Al-Qur'an Menjawab Para Pengingkar Hari Kiamat
Jum'at, 05 Juni 2020 - 11:24 WIB
Quraish Shihab dalam Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat menyebut ada dua hal pokok berkaitan dengan keimanan yang mengambil tempat tidak sedikit dalam ayat-ayat Al-Quran . Pertama adalah uraian serta pembuktian tentang keesaan Allah Swt .; dan kedua adalah uraian dan pembuktian tentang hari akhir .
Al-Quran dan hadis Nabi saw tidak jarang menyebut kedua hal itu saja untuk "mewakili" rukun-rukun iman lainnya. Perhatikan misalnya:
وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَقُولُ ءَامَنَّا بِٱللَّهِ وَبِٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ وَمَا هُم بِمُؤْمِنِينَ
Dan ada orang-orang yang berkata, "Kami telah beriman kepada Allah dan hari kemudian", padahal (sebenarnya) mereka bukan orang-orang mukmin (QS Al-Baqarah [2]: 8).
إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَٰجِدَ ٱللَّهِ مَنْ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ
Sesungguhnya yang memakmurkan masjid-masjid Allah adalah yang beriman kepada Allah dan hari kemudian (QS Al-Tawbah [9]: 18).
إِنَّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَٱلَّذِينَ هَادُوا۟ وَٱلصَّٰبِـُٔونَ وَٱلنَّصَٰرَىٰ مَنْ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ وَعَمِلَ صَٰلِحًا فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, Shabiin, dan orang-orang Nasrani, siapa saja diantara mereka yang beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, maka tidak ada kekhawatiran untuk mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati (QS Al-Ma'idah [5]: 69).
Perhatikan juga sabda Nabi saw yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim melalui Abu Hurairah yang menyatakan: "Siapa yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, maka hendaklah dia berkata benar atau diam. Siapa yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, maka hendaklah ia menghormati tamunya".
Quraish Shihab menjelaskan bahwa keimanan kepada Allah berkaitan erat dengan keimanan kepada hari kemudian. Memang keimanan kepada Allah tidak sempurna kecuali dengan keimanan kepada hari akhir.
"Hal ini disebabkan keimanan kepada Allah menuntut amal perbuatan , sedangkan amal perbuatan baru sempurna motivasinya dengan keyakinan tentang adanya hari kemudian. Karena kesempurnaan ganjaran dan balasannya hanya ditemukan di hari kemudian nanti," tuturnya.
Menurut Quraish, banyak redaksi yang digunakan Al-Quran untuk menguraikan hari akhir, misalnya yaum Al-Ba'ts (hari kebangkitan) yaum Al-Qiyamah (hari kiamat),' yaum Al-Fashl (hari pemisah antara pelaku kebaikan dan kejahatan), dan masih banyak lainnya.
Al-Quran Al-Karim menguraikan masalah kebangkitan secara panjang lebar dengan menggunakan beberapa metode dan pendekatan. Kata "Al-Yaum Al-Akhir" saja terulang sebanyak 24 kali, di samping kata "akhirat" yang terulang sebanyak 115 kali. Belum lagi kata-kata padanannya. "Ini menunjukkan betapa besar perhatian Al-Quran dan betapa penting permasalahan ini," jelas Quraish.
Banyak juga sisi dari "hari" tersebut yang diuraikan Al-Quran, dan uraian itu -yang tidak jarang berbeda informasinya; bahkan berlawanan- diletakkan dalam berbagai surat. Seakan-akan Al-Quran bermaksud untuk memantapkan keyakinan tersebut-bagian demi bagian serta fasal demi fasal- dalam jiwa pemeluknya. Di sisi lain, banyak pula cara yang ditempuh Al-Quran ketika menguraikan masalah tersebut serta banyak pula pembuktiannya.
Penafsir besar Al-Biqa'i (809-885 H) mengamati bahwa "kebiasaan Allah Swt adalah bahwa Dia tidak menyebut keadaan hari kebangkitan, kecuali Dia menetapkan dua dasar pokok, yaitu qudrat (kemampuan) terhadap segala yang sifatnya mungkin dan pengetahuan tentang segala sesuatu yang dapat diketahui baik yang bersifat kulli (umum) maupun juz'i (rinci). Karena, siapa pun tidak dapat melakukan kebangkitan kecuali yang menghimpun kedua sifat tersebut." Untuk membuktikan hipotesisnya, Al-Biqa'i mengutip surat Al-An'am (6): 72-73.
