebahagiaan dengan kaum yang kurang beruntung, yang terdiri dari para fakir miskin.
Dari segi jumlah dan jenis materialnya sendiri, zakat fitrah mungkin tidaklah begitu berarti. Tetapi, sama dengan ibadah korban, yang lebih asasi dalam zakat fitrah ialah maknanya sebagai lambang solidaritas sosial dan rasa perikemanusiaan.
Dengan perkataan lain, zakat fitrah adalah lambang tanggung-jawab kemasyarakatan kita yang merupakan salah satu hasil pendidikan ibadah puasa, dan yang kita menifestasikan secara spontan.
Tetapi, sebagai simbol dan lambang, zakat fitrah harus diberi substansi lebih lanjut dan lebih besar dalam seluruh aspek hidup kita sepanjang tahun, berupa komitmen batin serta usaha mewujudkan masyarakat yang sebaik-baiknya, yang berintikan nilai Keadilan Sosial. Inilah antara lain makna firman Allah berkenaan dengan Hari Raya Lebaran:
"Hendaknya kamu sekalian sempurnakan hitungan (hari berpuasa sebulan) itu, dan hendaknya pula kamu bertakbir mengagungkan Allah atas karunia hidayah dan diberikan oleh-Nya kepadamu sekalian, dan agar supaya kamu sekalian bersyukur. [20]
"Min-al-'Aidin wa-'l-Fa'izin" (semoga kita semua tergolong mereka yang kembali ke fitrah kita --dan yang menang-- atas nafsu-egoisme kita).
"Dalam praktik yang melembaga dan mapan sebagai adat kita semua, manifestasi dari Lebaran itu ialah sikap-sikap dan perilaku kemanusiaan yang setulus-tulusnya dan setinggi-tingginya," ujar cendekiawan muslim Nurcholish Madjid atau Cak Nur (1939–2005) dalam bukunya berjudul "Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah" (Yayasan Paramadina, 1994).
Dimulai dengan pembayaran zakat fitrah yang dibagikan kepada fakir miskin, diteruskan dengan bertemu sesama anggota umat dalam perjumpaan besar pada salat Id, kemudian dikembangkan dalam kebiasaan terpuji bersilaturahmi kepada sanak kerabat dan teman sejawat, keseluruhan manifestasi Lebaran itu menggambarkan dengan jelas aspek sosial dari hasil ibadah puasa.
Adalah bersyukur atas nikmat-karunia yang merupakan hidayah Allah kepada kita itu maka pada hari Lebaran kita dianjurkan untuk memperlihatkan kebahagiaan dan kegembiraan kita.
Petunjuk Nabi dalam berbagai Hadis mengarahkan agar pada hari Lebaran tidak seorang pun tertinggal dalam bergembira dan berbahagia, tanpa berlebihan dan melewati batas.
Konsep Kesucian
Cak Nur mengatakan fitrah merupakan konsep kesucian asal pribadi manusia, yang memandang bahwa setiap individu dilahirkan dalam keadaan suci bersih.
"Karena itu zakat fitrah merupakan kewajiban pribadi berdasarkan kesucian asalnya, namun memiliki konsekuensi sosial yang sangat langsung dan jelas," ujarnya.
Menurutnya, seperti halnya dengan setiap zakat atau "sedekah" (shadaqah, secara etimologis berarti "tindakan kebenaran"). Pertama-tama dan terutama diperuntukkan bagi golongan fakir-miskin serta mereka yang berada dalam kesulitan hidup seperti al-riqab, mereka yang terbelenggu, yakni, para budak; dalam istilah modern dapat berarti mereka yang terkungkung oleh "kemiskinan struktural". Lalu, al-gharimun, yakni mereka yang terbeban berat hutang, serta ibn al-sabil, orang yang terlantar dalam perjalanan, demi usaha ikut meringankan beban hidup mereka.
Sasaran zakat yang lain pun masih berkaitan dengan kriteria bahwa zakat adalah untuk kepentingan umum atau sosial, seperti sasaran amil atau panitia zakat sendiri, kaum mu'allaf, dan sabil-Allah ("sabilillah", jalan Allah), kepentingan masyarakat dalam artian yang seluas-luasnya.
Menurut Cak Nur, zakat fitrah sebenarnya lebih banyak merupakan peringatan simbolik tentang kewajiban atas anggota masyarakat untuk berbagi kebahagiaan dengan kaum yang kurang beruntung, yang terdiri dari para fakir miskin.
Dari segi jumlah dan jenis materialnya sendiri, zakat fitrah mungkin tidaklah begitu berarti. Tetapi, sama dengan ibadah korban, yang lebih asasi dalam zakat fitrah ialah maknanya sebagai lambang solidaritas sosial dan rasa perikemanusiaan.
Dengan perkataan lain, zakat fitrah adalah lambang tanggung-jawab kemasyarakatan kita yang merupakan salah satu hasil pendidikan ibadah puasa, dan yang kita menifestasikan secara spontan.
Tetapi, sebagai simbol dan lambang, zakat fitrah harus diberi substansi lebih lanjut dan lebih besar dalam seluruh aspek hidup kita sepanjang tahun, berupa komitmen batin serta usaha mewujudkan masyarakat yang sebaik-baiknya, yang berintikan nilai Keadilan Sosial. Inilah antara lain makna firman Allah berkenaan dengan Hari Raya Lebaran:
"Hendaknya kamu sekalian sempurnakan hitungan (hari berpuasa sebulan) itu, dan hendaknya pula kamu bertakbir mengagungkan Allah atas karunia hidayah dan diberikan oleh-Nya kepadamu sekalian, dan agar supaya kamu sekalian bersyukur. [20]
"Min-al-'Aidin wa-'l-Fa'izin" (semoga kita semua tergolong mereka yang kembali ke fitrah kita --dan yang menang-- atas nafsu-egoisme kita).
(mhy)
Lihat Juga :