Sepupu Umar Bin Khattab Ini Guru Spiritual Abu Bakar Sebelum Masa Kenabian

Selasa, 18 Januari 2022 - 11:16 WIB
Ilustrasi kakbah zaman jahiliyah (amust.com)
Dia adalah Zaid bin Amr bin Nufail . Sebelum masa kenabian Muhammad SAW , Zaid adalah guru spiritual Abu Bakar Ash-Shiddiq . Zaid dan beberapa orang Mekkah, termasuk Abu Bakar adalah orang yang menolak menyembah berhala.

Jalal ad-Din as-Suyuti dalam bukunya berjudul "Tarikh al-Khulafa" memaparkan Abu Bakar gelisah dengan budaya menyembah berhala kaum Qurasy itu. Sebagai pelarian dari kegelisahan hatinya, Abu Bakar seringkali secara diam-diam menemui tiga orang guri spiritulanya, salah satunya adalah Zaid bin Amr bin Nufail. Dua lainnya yang dianggap "orang suci" tersebut adalah Qus bin Saidah al-Iyyadi, dan Waraqah bin Naufal.

Ketiga guru Abu Bakar ini adalah penganut agama Ibrahim yang telah meninggalkan keramaian dunia dan hidup menyepi.



Suatu kali Zaid bin Amr bin Nufail bertanya kepada Abu Bakar, yang lala itu masih menyandang nama Atiq. “Manakah yang benar, apakah Tuhan yang satu, atau tuhan yang beribu-ribu? Apakah dapat dikatakan agama jika urusan terpecah semena-mena?”



Pertanyaan itu bertahan lama, hinggap di dalam pikirannya, dan karenanya Abu Bakar menderita. Dia begitu ingin mencari tahu kebenaran.

Di antara tiga manusia suci ini Zaid bin Amr bin Nufail suaranya paling keras menyerukan agama Ibrahim. Suatu waktu suaranya meninggi, akibatnya orang-orang Quraisy merasa terganggu, sehingga mereka menghasut salah seorang kerabatnya, yaitu Khattab bin Nufail, untuk menutup pintu rumahnya dan membiarkannya terpencil.

Dalam kesempatan lain, Zaid bin Amr bin Nufail yang sudah tua bersandar pada dinding Kakbah, dan dia menyeru, “Hai Kaum Quraisy! Demi Dzat yang nyawaku berada dalam tangan-Nya, tak seorang pun di antara kalian yang masih mengikuti agama Ibrahim dan Ismail sepeninggal mereka.

“Dan sungguh, aku sedang menunggu-nunggu kedatangan seorang Nabi keturunan Ismail, yang aku rasa, aku tak akan sempat bertemu dengannya.”

Kemudian tampak olehnya Amir bin Rabiah, maka dipanggilnya dia seraya berkata, “Hai Amir bin Rabiah, jika umurmu panjang sampaikanlah salamku kepadanya!”

Khalid Muhammad Khalid dalam bukunya berjudul "Mengenal Pola Kepemimpinan Umat dari Karakteristik Perihidup Khalifah Rasulullah" mengisahkan Zaid bin Amr bin Nufail kemudian menyeruak ke dalam barisan orang-orang yang sedang mengelilingi Kakbah, kemudian menyeru dengan suara yang lantang:

“Ya Rabbi! Aku terima kebenaran itu sebagai kebenaran. Aku beribadah dan memperhambakan diri hanya kepada-Mu. Aku berlindung kepada Dzat yang menjadi tempat berlindung Nabi Ibrahim.

Dan kuserahkan diriku kepada Dzat tempat bumi menyerahkan dirinya, yakni bumi yang dihamparkan-Nya dengan membawa bebatuan yang tak terkira jumlahnya, yang kemudian dijadikan-Nya gunung-gunung untuk mengukuhkan kedudukannya.

Dan kuserahkan diriku kepada Dzat tempat awan menyerahkan dirinya, yakni awan hitam yang membawa air, yang sejuk dan tawar rasanya.”

Melihatnya, Abu Bakar berkata di dalam hati, “Demi Tuhan Ibrahim, inilah sebenarnya yang hak! Tetapi bagaimana caranya? Serta bilakah masanya kita akan beroleh keyakinan terhadap-Nya?”

Sementara, Zaid sendiri, bukanlah seorang nabi, maka dia pun senantiasa berada di dalam pencariannya, berkata, “Ya Allah, sekiranya aku mengetahui cara yang lebih Engkau sukai dalam beribadah kepada-Mu, tentulah aku akan melakukannya. Tetapi bagaimana? Aku tidak mengetahuinya….”



Sepupu Umar bin Khattab

Muhammad Husain Haekal dalam bukunya berjudul "Umar bin Khattab" menjelaskan Zaid bin Amr adalah saudara sepupu Umar Bin Khattab atau keponakan Khattab, ayah Umar.