Quraish berpendapat, apa yang dikemukakan Al-Biqa'i tersebut tidak sepenuhnya benar. Namun dapat dikatakan bahwa kebanyakan ayat Al-Qur'an yang berbicara tentang hari kebangkitan memang sifatnya demikian, apalagi jika dirangkaikan dengan ayat sebelum dan sesudahnya. Penyebutan kedua sifat itu agaknya merupakan argumen singkat menghadapi keraguan atau penolakan kaum musyrik menyangkut hari kiamat yang berdalih: "Apakah Tuhan mampu menghidupkan kembali tulang-belulang dan yang telah menyatu dengan tanah? Apakah Dia mengetahui bagian-bagian tubuh manusia yang telah berserakan bahkan telah bercampur dengan sekian banyak makhluk selainnya?"
Baca juga: Tanda-Tanda Sudah Ada, Benarkah Kiamat Akan Datang Pada Hari Jumat?
Menghadapi Pengingkar
Menghadapi para pengingkar, Al-Qur'an seringkali mengemukakan alasan-alasan pengingkaran, baru kemudian menanggapi dan menolaknya. Hal demikian terlihat dengan jelas dalam uraian Al-Qur'an tentang hari akhir.
Pada umumnya masyarakat Arab meragukan bahkan mengingkari adanya hari akhir; sementara yang percaya pun memiliki kepercayaan keliru.
وَقَالُوٓا۟ أَءِذَا كُنَّا عِظَٰمًا وَرُفَٰتًا أَءِنَّا لَمَبْعُوثُونَ خَلْقًا جَدِيدًا
Mereka berkata: "Jika kami telah menjadi tulang-belulang dan benda-benda yang hancur, apakah benar-benar kami masih akan dibangkitkan dalam bentuk makhluk yang baru?" (QS Al-Isra, [17]: 49).
وَقَالُوا إِنْ هِيَ إِلَّا حَيَاتُنَا الدُّنْيَا وَمَا نَحْنُ بِمَبْعُوثِينَ
Mereka berkata: "Ia (hidup ini) tidak lain kecuali kehidupan kita di dunia (saja) dan kita tidak akan dibangkitkan!" (QS Al-An'am [6]: 29).
وَأَقْسَمُوا بِاللَّهِ جَهْدَ أَيْمَانِهِمْ ۙ لَا يَبْعَثُ اللَّهُ مَنْ يَمُوتُ ۚ
Bahkan Mereka bersumpah demi Allah dengan sumpah yang sungguh-sungguh: "Allah tidak akan membangkitkan orang yang mati" (QS Al-Nahl [16]: 38).
Menurut Quraish, aneka ragam cara Al-Qur'an menyanggah pandangan keliru itu, sekali secara langsung dan di kali yang lain tidak secara langsung. Dengarkan misalnya Al-Qur'an ketika menyatakan:
قَدْ خَسِرَ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِلِقَاءِ اللَّهِ ۖ حَتَّىٰ إِذَا جَاءَتْهُمُ السَّاعَةُ بَغْتَةً قَالُوا يَا حَسْرَتَنَا عَلَىٰ مَا فَرَّطْنَا فِيهَا وَهُمْ يَحْمِلُونَ أَوْزَارَهُمْ عَلَىٰ ظُهُورِهِمْ ۚ أَلَا سَاءَ مَا يَزِرُونَ
Sesungguhnya merugilah orang-orang yang mendustakan pertemuan dengan Allah. Apabila kiamat datang kepada mereka dengan tiba-tiba, mereka berkata: "Alangkah besarnya penyesalan kami terhadap kelalaian kami tentang kiamat"; sambil mereka memikul dosa-dosa mereka di atas punggung mereka. Sungguh amat buruk apa yang mereka pikul itu (QS Al-An'am [6]: 31).
وَٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ بِـَٔايَٰتِ ٱللَّهِ وَلِقَآئِهِۦٓ أُو۟لَٰٓئِكَ يَئِسُوا۟ مِن رَّحْمَتِى وَأُو۟لَٰٓئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Orang-orang kafir (mendustakan) ayat-ayat Allah dan pertemuan dengan-Nya Mereka itulah yang berputus asa dari rahmatKu, dan buat mereka siksa yang pedih (QS Al-'Ankabut [29]: 23).
