Beberapa Kali Umar Berselisih Pendapat dengan Rasulullah
Selasa, 09 Juni 2020 - 17:12 WIB
Tak sekali dua kali Umar Bin Khattab berbeda pendapat dengan Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam (SAW) dalam berbagai urusan di masa permulaan penyebaran Agama Islam. Ijtihad Umar ini seringkali diikuti turunnya wahyu kepada Nabi Muhammad. Wahyu itu justru membenarkan pendapat Umar. (
)
Pada awalnya, Rasulullah sedikit melibatkan Umar bin Khattab dalam misi penting keagamaan. Bagi Umar, boleh jadi itu terasa aneh. Soalnya, pada saat dirinya masih jahiliyah, Umar adalah tokoh yang seringkali ditunjuk kaum Quraisy menjadi penengah ketika terjadi konflik di antara mereka.
Muhammad Husain Haekal dalam “Umar bin Khattab” menulis, dengan maksud menakut-nakuti pihak Yahudi dan kaum munafik Rasulullah mengirim beberapa ekspedisi dan pimpinannya diserahkan kepada Hamzah bin Abdul-Muttalib, Ubaidah bin al-Haris, Sa'd bin Abi Waqqas dan Abdullah bin Jahsy, seperti juga sebagian ekspedisi yang dipimpin sendiri oleh Nabi.
“Buku-buku biografi dan buku-buku sejarah sama sekali tak ada yang menyebutkan bahwa Umar pernah terlibat dalam ekspedisi yang pertama ini,” tulis Haekal. ( )
Haekal berspekulasi, barangkali Rasulullah lebih menyukai Umar tinggal di Madinah mengingat kebijakannya yang baik serta keterusterangannya dalam menegakkan kebenaran. Hal ini terlihat tatkala ada delegasi Nasrani dari Najran datang ke Madinah mau berdebat dengan Rasulullah. Tetapi perdebatan mereka, juga perdebatan Yahudi, ditolak dengan firman Allah :
"Katakanlah: Wahai Ahli Kitab! Marilah menggunakan istilah yang sama antara kami dengan kamu: bahwa kita takkan menyembah siapa pun selain Allah; bahwa kita takkan mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Dia; bahwa kita tak akan saling mempertuhan satu sama lain selain Allah. Jika mereka berpaling; katakanlah: Saksikanlah bahwa kami orang-orang Muslim (tunduk bersujud pada kehendak Allah)." (Qur'an, 3:64).
Kemudian ia mengajak delegasi itu menerima apa yang sudah diwahyukan itu atau saling bermubahalah. Mubahalah adalah sumpah antara dua pihak untuk saling memohon dan berdoa kepada Allah SWT, supaya Allah SWT melaknat dan membinasakan atau mengazab pihak yang batil (salah) atau menyalahi pihak yang benar.
Tetapi pihak Nasrani berpendapat akan kembali kepada masyarakat mereka tanpa mengadakan mubahalah. Mereka juga melihat Nabi sangat teguh berpegang pada keadilan. Mereka ingin supaya dikirim orang bersama mereka yang dapat memberikan keputusan mengenai hal-hal yang mereka perselisihkan.
Kata Rasulullah kepada mereka, “Kemarilah sore nanti; akan saya utus orang yang kuat dan jujur bersama kalian”.
Ibn Hisyam menceritakan bahwa Umar bin Khattab ketika itu berkata: Yang paling saya sukai waktu itu ialah pimpinan, dengan harapan sayalah yang akan menjadi pemimpin itu. Saya pergi ke masjid akan salat zuhur dengan datang lebih dulu. Selesai Rasulullah mengucapkan salam, ia melihat ke kanan dan ke kiri. Saya sengaja menjulurkan kepala lebih tinggi supaya ia melihat saya. Sementara ia sedang mencari-cari dengan pandangannya, terlihat Abu Ubaidah bin al-Jarrah. la dipanggilnya seraya katanya: Anda pergilah bersama mereka dan selesaikan apa yang mereka perselisihkan dengan adil dan benar. Setelah itu Abu Ubaidah berangkat."
Sebenarnya Umar sangat mengharapkan dia yang akan ditunjuk oleh Rasulullah menjadi penengah, seperti yang biasa dilakukannya sejak nenek moyangnya dulu di zaman jahiliah, jika terjadi perselisihan di antara para kabilah. Tetapi pilihan Nabi jatuh kepada Abu Ubaidah, padahal Umar begitu dekat di hatinya.
Haekal berpendapat hal ini membuktikan bahwa Rasulullah menginginkan Umar tetap berada di Medinah. Keterusterangannya, keberanian serta pandangannya yang tepat sangat diperlukan. “Tetapi mungkin juga beliau khawatir mengingat watak Umar yang keras, maka yang dipilihnya Abu Ubaidah, karena selain kejujurannya, sikapnya lemah lembut dan periang,” tulis Haekal.
Perang Badar
Quraisy tidak puas dengan perdamaian yang ditawarkan Rasulullah agar memberikan kebebasan orang berdakwah demi agama Allah. Mereka bahkan tetap memperlihatkan permusuhan kepadanya dan kepada sahabat-sahabatnya.
Tatkala Rasulullah dengan kekuatan tiga ratus orang Muslimin keluar menyongsong mereka di Badar , dan beliau tahu bahwa di pihak Makkah yang datang dengan kekuatan lebih dari seribu orang, Rasulullah bermusyawarah dengan sahabat-sahabatnya: Akan tetap menghadapi perang dengan mereka atau akan kembali ke Madinah . Umar dan Abu Bakar menyarankan lebih baik mereka dihadapi. Setelah pertempuran dimulai, dan perang pun berkobar, korban pertama di pihak Muslimin adalah Mihja', bekas budak Umar bin Khattab.
