Dua Versi Tentang Kisah Masuknya Islam Umar Bin Khattab
Kamis, 04 Juni 2020 - 05:00 WIB
PADA mulanya, Umar bin Khattab adalah laki-laki Makkah yang paling keras menentang dan memerangi Islam . Ibn Hisyam menuturkan bahwa suatu hari Abu Bakar melihat Umar sedang menghajar seorang budak perempuan supaya meninggalkan Islam. Demikian rupa ia menghajar, karena sudah terlalu banyak ia memukul, hingga ia merasa bosan sendiri.
“Aku memaafkan kau! Kutinggalkan kau hanya karena sudah bosan,” ujar Umar meninggalkan budak itu.
“Itulah yang dilakukan Allah kepadamu,” jawab hamba sahaya itu. Kemudian hamba sahaya itu dibeli oleh Abu Bakar lalu dibebaskan.
Menurut Muhammad Husain Haekal dalam “Umar bin Khattab”, perlawanan Umar terhadap Nabi Muhammad dan dakwah nya bukan karena fanatik atau karena tidak mengerti. “Kita sudah tahu dia termasuk penduduk Makkah yang paling mantap dan paling banyak pengetahuannya,” tulisnya.
Dia pun, lanjut Haekal, sudah mendengar kata-kata Nabi Muhammad yang dipandangnya baik. Akan tetapi sikapnya terhadap dakwah yang baru ini makin menambah sikap keras kepalanya makin menjadi-jadi. Ia menyiksa dan menyakiti kaum Muslimin yang jatuh ke tangannya, sehingga mereka benar-benar merasa tersiksa karena tindakannya yang begitu keras kepada mereka.
Haekal menuturkan, Umar menganggap apa yang dilakukan Rasulullah hanya akan merusak dan menghancurkan tatanan hidup di Makkah. Dia lebih menyukai Makkah dengan segala tata tertibnya serta penduduknya yang hidup tenang, daripada Nabi Muhammad dan dakwahnya yang ternyata memecah belah persatuan Quraisy dan menginjak-injak kedudukan tanah suci itu.
Membiarkan dakwah ini, menurut Umar, berarti akan menambah perpecahan di kalangan Quraisy dan kedudukan Makkah pun akan makin hina. Jika Quraisy menghentikan Nabi Muhammad hanya sampai pada menentang mereka yang menjadi pengikut-pengikutnya dan berusaha supaya orang-orang yang lemah itu meninggalkan agamanya, jelas hal ini akan menghanyutkan Makkah dan orang-orang Quraisy ke dalam kehancuran, dan Quraisy hanya akan menjadi buah bibir semua orang Arab .
Dosa apa gerangan kaum dhuafa itu sampai disiksa demikian rupa! Semua dosa itu dosa Muhammad dan pesona bahasanya serta kekuatan logikanya, begitu cara berpikir Umar kala itu.
Retorika yang memukau itulah yang mempengaruhi pikiran kaum dhuafa, kaum yang lemah dan yang lain yang sampai meninggalkan kepercayaan nenek moyang mereka. “Kalau Muhammad meninggal hilanglah semua prahara itu dan suasana akan menjadi jernih kembali, tanah suci akan tetap aman dan damai. Terbunuhnya satu orang bukan lagi untuk menyelamatkan satu kabilah tetapi untuk menyelamatkan semua kabilah di Makkah. Mereka akan kembali bersatu dan tata tertib akan stabil.”
Hanya saja, Umar juga menganggap apa yang dikatakan Rasulullah memang baik. Tidak lebih ia hanya mengulang kembali kata-kata itu dan mengajak orang agar mengikuti dengan cara yang baik pula.
Di samping itu, Quraisy mengenalnya sebagai orang yang belum pernah berdusta. Akan dibunuhkah dia tanpa alasan kecuali hanya karena mengatakan, Allah adalah Tuhanku, dan mengatakan itu karena itulah yang diyakininya dan sudah menjadi keimanannya! Bagaimana caranya membunuh dia atau menghabisi orang itu, padahal dia dari Keluarga Hasyim, dan Keluarga Hasyim akan membelanya.
Di antara mereka yang sudah beriman kepadanya, memenuhi seruannya dan bersama-sama dengan dia adalah orang-orang yang berkedudukan dari kabilah-kabilah terhormat, mereka akan mengadakan pembelaan, seperti Banu Hasyim membela Nabi Muhammad. Abu Bakar dan Talhah bin Abdullah dari Banu Taim bin Murrah; Abdur-Rahman bin Auf dan Sa'd bin Abi Waqqas dari Banu Zuhrah; Usman bin Affan dari Banu Abdu-Syams; Abu Ubaidah bin al-Jarrah dari Banu Fihr bin Malik, dan az-Zubair bin al-Awwam dari Banu Asad.
Menurut Haekal, mereka semua orang-orang terpandang dalam kabilah masing-masing dan yang harus mereka lindungi apabila ada pihak yang akan mengganggu mereka. “Jika seandainya Umar memerangi mereka dan memerangi Muhammad dan menghasut untuk menyerang mereka, niscaya akan timbul perang saudara di Makkah, hal yang lebih berbahaya terhadap kedudukan mereka daripada terhadap Muhammad dan ajakannya itu,” tulisnya.
Bilamana Umar sudah menyendiri, semua pikiran itu berkecamuk dalam hatinya. Apabila ia bertemu dengan masyarakatnya dan melihat perpecahan yang ada pada mereka, kembali keprihatinannya timbul ingin mengembalikan ketenangan Makkah dengan jalan mengikis sumber penyebab peipecahan itu.