Ayat-ayat di atas dan semacamnya tidak secara langsung menuding si pengingkar, tetapi kandungan ayat-ayat itu sedemikian jelas dan tegas menyentuh setiap pengingkar.
Abdul-Karim Al-Khatib dalam bukunya Qadhiyat Al-Uluhiyah baina Al-Falsafah wa Ad-Din, mengibaratkan gaya bahasa demikian dengan keadaan satu kelompok yang berbicara tentang pembunuhan. Ketika itu tampil seorang yang menguraikan kekejaman pembunuh dan akibat-akibat yang akan dialaminya.
Ketika menguraikan hal tersebut, si pembunuh ikut hadir mendengarkan ucapan-ucapan tadi. Tentu saja, pelaku pembunuhan dalam hal ini akan merasa bahwa pembicaraan pada hakikatnya ditujukan kepadanya walaupun dari segi redaksi tidak demikian.
Namun justru karena itu, hal ini malah bisa membawa pengaruh ke dalam jiwanya, sehingga diharapkan dapat menimbulkan rasa takut, atau penyesalan yang mengantarkannya kepada kesadaran dan pengakuan. Dampak psikologis ini tentu akan berbeda bila sejak semula pembicara menuding si pelaku kejahatan secara langsung. Kemungkinan besar ia malahan akan menyangkal. Jadi, dalam gaya demikian, redaksi-redaksi Al-Quran tidak lagi mengarah kepada akal manusia, tetapi lebih banyak diarahkan kepada jiwanya dengan menggunakan bahasa "hati".
Baca juga: Kematian, Hanya Nabi Ibrahim dan Nabi Musa yang Bisa Menawar
Seperti diketahui, menurut Quraish, bahasa hati tidak (selalu) membutuhkan argumentasi-argumentasi logis. Karena itu, uraian-uraian Al-Quran dalam berbagai masalah tidak selalu disertai bukti argumentatif. Namun hal ini bukan berarti ayat ayat lain yang menguraikan hari kebangkitan tidak menggunakan argumentasi sebagai bahasa untuk akal.
Perhatikan misalnya, kata Quraish, surat Yasin (36): 78-81 yang mengemukakan argumentasi filosofis, atau surat Al Baqarah (2): 259-260, serta surat Al-Kahf (18): 9-26 yang mengemukakan alasan historis, atau surat Al-Hajj (22) 5-7 yang menggunakan analogi, serta surat Al-Najm (53): 31 yang menguraikan keniscayaannya dari segi tujuan dan hikmah . (
Al-Quran dan hadis Nabi saw tidak jarang menyebut kedua hal itu saja untuk "mewakili" rukun-rukun iman lainnya. Perhatikan misalnya:
وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَقُولُ ءَامَنَّا بِٱللَّهِ وَبِٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ وَمَا هُم بِمُؤْمِنِينَ
Dan ada orang-orang yang berkata, "Kami telah beriman kepada Allah dan hari kemudian", padahal (sebenarnya) mereka bukan orang-orang mukmin (QS Al-Baqarah [2]: 8).
إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَٰجِدَ ٱللَّهِ مَنْ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ
Sesungguhnya yang memakmurkan masjid-masjid Allah adalah yang beriman kepada Allah dan hari kemudian (QS Al-Tawbah [9]: 18).
إِنَّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَٱلَّذِينَ هَادُوا۟ وَٱلصَّٰبِـُٔونَ وَٱلنَّصَٰرَىٰ مَنْ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ وَعَمِلَ صَٰلِحًا فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, Shabiin, dan orang-orang Nasrani, siapa saja diantara mereka yang beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, maka tidak ada kekhawatiran untuk mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati (QS Al-Ma'idah [5]: 69).
Perhatikan juga sabda Nabi saw yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim melalui Abu Hurairah yang menyatakan: "Siapa yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, maka hendaklah dia berkata benar atau diam. Siapa yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, maka hendaklah ia menghormati tamunya".
Quraish Shihab menjelaskan bahwa keimanan kepada Allah berkaitan erat dengan keimanan kepada hari kemudian. Memang keimanan kepada Allah tidak sempurna kecuali dengan keimanan kepada hari akhir.
"Hal ini disebabkan keimanan kepada Allah menuntut amal perbuatan , sedangkan amal perbuatan baru sempurna motivasinya dengan keyakinan tentang adanya hari kemudian. Karena kesempurnaan ganjaran dan balasannya hanya ditemukan di hari kemudian nanti," tuturnya.
