Idries Shah: Praktik dan Pemikiran Sufi Mirip Peribadatan Zen Buddhist Jepang
Jum'at, 26 Agustus 2022 - 16:04 WIB
Idries Shah mengatakan ada suatu kemiripan yang sangat menarik antara praktik dan pemikiran Sufi dengan peribadatan (kultus) tidak lazim yang menurut orang merupakan suatu tipe kultus Budhistik, yaitu Zen yang dipraktikkan di Jepang.
Syekh Besar (Syekh al-Kabir) Sufi yang bernama lengkap Nawab-Zada Sayyid Idries Shah al-Hasyimi ini dalam bukunya berjudul " The Sufis " menjelaskan Zen sebenarnya merupakan suatu transmisi rahasia di luar bidang ajaran resmi Budha dan disebarkan melalui teladan serta pengajaran individual.
"Secara historis, Zen tidak pernah mengalami masa kejayaan, bahkan para penganutnya tidak mengaitkan Zen dengan peristiwa khusus dalam kehidupan Budha," katanya.
Menurut catatan sejarah, Zen pertama kali muncul pada abad kesebelas, yaitu ketika mazhab paling awal Zen ditemukan di Jepang dan dibawa dari China pada tahun 1191.
Periode masuknya Zen ke Jepang itu berhubungan dengan pertumbuhan mazhab-mazhab mistik India modern berkat keuletan para Sufi. Tempat asalnya, yaitu China Selatan, merupakan wilayah pendudukan Arab dan Muslim lainnya selama berabad-abad.
Menurut Idries Shah, Budhisme di Jepang sendiri muncul sejak tahun 625 dan pada dasarnya masuk ke kepulauan Jepang antara paruh pertama abad ketujuh dan awal abad ke-sembilan.
Penetrasi penaklukan Muslim serta sufi di wilayah para penganut Budha Asia Tengah terjadi kemudian. Peristiwa ini bermula dari basis ajaran Budha di Afghanistan yang kemudian masuk ke Tibet setelah penaklukan Muslim.
Menurut Idries Shah, ada beberapa legenda tentang hubungan antara Zen China dengan India, sedangkan tradisi Sufi menunjukkan bahwa Sufi klasik awal telah mengadakan hubungan dengan para pengikut bodd yang ternyata mempunyai kemiripan dengan aliran-aliran mistik India.
Kemiripan antara Zen dan Sufisme, baik dalam terminologi, kisah-kisah maupun kegiatan-kegiatan para gurunya adalah sangat jelas. Dari sudut pandang Sufi, praktik Zen --sebagaimana yang terdapat di dalam kepustakaan populer-- sangat mirip dengan praktik sebagian teknik "menempa" (zarb) dari Sufisme.
Dr Suzuki, pakar terkemuka sastra Zen, agaknya benar ketika menyatakan bahwa Zen telah mengadaptasikan pikiran Timur Jauh. Akan tetapi gagasan-gagasan, kias-kias dan perumpamaan-perumpamaan yang mengandung ajaran Sufi telah berakar kuat sejak lama sebelum guru Zen.
Yengo (kira-kira 1566-1642) menulis surat untuk menjawab pertanyaan, "Apakah Zen itu?" Dalam buku "An Introduction to Zen Buddhism" Suzuki menukil:
Surat ini hanya dipersembahkan kepadamu, dan pada saat ini segala sesuatunya bergantung pada (pengertian)mu. Bagi orang yang berakal, satu kata sudah cukup untuk meyakinkannya tentang hakikat Zen, akan tetapi kemudian ada kesalahpahaman.
Zen telah begitu sering dituliskan dengan tinta, diungkapkan dengan kata-kata yang jelas dan dalil-dalil logika, namun kemudian semakin tak dapat dipahami olehmu.
Kebenaran Zen yang agung ada dalam diri setiap orang. Kenalilah dirimu sendiri, jangan mencari Zen melalui orang lain. Jiwamu sendiri adalah di atas segala-galanya. Jiwa itu bebas dan tentram. Jiwa itu sendiri mampu mengendalikan dirinya dengan indera keenam dan empat unsur dalam diri manusia.
