Cak Nur: Sistem Hukum Islam Memiliki Kesempatan Besar untuk Diterapkan

Senin, 20 Februari 2023 - 05:15 WIB
loading...
Cak Nur: Sistem Hukum Islam Memiliki Kesempatan Besar untuk Diterapkan
Prof Dr Nurcholish Madjid, MA. Foto/Ilustrasi: Ist/mhy
A A A
Cendekiawan muslim, Prof Dr Nurcholish Madjid, MA (1939 – 2005) atau populer dipanggil Cak Nur , mengatakan fiqih dan sistem hukum Islam memiliki kesempatan besar untuk diterapkan dalam zaman modern. "Tetapi prasyaratnya ialah, kaum Muslim harus mampu terlebih dahulu menangkap pesan dasar agamanya, dan berdasarkan itu, mengembangkan pemikiran hukum yang akan menjawab tuntutan zaman dan tempat," ujarnya.

Menurutnya, halangan terbesar bagi kemungkinan itu datang dari sikap-sikap dogmatic dan literalis, yang kini masih banyak melanda kaum Muslim.

"Dia menjelaskan dengan bekal inner dynamics Islam itu sendiri, masa depan yang lebih baik tentu dapat diciptakan, sehingga akan terbukti ramalan Gellner: Kaum Muslim adalah penarik manfaat yang sebenarnya dari modernitas," ujar Cak Nur tatkala membahas pandangan kontemporer tentang fiqih, Telaah Problematika hukum Islam di Zaman Modern dalam buku berjudul "Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah".



Sosiolog terkenal Ernest Gellner memang memiliki pandangan tentang Islam dan kemodernan yang mungkin membuat seorang Muslim menjadi lebih percaya diri. Dalam bukunya berjudul "Muslim Society" (Cambridge: Cambridge University Press, 1981), ia katakan:

"Hanya Islam yang mampu bertahan sebagai keimanan yang serius, yang mengatasi baik tradisi kecil maupun Tradisi Besar. Tradisi Besarnya dapat dipermodern (modernisable); dan pelaksanaannya dapat disajikan, tidak sebagai inovasi ataupun konsesi kepala pihak luar, tapi sebaliknya sebagai kelanjutan dan penyempurnaan dialog lama dalam Islam.

Jadi dalam Islam, dan hanya dalam Islam, purifikasi/modernisasi di satu pihak, dan penegahan apa yang dianggap suatu ciri lokal lama, dapat dilakukan dalam bahasa dan perangkat simbol yang satu dan sama. Versi kerakyatan lama, yang pernah menjadi alas dangkal tradisi sentral sekarang menjadi kambing hitam yang dibuang, yang dipersalahkan menyebabkan kemunduran dan dominasi unsur asing. Karena itu meskipun tidak merupakan sumber modernitas, Islam mungkin akan ternyata merupakan penerima manfaat modernitas itu.

Kenyataan bahwa varian sentral, resmi dan "murni" Islam bersemangat egaliter dan keilmiahan berkaitan dengan bentuk-bentuknya yang bersifat pinggiran senantiasa meluas namun akhirnya ditampik- sangat membantu adaptasi Islam ke dunia modern.

Dalam zaman cita-cita melek huruf universal, lapisan sarjana yang terbuka (dalam Islam) dapat berkembang sehingga meliputi seluruh masyarakat, dan dengan begitu maka cita-cita "protestan" agar semua yang beriman mempunyai akses yang sama akan terlaksana.

Egalitarianisme modern terpenuhi. Sementara Protestantisme Eropa hanya menyiapkan lahan untuk nasionalisme melalui perluasan melek-huruf, potensi Islam yang hangkit kembali untuk skripturalisme egaliter dapat secara aktual menyatu dengan nasionalisme, sehingga orang tidak lagi mudah mengatakan mana salah satu dari keduanya itu yang paling bermanfaat bagi yang lain.



Fat'hi Utsman

Sementara itu, Fat'hi 'Utsman dalam bukunya berjudul al-Din li al-Waqi' (Agama untuk Realita) menulis sebagai berikut:

Keadilan sosial sebelum hukuman. Allah menerangkan dalam Kitab-Nya berbagai hukuman kejahatan (had) seperti, misalnya, hukum bunuh (qishash) untuk kejahatan pembunuhan, potong tangan untuk pencurian, dan lain-lainnya.

Wajar bahwa Islam menempuh jalan penetapan hukum-hukum setelah ditempuhnya jalan pengarahan pikiran melalui akidah dan pendidikan tingkah laku melalui prinsip tabadul. Tapi penetapan hukum Islam tidak pernah disebut kecuali mesti timbul dalam pikiran orang, gambaran yang mengerikan tentang tangan-tangan buntung dan jasad-jasad berserakan.

Sedangkan yang sebenarnya ialah bahwa rahmat Allah untuk sekalian alam tidaklah menetapkan hukuman, kecuali sesudah ditempuh jalan proteksi, sama dengan yang dikatakan Francis Aveling dalam bukunya ilmu Jiwa Klasik dan Modern: "Kalau tujuan kita ialah kebaikan masyarakat, maka tujuan hukuman haruslah proteksi. Dan cara apapun yang dapat merealisasikan tujuan ini harus dipandang sebagai wajar dari sudut pandangan sosial. Jadi jika kita dapat mencegah sebab-sebab dan situasi yang mendorong kejahatan, baik yang berasal dari lingkungan atau pun dari pribadi sendiri, maka itulah cara yang ideal yang kita wajib menggunakannya."

Dalam praktik memang telah terjadi berbagai usaha ke arah ini melalui berbagai pengabdian sosial. Tapi kalau seandainya seluruh situasi yang berkaitan dengan lingkungan telah tersedia dengan sebaik-baiknya, maka tentulah yang tersisa bagi kita ialah memikirkan sebab-sebab individual yang mendorong orang untuk melakukan pelanggaran-pelanggaran.

Dari sini kita melihat, Islam ketika menetapkan pelaksanaan qishash dalam kejahatan pembunuhan, ia bersama itu juga menetapkan langkah-langkah yang menjamin hilangnya dorongan-dorongan permusuhan golongan, kelompok atau perbedaan tingkat sosial.

Dan ketika menetapkan hukuman potong tangan pencuri, maka Islam tidaklah melakukan hal itu sebelum tegaknya hak-hak hidup pribadi dan mantapnya tanggung negara untuk menjamin hak-hak pribadi itu.



Selanjutnya ketika Islam menetapkan hukum rajam atau cambuk atas pezina, maka sesungguhnya ia juga menetapkan kemudahan jalan perkawinan dan melindungi bagian-bagian privat dari tubuh dengan menutup aurat dan menjaga penglihatan mata, serta melarang khalwat (kencan seorang lelaki dan seorang perempuan yang bukan muhrim, namun tanpa muhrim perempuan itu). Jadi pengaturan sosial berjalan seiring atau mendahului penetapan hukuman kejahatan.
(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1256 seconds (0.1#10.140)