Menurut Quraish, banyak redaksi yang digunakan Al-Quran untuk menguraikan hari akhir, misalnya yaum Al-Ba'ts (hari kebangkitan) yaum Al-Qiyamah (hari kiamat),' yaum Al-Fashl (hari pemisah antara pelaku kebaikan dan kejahatan), dan masih banyak lainnya.
Al-Quran Al-Karim menguraikan masalah kebangkitan secara panjang lebar dengan menggunakan beberapa metode dan pendekatan. Kata "Al-Yaum Al-Akhir" saja terulang sebanyak 24 kali, di samping kata "akhirat" yang terulang sebanyak 115 kali. Belum lagi kata-kata padanannya. "Ini menunjukkan betapa besar perhatian Al-Quran dan betapa penting permasalahan ini," jelas Quraish.
Banyak juga sisi dari "hari" tersebut yang diuraikan Al-Quran, dan uraian itu -yang tidak jarang berbeda informasinya; bahkan berlawanan- diletakkan dalam berbagai surat. Seakan-akan Al-Quran bermaksud untuk memantapkan keyakinan tersebut-bagian demi bagian serta fasal demi fasal- dalam jiwa pemeluknya. Di sisi lain, banyak pula cara yang ditempuh Al-Quran ketika menguraikan masalah tersebut serta banyak pula pembuktiannya.
Penafsir besar Al-Biqa'i (809-885 H) mengamati bahwa "kebiasaan Allah Swt adalah bahwa Dia tidak menyebut keadaan hari kebangkitan, kecuali Dia menetapkan dua dasar pokok, yaitu qudrat (kemampuan) terhadap segala yang sifatnya mungkin dan pengetahuan tentang segala sesuatu yang dapat diketahui baik yang bersifat kulli (umum) maupun juz'i (rinci). Karena, siapa pun tidak dapat melakukan kebangkitan kecuali yang menghimpun kedua sifat tersebut." Untuk membuktikan hipotesisnya, Al-Biqa'i mengutip surat Al-An'am (6): 72-73.
Quraish berpendapat, apa yang dikemukakan Al-Biqa'i tersebut tidak sepenuhnya benar. Namun dapat dikatakan bahwa kebanyakan ayat Al-Qur'an yang berbicara tentang hari kebangkitan memang sifatnya demikian, apalagi jika dirangkaikan dengan ayat sebelum dan sesudahnya. Penyebutan kedua sifat itu agaknya merupakan argumen singkat menghadapi keraguan atau penolakan kaum musyrik menyangkut hari kiamat yang berdalih: "Apakah Tuhan mampu menghidupkan kembali tulang-belulang dan yang telah menyatu dengan tanah? Apakah Dia mengetahui bagian-bagian tubuh manusia yang telah berserakan bahkan telah bercampur dengan sekian banyak makhluk selainnya?"
Baca juga: Tanda-Tanda Sudah Ada, Benarkah Kiamat Akan Datang Pada Hari Jumat?
Menghadapi Pengingkar
Menghadapi para pengingkar, Al-Qur'an seringkali mengemukakan alasan-alasan pengingkaran, baru kemudian menanggapi dan menolaknya. Hal demikian terlihat dengan jelas dalam uraian Al-Qur'an tentang hari akhir.
Pada umumnya masyarakat Arab meragukan bahkan mengingkari adanya hari akhir; sementara yang percaya pun memiliki kepercayaan keliru.
وَقَالُوٓا۟ أَءِذَا كُنَّا عِظَٰمًا وَرُفَٰتًا أَءِنَّا لَمَبْعُوثُونَ خَلْقًا جَدِيدًا
Mereka berkata: "Jika kami telah menjadi tulang-belulang dan benda-benda yang hancur, apakah benar-benar kami masih akan dibangkitkan dalam bentuk makhluk yang baru?" (QS Al-Isra, [17]: 49).
وَقَالُوا إِنْ هِيَ إِلَّا حَيَاتُنَا الدُّنْيَا وَمَا نَحْنُ بِمَبْعُوثِينَ
Mereka berkata: "Ia (hidup ini) tidak lain kecuali kehidupan kita di dunia (saja) dan kita tidak akan dibangkitkan!" (QS Al-An'am [6]: 29).
