Ayat-Ayat Waris: Hukum Hak Saudara Kandung Berdasar Surat An-Nisa Ayat 176
Selasa, 22 November 2022 - 17:47 WIB
Prof Dr Muhammad Ali ash-Shabuni (1930 – 2021) mengatakan syariat Islam menetapkan aturan waris dengan bentuk yang sangat teratur dan adil. Di dalamnya ditetapkan hak kepemilikan harta bagi setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan dengan cara yang legal.
Syariat Islam juga menetapkan hak pemindahan kepemilikan seseorang sesudah meninggal dunia kepada ahli warisnya, dari seluruh kerabat dan nasabnya, tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan, besar atau kecil.
Mufassir dan ulama yang berasal dari Suriah, yang merupakan salah seorang Guru Besar ilmu tafsir di Umm Al-Qura University, Mekkah, Saudi Arabia ini menyebut Al-Qur'an menjelaskan dan merinci secara detail hukum-hukum yang berkaitan dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan hak seorang pun.
Bagian yang harus diterima semuanya dijelaskan sesuai kedudukan nasab terhadap pewaris, apakah dia sebagai anak, ayah, istri, suami, kakek, ibu, paman, cucu, atau bahkan hanya sebatas saudara seayah atau seibu.
Oleh karena itu, Al-Qur'an merupakan acuan utama hukum dan penentuan pembagian waris, sedangkan ketetapan tentang kewarisan yang diambil dari hadis Rasulullah SAW dan ijma' para ulama sangat sedikit.
Dalam bukunya yang diterjemahkan AM Basamalah dengan judul "Pembagian Waris Menurut Islam", (Gema Insani Press, 1995), Muhammad Ali ash-Shabuni menjelaskan dapat dikatakan bahwa dalam hukum dan syariat Islam sedikit sekali ayat Al-Qur'an yang merinci suatu hukum secara detail dan rinci, kecuali hukum waris ini.
Hal demikian disebabkan kewarisan merupakan salah satu bentuk kepemilikan yang legal dan dibenarkan Allah SWT. Di samping bahwa harta merupakan tonggak penegak kehidupan baik bagi individu maupun kelompok masyarakat.
Dalam mengkaji waris, Muhammad Ali ash-Shabuni membedah ayat-ayat Al-Quran secara lengkap. Pada tulisan ini kali kita akan bahas hukum keadaan saudara kandung atau seayah.
Menurutnya, firman Allah SWT dalam surat an-Nisa' : 176 mengisyaratkan adanya beberapa keadaan tentang bagian saudara kandung atau saudara seayah.
Apabila seseorang meninggal dan hanya mempunyai satu orang saudara kandung perempuan ataupun seayah, maka ahli waris mendapat separo harta peninggalan, bila ternyata pewaris (yang meninggal) tidak mempunyai ayah atau anak.
Apabila pewaris mempunyai dua orang saudara kandung perempuan atau seayah ke atas, dan tidak mempunyai ayah atau anak, maka bagian ahli waris adalah dua per tiga dibagi secara rata.
Apabila pewaris mempunyai banyak saudara kandung laki-laki dan saudara kandung perempuan atau seayah, maka bagi ahli waris yang laki-laki mendapatkan dua kali bagian saudara perempuan.
Apabila seorang saudara kandung perempuan meninggal, dan ia tidak mempunyai ayah atau anak, maka seluruh harta peninggalannya menjadi bagian saudara kandung laki-lakinya.
Apabila saudara kandungnya banyak --lebih dari satu-- maka dibagi secara rata sesuai jumlah kepala. Begitulah hukum bagi saudara seayah, jika ternyata tidak ada saudara laki-laki yang sekandung atau saudara perempuan yang sekandung.
Utang
Muhammad Ali ash-Shabuni juga menjelaskan tentang firman Allah yang artinya: "sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sudah dibayar utangnya dengan tidak membebani mudarat (kepada ahli waris)". ( QS An-Nisa : 12).
Menurutnya, penggalan ayat tersebut menunjukkan dengan tegas bahwa apabila wasiat dan utang nyata-nyata mengandung kemudaratan, maka wajib untuk tidak dilaksanakan.
Dampak negatif mengenai wasiat yang dimaksudkan di sini, misalnya, seseorang yang berwasiat untuk menyedekahkan hartanya lebih dari sepertiga.