Di dalam jiwa itu ada cahaya. Redamlah dualisme subyek dan obyek. Lupakanlah keduanya, jauhilah akal pikiran, hindarilah pemahaman dan masuklah secara langsung ke dalam jati diri jiwa Budha. Di luar semua itu engkau sama sekali tidak dapat mengenali realitas.
Idries Shah mengatakan agaknya naif apabila kita mengandalkan fakta-fakta yang menonjol tersebut sebagai suatu fakta transmisi sufisme dan derivasi Zen dari sumbernya. Namun menurut kepercayaan sufi, dasar ajaran Zen pasti ada di sana, berada di dalam jiwa manusia. Akan tetapi, hanya sentuhan Sufi yang telah membantu membangkitkan kesadaran batin terhadap realitas sejati satu-satunya.
Seorang Sufi China, Mr. H. L. Ma, dalam ceramahnya di sebuah pertemuan Hongkong Metaphysical Association satu dekade yang lalu, sebagaimana dikutip Idries Shah, memaparkan bagaimana cara menyampaikan gagasan-gagasan agar dapat diterima dalam lingkungan budaya yang berbeda-beda:
Kepada para Pencari Kebenaran, saya terpaksa mengatakan bahwa Sufi sulit untuk dipahami. Mengapa? Karena para pemerhati generasi baru mengharapkan serangkaian sistem menurut pola pikir mereka. Mereka tidak tahu bahwa pola pikir tersebut keliru.
Pada dasarnya Sufi ada dalam diri Anda. Anda merasakannya, namun tidak mengetahui apa itu. Bilamana Anda mengalami perasaan-perasaan tertentu seperti kebaikan, cinta, kebenaran, keinginan melakukan sesuatu dengan sepenuh jiwa --itulah Sufi.
Bila Anda hanya mementingkan diri sendiri --itu bukan Sufi. Anda mempunyai rasa simpati yang kuat kepada orang bijak yang luhur --itulah Sufi ...
Seorang guru ditanya, "Apakah Sufi itu?"
Ia menjawab, "Tunjukkan kepadaku perasaan sakit, maka akan kutunjukkan apa Sufi itu!"
Hal ini sama seperti pertanyaan Anda kepada guru, "Dari mana asalnya api (cahaya)?"
Kemudian guru memadamkannya dan bertanya, "Engkau jawab dulu ke mana perginya api itu, baru akan kujawab dari mana asalnya."
Anda tidak dapat menyatakan dengan kata-kata apa yang Anda tanyakan dengan kata-kata ...
Idries Shah mengatakan hal ini kedengarannya mungkin sangat bercorak Timur bagi pembaca Barat, namun ilustrasi-ilustrasi yang digunakan (rasa sakit dan lilin) tidak sepenuhnya merupakan analogi-analogi orang Timur.
Menurutnya, ilustrasi-ilustrasi tersebut berasal secara langsung dari ajaran-ajaran sang Guru (Sufi) Barat, yaitu Rumi. Bagaimana metode penyampaian gagasan-gagasan, penyederhanaan dengan parabolis, kelihatannya sangat bercorak China, namun tetap mengandung semangat Sufi.
Sementara Col. A. Clarke dalam "Letters to England" telah mengungkapkan kesan-kesannya tentang sufi, sehingga memungkinkan pikiran Barat untuk memahami orientasi aliran mistik ini dan menciptakan suatu atmosfir yang sesuai dengan pikiran Barat:
"Puisi cinta yang sangat agung dari para Sufi yang luhur, seluruh ajaran-ajarannya yang praktis, semangatnya yang dipadukan dengan suatu pengukuhan mendalam dari tujuan risalah (ketuhanan) dan tujuan pencapaian nilai-nilai spiritual dan fisik, keyakinan terhadap pesan dan masa depan ummat manusia: semua itu merupakan sumbangan-sumbangan yang berharga dari kelompok yang mengesankan ini, pengakuan dari orang-orang yang senantiasa menyampaikan keyakinan dan kesan-kesan abadi dari orang kuno pilihan."