Pikiran demikian tetap selalu menggoda hatinya; sampai kemudian Nabi Muhammad meminta pengikut-pengikutnya hijrah ke Abisinia, berlindung kepada Allah dengan agama yang mereka yakini. Tetapi, sesudah Umar melihat mereka berpisah dengan keluarga-keluarga dan tanah tumpah darah mereka, timbul rasa kasihan, terasa luka di hati karena perpisahan itu.
“Aku memaafkan kau! Kutinggalkan kau hanya karena sudah bosan,” ujar Umar meninggalkan budak itu.
“Itulah yang dilakukan Allah kepadamu,” jawab hamba sahaya itu. Kemudian hamba sahaya itu dibeli oleh Abu Bakar lalu dibebaskan.
Menurut Muhammad Husain Haekal dalam “Umar bin Khattab”, perlawanan Umar terhadap Nabi Muhammad dan dakwah nya bukan karena fanatik atau karena tidak mengerti. “Kita sudah tahu dia termasuk penduduk Makkah yang paling mantap dan paling banyak pengetahuannya,” tulisnya.
Dia pun, lanjut Haekal, sudah mendengar kata-kata Nabi Muhammad yang dipandangnya baik. Akan tetapi sikapnya terhadap dakwah yang baru ini makin menambah sikap keras kepalanya makin menjadi-jadi. Ia menyiksa dan menyakiti kaum Muslimin yang jatuh ke tangannya, sehingga mereka benar-benar merasa tersiksa karena tindakannya yang begitu keras kepada mereka.
Haekal menuturkan, Umar menganggap apa yang dilakukan Rasulullah hanya akan merusak dan menghancurkan tatanan hidup di Makkah. Dia lebih menyukai Makkah dengan segala tata tertibnya serta penduduknya yang hidup tenang, daripada Nabi Muhammad dan dakwahnya yang ternyata memecah belah persatuan Quraisy dan menginjak-injak kedudukan tanah suci itu.
Membiarkan dakwah ini, menurut Umar, berarti akan menambah perpecahan di kalangan Quraisy dan kedudukan Makkah pun akan makin hina. Jika Quraisy menghentikan Nabi Muhammad hanya sampai pada menentang mereka yang menjadi pengikut-pengikutnya dan berusaha supaya orang-orang yang lemah itu meninggalkan agamanya, jelas hal ini akan menghanyutkan Makkah dan orang-orang Quraisy ke dalam kehancuran, dan Quraisy hanya akan menjadi buah bibir semua orang Arab .
Dosa apa gerangan kaum dhuafa itu sampai disiksa demikian rupa! Semua dosa itu dosa Muhammad dan pesona bahasanya serta kekuatan logikanya, begitu cara berpikir Umar kala itu.
Retorika yang memukau itulah yang mempengaruhi pikiran kaum dhuafa, kaum yang lemah dan yang lain yang sampai meninggalkan kepercayaan nenek moyang mereka. “Kalau Muhammad meninggal hilanglah semua prahara itu dan suasana akan menjadi jernih kembali, tanah suci akan tetap aman dan damai. Terbunuhnya satu orang bukan lagi untuk menyelamatkan satu kabilah tetapi untuk menyelamatkan semua kabilah di Makkah. Mereka akan kembali bersatu dan tata tertib akan stabil.”
Hanya saja, Umar juga menganggap apa yang dikatakan Rasulullah memang baik. Tidak lebih ia hanya mengulang kembali kata-kata itu dan mengajak orang agar mengikuti dengan cara yang baik pula.
Di samping itu, Quraisy mengenalnya sebagai orang yang belum pernah berdusta. Akan dibunuhkah dia tanpa alasan kecuali hanya karena mengatakan, Allah adalah Tuhanku, dan mengatakan itu karena itulah yang diyakininya dan sudah menjadi keimanannya! Bagaimana caranya membunuh dia atau menghabisi orang itu, padahal dia dari Keluarga Hasyim, dan Keluarga Hasyim akan membelanya.
Di antara mereka yang sudah beriman kepadanya, memenuhi seruannya dan bersama-sama dengan dia adalah orang-orang yang berkedudukan dari kabilah-kabilah terhormat, mereka akan mengadakan pembelaan, seperti Banu Hasyim membela Nabi Muhammad. Abu Bakar dan Talhah bin Abdullah dari Banu Taim bin Murrah; Abdur-Rahman bin Auf dan Sa'd bin Abi Waqqas dari Banu Zuhrah; Usman bin Affan dari Banu Abdu-Syams; Abu Ubaidah bin al-Jarrah dari Banu Fihr bin Malik, dan az-Zubair bin al-Awwam dari Banu Asad.
Menurut Haekal, mereka semua orang-orang terpandang dalam kabilah masing-masing dan yang harus mereka lindungi apabila ada pihak yang akan mengganggu mereka. “Jika seandainya Umar memerangi mereka dan memerangi Muhammad dan menghasut untuk menyerang mereka, niscaya akan timbul perang saudara di Makkah, hal yang lebih berbahaya terhadap kedudukan mereka daripada terhadap Muhammad dan ajakannya itu,” tulisnya.
Bilamana Umar sudah menyendiri, semua pikiran itu berkecamuk dalam hatinya. Apabila ia bertemu dengan masyarakatnya dan melihat perpecahan yang ada pada mereka, kembali keprihatinannya timbul ingin mengembalikan ketenangan Makkah dengan jalan mengikis sumber penyebab peipecahan itu.
Pikiran demikian tetap selalu menggoda hatinya; sampai kemudian Nabi Muhammad meminta pengikut-pengikutnya hijrah ke Abisinia, berlindung kepada Allah dengan agama yang mereka yakini. Tetapi, sesudah Umar melihat mereka berpisah dengan keluarga-keluarga dan tanah tumpah darah mereka, timbul rasa kasihan, terasa luka di hati karena perpisahan itu.