Sedangkan utang yang dimaksud berdampak negatif, misalnya seseorang yang mengakui mempunyai utang padahal sebenamya ia tidak berutang. Jadi, baik wasiat atau utang yang dapat menimbulkan mudarat (berdampak negatif) pada ahli waris tidak wajib dilaksanakan.
Syariat Islam juga menetapkan hak pemindahan kepemilikan seseorang sesudah meninggal dunia kepada ahli warisnya, dari seluruh kerabat dan nasabnya, tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan, besar atau kecil.
Mufassir dan ulama yang berasal dari Suriah, yang merupakan salah seorang Guru Besar ilmu tafsir di Umm Al-Qura University, Mekkah, Saudi Arabia ini menyebut Al-Qur'an menjelaskan dan merinci secara detail hukum-hukum yang berkaitan dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan hak seorang pun.
Bagian yang harus diterima semuanya dijelaskan sesuai kedudukan nasab terhadap pewaris, apakah dia sebagai anak, ayah, istri, suami, kakek, ibu, paman, cucu, atau bahkan hanya sebatas saudara seayah atau seibu.
Oleh karena itu, Al-Qur'an merupakan acuan utama hukum dan penentuan pembagian waris, sedangkan ketetapan tentang kewarisan yang diambil dari hadis Rasulullah SAW dan ijma' para ulama sangat sedikit.
Dalam bukunya yang diterjemahkan AM Basamalah dengan judul "Pembagian Waris Menurut Islam", (Gema Insani Press, 1995), Muhammad Ali ash-Shabuni menjelaskan dapat dikatakan bahwa dalam hukum dan syariat Islam sedikit sekali ayat Al-Qur'an yang merinci suatu hukum secara detail dan rinci, kecuali hukum waris ini.
Hal demikian disebabkan kewarisan merupakan salah satu bentuk kepemilikan yang legal dan dibenarkan Allah SWT. Di samping bahwa harta merupakan tonggak penegak kehidupan baik bagi individu maupun kelompok masyarakat.
Dalam mengkaji waris, Muhammad Ali ash-Shabuni membedah ayat-ayat Al-Quran secara lengkap. Pada tulisan ini kali kita akan bahas hukum keadaan saudara kandung atau seayah.
Menurutnya, firman Allah SWT dalam surat an-Nisa' : 176 mengisyaratkan adanya beberapa keadaan tentang bagian saudara kandung atau saudara seayah.
Apabila seseorang meninggal dan hanya mempunyai satu orang saudara kandung perempuan ataupun seayah, maka ahli waris mendapat separo harta peninggalan, bila ternyata pewaris (yang meninggal) tidak mempunyai ayah atau anak.
Apabila pewaris mempunyai dua orang saudara kandung perempuan atau seayah ke atas, dan tidak mempunyai ayah atau anak, maka bagian ahli waris adalah dua per tiga dibagi secara rata.
Apabila pewaris mempunyai banyak saudara kandung laki-laki dan saudara kandung perempuan atau seayah, maka bagi ahli waris yang laki-laki mendapatkan dua kali bagian saudara perempuan.
Apabila seorang saudara kandung perempuan meninggal, dan ia tidak mempunyai ayah atau anak, maka seluruh harta peninggalannya menjadi bagian saudara kandung laki-lakinya.
Apabila saudara kandungnya banyak --lebih dari satu-- maka dibagi secara rata sesuai jumlah kepala. Begitulah hukum bagi saudara seayah, jika ternyata tidak ada saudara laki-laki yang sekandung atau saudara perempuan yang sekandung.
Utang
Muhammad Ali ash-Shabuni juga menjelaskan tentang firman Allah yang artinya: "sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sudah dibayar utangnya dengan tidak membebani mudarat (kepada ahli waris)". ( QS An-Nisa : 12).
Menurutnya, penggalan ayat tersebut menunjukkan dengan tegas bahwa apabila wasiat dan utang nyata-nyata mengandung kemudaratan, maka wajib untuk tidak dilaksanakan.
Dampak negatif mengenai wasiat yang dimaksudkan di sini, misalnya, seseorang yang berwasiat untuk menyedekahkan hartanya lebih dari sepertiga.
Sedangkan utang yang dimaksud berdampak negatif, misalnya seseorang yang mengakui mempunyai utang padahal sebenamya ia tidak berutang. Jadi, baik wasiat atau utang yang dapat menimbulkan mudarat (berdampak negatif) pada ahli waris tidak wajib dilaksanakan.
(mhy)