Syekh Besar (Syekh al-Kabir) Sufi yang bernama lengkap Nawab-Zada Sayyid Idries Shah al-Hasyimi ini dalam bukunya berjudul " The Sufis " menjelaskan Zen sebenarnya merupakan suatu transmisi rahasia di luar bidang ajaran resmi Budha dan disebarkan melalui teladan serta pengajaran individual.
"Secara historis, Zen tidak pernah mengalami masa kejayaan, bahkan para penganutnya tidak mengaitkan Zen dengan peristiwa khusus dalam kehidupan Budha," katanya.
Menurut catatan sejarah, Zen pertama kali muncul pada abad kesebelas, yaitu ketika mazhab paling awal Zen ditemukan di Jepang dan dibawa dari China pada tahun 1191.
Periode masuknya Zen ke Jepang itu berhubungan dengan pertumbuhan mazhab-mazhab mistik India modern berkat keuletan para Sufi. Tempat asalnya, yaitu China Selatan, merupakan wilayah pendudukan Arab dan Muslim lainnya selama berabad-abad.
Menurut Idries Shah, Budhisme di Jepang sendiri muncul sejak tahun 625 dan pada dasarnya masuk ke kepulauan Jepang antara paruh pertama abad ketujuh dan awal abad ke-sembilan.
Penetrasi penaklukan Muslim serta sufi di wilayah para penganut Budha Asia Tengah terjadi kemudian. Peristiwa ini bermula dari basis ajaran Budha di Afghanistan yang kemudian masuk ke Tibet setelah penaklukan Muslim.
Menurut Idries Shah, ada beberapa legenda tentang hubungan antara Zen China dengan India, sedangkan tradisi Sufi menunjukkan bahwa Sufi klasik awal telah mengadakan hubungan dengan para pengikut bodd yang ternyata mempunyai kemiripan dengan aliran-aliran mistik India.
Kemiripan antara Zen dan Sufisme, baik dalam terminologi, kisah-kisah maupun kegiatan-kegiatan para gurunya adalah sangat jelas. Dari sudut pandang Sufi, praktik Zen --sebagaimana yang terdapat di dalam kepustakaan populer-- sangat mirip dengan praktik sebagian teknik "menempa" (zarb) dari Sufisme.
Dr Suzuki, pakar terkemuka sastra Zen, agaknya benar ketika menyatakan bahwa Zen telah mengadaptasikan pikiran Timur Jauh. Akan tetapi gagasan-gagasan, kias-kias dan perumpamaan-perumpamaan yang mengandung ajaran Sufi telah berakar kuat sejak lama sebelum guru Zen.
Yengo (kira-kira 1566-1642) menulis surat untuk menjawab pertanyaan, "Apakah Zen itu?" Dalam buku "An Introduction to Zen Buddhism" Suzuki menukil:
Surat ini hanya dipersembahkan kepadamu, dan pada saat ini segala sesuatunya bergantung pada (pengertian)mu. Bagi orang yang berakal, satu kata sudah cukup untuk meyakinkannya tentang hakikat Zen, akan tetapi kemudian ada kesalahpahaman.
Zen telah begitu sering dituliskan dengan tinta, diungkapkan dengan kata-kata yang jelas dan dalil-dalil logika, namun kemudian semakin tak dapat dipahami olehmu.
Kebenaran Zen yang agung ada dalam diri setiap orang. Kenalilah dirimu sendiri, jangan mencari Zen melalui orang lain. Jiwamu sendiri adalah di atas segala-galanya. Jiwa itu bebas dan tentram. Jiwa itu sendiri mampu mengendalikan dirinya dengan indera keenam dan empat unsur dalam diri manusia.