Pada awalnya, Rasulullah sedikit melibatkan Umar bin Khattab dalam misi penting keagamaan. Bagi Umar, boleh jadi itu terasa aneh. Soalnya, pada saat dirinya masih jahiliyah, Umar adalah tokoh yang seringkali ditunjuk kaum Quraisy menjadi penengah ketika terjadi konflik di antara mereka.
Muhammad Husain Haekal dalam “Umar bin Khattab” menulis, dengan maksud menakut-nakuti pihak Yahudi dan kaum munafik Rasulullah mengirim beberapa ekspedisi dan pimpinannya diserahkan kepada Hamzah bin Abdul-Muttalib, Ubaidah bin al-Haris, Sa'd bin Abi Waqqas dan Abdullah bin Jahsy, seperti juga sebagian ekspedisi yang dipimpin sendiri oleh Nabi.
“Buku-buku biografi dan buku-buku sejarah sama sekali tak ada yang menyebutkan bahwa Umar pernah terlibat dalam ekspedisi yang pertama ini,” tulis Haekal. ( )
Haekal berspekulasi, barangkali Rasulullah lebih menyukai Umar tinggal di Madinah mengingat kebijakannya yang baik serta keterusterangannya dalam menegakkan kebenaran. Hal ini terlihat tatkala ada delegasi Nasrani dari Najran datang ke Madinah mau berdebat dengan Rasulullah. Tetapi perdebatan mereka, juga perdebatan Yahudi, ditolak dengan firman Allah :
"Katakanlah: Wahai Ahli Kitab! Marilah menggunakan istilah yang sama antara kami dengan kamu: bahwa kita takkan menyembah siapa pun selain Allah; bahwa kita takkan mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Dia; bahwa kita tak akan saling mempertuhan satu sama lain selain Allah. Jika mereka berpaling; katakanlah: Saksikanlah bahwa kami orang-orang Muslim (tunduk bersujud pada kehendak Allah)." (Qur'an, 3:64).
Kemudian ia mengajak delegasi itu menerima apa yang sudah diwahyukan itu atau saling bermubahalah. Mubahalah adalah sumpah antara dua pihak untuk saling memohon dan berdoa kepada Allah SWT, supaya Allah SWT melaknat dan membinasakan atau mengazab pihak yang batil (salah) atau menyalahi pihak yang benar.
Tetapi pihak Nasrani berpendapat akan kembali kepada masyarakat mereka tanpa mengadakan mubahalah. Mereka juga melihat Nabi sangat teguh berpegang pada keadilan. Mereka ingin supaya dikirim orang bersama mereka yang dapat memberikan keputusan mengenai hal-hal yang mereka perselisihkan.
Kata Rasulullah kepada mereka, “Kemarilah sore nanti; akan saya utus orang yang kuat dan jujur bersama kalian”.
Ibn Hisyam menceritakan bahwa Umar bin Khattab ketika itu berkata: Yang paling saya sukai waktu itu ialah pimpinan, dengan harapan sayalah yang akan menjadi pemimpin itu. Saya pergi ke masjid akan salat zuhur dengan datang lebih dulu. Selesai Rasulullah mengucapkan salam, ia melihat ke kanan dan ke kiri. Saya sengaja menjulurkan kepala lebih tinggi supaya ia melihat saya. Sementara ia sedang mencari-cari dengan pandangannya, terlihat Abu Ubaidah bin al-Jarrah. la dipanggilnya seraya katanya: Anda pergilah bersama mereka dan selesaikan apa yang mereka perselisihkan dengan adil dan benar. Setelah itu Abu Ubaidah berangkat."
Sebenarnya Umar sangat mengharapkan dia yang akan ditunjuk oleh Rasulullah menjadi penengah, seperti yang biasa dilakukannya sejak nenek moyangnya dulu di zaman jahiliah, jika terjadi perselisihan di antara para kabilah. Tetapi pilihan Nabi jatuh kepada Abu Ubaidah, padahal Umar begitu dekat di hatinya.
Haekal berpendapat hal ini membuktikan bahwa Rasulullah menginginkan Umar tetap berada di Medinah. Keterusterangannya, keberanian serta pandangannya yang tepat sangat diperlukan. “Tetapi mungkin juga beliau khawatir mengingat watak Umar yang keras, maka yang dipilihnya Abu Ubaidah, karena selain kejujurannya, sikapnya lemah lembut dan periang,” tulis Haekal.
Perang Badar
Quraisy tidak puas dengan perdamaian yang ditawarkan Rasulullah agar memberikan kebebasan orang berdakwah demi agama Allah. Mereka bahkan tetap memperlihatkan permusuhan kepadanya dan kepada sahabat-sahabatnya.
Tatkala Rasulullah dengan kekuatan tiga ratus orang Muslimin keluar menyongsong mereka di Badar , dan beliau tahu bahwa di pihak Makkah yang datang dengan kekuatan lebih dari seribu orang, Rasulullah bermusyawarah dengan sahabat-sahabatnya: Akan tetap menghadapi perang dengan mereka atau akan kembali ke Madinah . Umar dan Abu Bakar menyarankan lebih baik mereka dihadapi. Setelah pertempuran dimulai, dan perang pun berkobar, korban pertama di pihak Muslimin adalah Mihja', bekas budak Umar bin Khattab.