Nasab beliau adalah Zaid bin Amr bin Nufail bin Abdul Uzza bin Riyah bin Abdullah bin Qurth bin Razah bin ‘Adi bin Ka’ab bin Lu’ay.

Sedangkan Khattab bin Nufail pamannya dan sekaligus saudaranya dari pihak ibu, sebab perkawinan Nufail dengan Jaida' yang kemudian melahirkan Khattab.

Setelah Nufail meninggal Amr anaknya yang dari ibu lain kawin dengan istri ayahnya Jaida'. Pernikahan demikian biasa dilakukan di zaman jahiliyah. Dari perkawinan Amr dengan Jaida' ini lahirlah Zaid bin Amr, yang bagi Umar adalah saudara dan sekaligus kemenakan. Usia keduanya berdekatan.

Haekal berkisah, sore itu Umar bin Khattab tengah bercakap-cakap dengan koleganya di Pasar Ukaz. Samar-samar dilihatnya seorang penunggang kuda sedang memacu kudanya cepat-cepat. Umar berteriak: "Demi Lat dan Uzza, sungguh kagum aku melihat kepandaiannya menunggang kuda itu!"

Seorang rekannya yang duduk di dekatnya, tersenyum. "Semoga Uzza mengampuni sepupumu Zaid bin Amr yang berkata dalam syairnya:

"Tak ada Uzza maupun kedua putrinya yang kupercayai

Tak ada berhala-berhala Bani Tasm yang kuikuti

Adakah satu Tuhan yang kuanut ataukah seribu tuhan

Apabila masalahnya sudah terpilah-pilah?"

Mendengar itu wajah Umar berubah jadi masam, merengut. "Celaka dia!" katanya. "Dia sudah ingkar. Uzza tidak akan mengampuninya!”



Zaid tidak menyembah berhala dan tidak mau memakan makanan qurban untuk berhala itu, kepada masyarakatnya ia berkata:

"Allah menurunkan hujan dan menumbuhkan hasil bumi, menciptakan unta supaya kamu urus, lalu kamu sembelih untuk yang selain Allah? Selain aku, aku tidak tahu di muka bumi ini adakah orang yang berpegang pada agama Ibrahim?!"

Di saat bangsa Arab terkenal sebagai bangsa yang doyan membunuh bayi perempuan, Zaid bin Amr merupakan seorang yang membiarkan bayi perempuannya tetap hidup. Dan apabila ada orang yang ingin membunuh bayi perempuannya, maka ia berkata kepadanya:

“Janganlah engkau bunuh ia, berikan saja kepadaku, aku akan mengasuhnya.”

Dan apabila anak perempuan tersebut telah dewasa, maka ia berkata kepada orangtuanya, “Kalau engkau mau, ambillah ia. Dan apabila engkau mau, biarkan dia.”

Zaid berdakwah lewat syair-syairnya. Dalam hal ini banyak syair yang dikutip oleh penulis al-Agani (Abul-Faraj al-Asfahani) dihubungkan kepada Zaid bin Amr. Juga oleh Ibn Hisyam dalam as-Sirah dan yang lain. Dua bait sajaknya di antara sekian banyak sajaknya itu, yakni:

Kuserahkan diriku ke tempat awan menyerahkan dirinya

Yang membawa air sejuk dan lezat

Kuserahkan diriku ke tempat bumi menyerahkan diri

Yang membawa batu-batuan yang berat-berat

Diratakan dan ditancapkan gunung-gunung di alasnya



Berikut pula sebuah syair menjadi curahan jiwa Zaid bin ‘Amr bin Nufail:

Apakah Rabb yang Esa ataukah seribu tuhan

Yang ‘kan kusembah ketika engkau membagi-bagi jatah?

Kutinggalkan Lata dan ‘Uzza seluruhnya

Demikianlah yang dilakukan si orang yang amat sabar

Maka bukanlah ‘Uzza yang kusembah, tidak juga kedua putrinya

Tak pula dua berhala Bani ‘Amr yang ‘kan kuziarahi

Bukan pula Ghanam yang ‘kan kusembah padahal dia adalah rabb kita saat ini,

Karena akalku masih waras

Aku heran
Halaman :
Follow
Hadits of The Day
Dari Jabir bin Abdillah dia berkata, saya mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Dzikir yang paling utama adalah Laa ilaaha illallah (tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah). Dan doa yang paling utama adalah Alhamdulillah (segala puji bagi Allah).

(HR. Sunan Ibnu Majah No. 3790)
Artikel Terkait
Al-Qur'an, Bacalah!
Rekomendasi
Terpopuler
Artikel Terkini More