Di dalam jiwa itu ada cahaya. Redamlah dualisme subyek dan obyek. Lupakanlah keduanya, jauhilah akal pikiran, hindarilah pemahaman dan masuklah secara langsung ke dalam jati diri jiwa Budha. Di luar semua itu engkau sama sekali tidak dapat mengenali realitas.
Idries Shah mengatakan agaknya naif apabila kita mengandalkan fakta-fakta yang menonjol tersebut sebagai suatu fakta transmisi sufisme dan derivasi Zen dari sumbernya. Namun menurut kepercayaan sufi, dasar ajaran Zen pasti ada di sana, berada di dalam jiwa manusia. Akan tetapi, hanya sentuhan Sufi yang telah membantu membangkitkan kesadaran batin terhadap realitas sejati satu-satunya.
Seorang Sufi China, Mr. H. L. Ma, dalam ceramahnya di sebuah pertemuan Hongkong Metaphysical Association satu dekade yang lalu, sebagaimana dikutip Idries Shah, memaparkan bagaimana cara menyampaikan gagasan-gagasan agar dapat diterima dalam lingkungan budaya yang berbeda-beda:
Kepada para Pencari Kebenaran, saya terpaksa mengatakan bahwa Sufi sulit untuk dipahami. Mengapa? Karena para pemerhati generasi baru mengharapkan serangkaian sistem menurut pola pikir mereka. Mereka tidak tahu bahwa pola pikir tersebut keliru.
Pada dasarnya Sufi ada dalam diri Anda. Anda merasakannya, namun tidak mengetahui apa itu. Bilamana Anda mengalami perasaan-perasaan tertentu seperti kebaikan, cinta, kebenaran, keinginan melakukan sesuatu dengan sepenuh jiwa --itulah Sufi.
Bila Anda hanya mementingkan diri sendiri --itu bukan Sufi. Anda mempunyai rasa simpati yang kuat kepada orang bijak yang luhur --itulah Sufi ...
Seorang guru ditanya, "Apakah Sufi itu?"
Ia menjawab, "Tunjukkan kepadaku perasaan sakit, maka akan kutunjukkan apa Sufi itu!"
Hal ini sama seperti pertanyaan Anda kepada guru, "Dari mana asalnya api (cahaya)?"
Kemudian guru memadamkannya dan bertanya, "Engkau jawab dulu ke mana perginya api itu, baru akan kujawab dari mana asalnya."
Anda tidak dapat menyatakan dengan kata-kata apa yang Anda tanyakan dengan kata-kata ...
Idries Shah mengatakan hal ini kedengarannya mungkin sangat bercorak Timur bagi pembaca Barat, namun ilustrasi-ilustrasi yang digunakan (rasa sakit dan lilin) tidak sepenuhnya merupakan analogi-analogi orang Timur.
Menurutnya, ilustrasi-ilustrasi tersebut berasal secara langsung dari ajaran-ajaran sang Guru (Sufi) Barat, yaitu Rumi. Bagaimana metode penyampaian gagasan-gagasan, penyederhanaan dengan parabolis, kelihatannya sangat bercorak China, namun tetap mengandung semangat Sufi.
Sementara Col. A. Clarke dalam "Letters to England" telah mengungkapkan kesan-kesannya tentang sufi, sehingga memungkinkan pikiran Barat untuk memahami orientasi aliran mistik ini dan menciptakan suatu atmosfir yang sesuai dengan pikiran Barat:
"Puisi cinta yang sangat agung dari para Sufi yang luhur, seluruh ajaran-ajarannya yang praktis, semangatnya yang dipadukan dengan suatu pengukuhan mendalam dari tujuan risalah (ketuhanan) dan tujuan pencapaian nilai-nilai spiritual dan fisik, keyakinan terhadap pesan dan masa depan ummat manusia: semua itu merupakan sumbangan-sumbangan yang berharga dari kelompok yang mengesankan ini, pengakuan dari orang-orang yang senantiasa menyampaikan keyakinan dan kesan-kesan abadi dari orang kuno pilihan."
(mhy)
Lihat Juga :