وَأَقْسَمُوا بِاللَّهِ جَهْدَ أَيْمَانِهِمْ ۙ لَا يَبْعَثُ اللَّهُ مَنْ يَمُوتُ ۚ
Bahkan Mereka bersumpah demi Allah dengan sumpah yang sungguh-sungguh: "Allah tidak akan membangkitkan orang yang mati" (QS Al-Nahl [16]: 38).
Menurut Quraish, aneka ragam cara Al-Qur'an menyanggah pandangan keliru itu, sekali secara langsung dan di kali yang lain tidak secara langsung. Dengarkan misalnya Al-Qur'an ketika menyatakan:
قَدْ خَسِرَ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِلِقَاءِ اللَّهِ ۖ حَتَّىٰ إِذَا جَاءَتْهُمُ السَّاعَةُ بَغْتَةً قَالُوا يَا حَسْرَتَنَا عَلَىٰ مَا فَرَّطْنَا فِيهَا وَهُمْ يَحْمِلُونَ أَوْزَارَهُمْ عَلَىٰ ظُهُورِهِمْ ۚ أَلَا سَاءَ مَا يَزِرُونَ
Sesungguhnya merugilah orang-orang yang mendustakan pertemuan dengan Allah. Apabila kiamat datang kepada mereka dengan tiba-tiba, mereka berkata: "Alangkah besarnya penyesalan kami terhadap kelalaian kami tentang kiamat"; sambil mereka memikul dosa-dosa mereka di atas punggung mereka. Sungguh amat buruk apa yang mereka pikul itu (QS Al-An'am [6]: 31).
وَٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ بِـَٔايَٰتِ ٱللَّهِ وَلِقَآئِهِۦٓ أُو۟لَٰٓئِكَ يَئِسُوا۟ مِن رَّحْمَتِى وَأُو۟لَٰٓئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Orang-orang kafir (mendustakan) ayat-ayat Allah dan pertemuan dengan-Nya Mereka itulah yang berputus asa dari rahmatKu, dan buat mereka siksa yang pedih (QS Al-'Ankabut [29]: 23).
Ayat-ayat di atas dan semacamnya tidak secara langsung menuding si pengingkar, tetapi kandungan ayat-ayat itu sedemikian jelas dan tegas menyentuh setiap pengingkar.
Abdul-Karim Al-Khatib dalam bukunya Qadhiyat Al-Uluhiyah baina Al-Falsafah wa Ad-Din, mengibaratkan gaya bahasa demikian dengan keadaan satu kelompok yang berbicara tentang pembunuhan. Ketika itu tampil seorang yang menguraikan kekejaman pembunuh dan akibat-akibat yang akan dialaminya.
Ketika menguraikan hal tersebut, si pembunuh ikut hadir mendengarkan ucapan-ucapan tadi. Tentu saja, pelaku pembunuhan dalam hal ini akan merasa bahwa pembicaraan pada hakikatnya ditujukan kepadanya walaupun dari segi redaksi tidak demikian.
Namun justru karena itu, hal ini malah bisa membawa pengaruh ke dalam jiwanya, sehingga diharapkan dapat menimbulkan rasa takut, atau penyesalan yang mengantarkannya kepada kesadaran dan pengakuan. Dampak psikologis ini tentu akan berbeda bila sejak semula pembicara menuding si pelaku kejahatan secara langsung. Kemungkinan besar ia malahan akan menyangkal. Jadi, dalam gaya demikian, redaksi-redaksi Al-Quran tidak lagi mengarah kepada akal manusia, tetapi lebih banyak diarahkan kepada jiwanya dengan menggunakan bahasa "hati".
Baca juga: Kematian, Hanya Nabi Ibrahim dan Nabi Musa yang Bisa Menawar
Seperti diketahui, menurut Quraish, bahasa hati tidak (selalu) membutuhkan argumentasi-argumentasi logis. Karena itu, uraian-uraian Al-Quran dalam berbagai masalah tidak selalu disertai bukti argumentatif. Namun hal ini bukan berarti ayat ayat lain yang menguraikan hari kebangkitan tidak menggunakan argumentasi sebagai bahasa untuk akal.
Perhatikan misalnya, kata Quraish, surat Yasin (36): 78-81 yang mengemukakan argumentasi filosofis, atau surat Al Baqarah (2): 259-260, serta surat Al-Kahf (18): 9-26 yang mengemukakan alasan historis, atau surat Al-Hajj (22) 5-7 yang menggunakan analogi, serta surat Al-Najm (53): 31 yang menguraikan keniscayaannya dari segi tujuan dan hikmah . (
(mhy)