Putranya Bersalah, Sultan Muhammad Al-Fatih Tak Pandang Bulu
loading...
A
A
A
SULTAN Muhammad Al-Fatih dikenal sebagai pemimpin yang senantiasa menegakkan keadilan. Beliau sangat memperhatikan terpeliharanya keadilan di seluruh pelosok wilayah Utsmani . (
)
Buku-buku sejarah menceritakan kepada kita, bahwa salah seorang putra Sultan Muhammad Al-Fatih melakukan beberapa kerusakan di Adrianopel. Hakim yang bertugas saat itu mengirim seseorang untuk melarang putra Sultan melakukan kerusakan, namun putra Sultan tidak mau berhenti. Maka hakim tadi segera berangkat sendiri untuk mencegah perbuatan itu. Ternyata, putra Sultan itu malah memukul hakim dengan pukulan sangat keras.
Prof Dr Ali Muhammad Ash-Shalabi dalam Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah, menceritakan tatkala Sultan mendengar perbuatan putranya, dia marah besar dan memerintahkan agar putranya dibunuh, karena telah berani melecehkan orang yang bertugas melaksanakan Syariat.
Kemudian beberapa menteri meminta keringanan kepada Sultan Al Fatih. Namun Sultan menolak permintaan keringanan itu. Mereka segera mendatangi Maula Muhyiddin Muhammad untuk menyelesaikan masalah ini. Namun Sultan Muhammad Al-Fatih menolaknya.
Maka berkatalah Maula Muhyiddin, “Sesungguhnya hakim ini, dalam kedudukan sebagai hakim, saat itu, dia menghukum dalam keadaan marah, maka dia tidak berhak duduk sebagai hakim. Maka tatkala dipukul oleh seseorang, tidak berarti orang itu telah melecehkan Syariah hingga dia berhak untuk dibunuh.”
Di sisi lain, dalam hukum Islam juga tidak dibenarkan, seorang memukul hakim, lalu dia diberi sanksi hukuman mati. Hal ini tidak dibenarkan. Sanksi yang benar adalah qishash, hukuman balasan. Siapa yang memukul harus dipukul yang setimpal. Hal itu seperti saat Khalifah Umar bin Khattab menghukum putra gubernur Amru bin Ash yang telah memukul seorang pemuda di Mesir.
Mendengar penjelasan itu Sultan Al Fatih hanya diam.
Setelah itu putranya tadi datang ke Konstantinopel . Beberapa menteri membawanya menghadap Sultan untuk mencium tangannya sebagai ungkapan terima kasih karena dia telah mendapat ampunan. Saat itulah Sultan mengambil satu tongkat besar dan dia pukulkan pada anak tadi dengan pukulan sangat keras, sehingga membuat putranya itu jatuh sakit selama empat bulan.
Orang-orang pun mengobatinya hingga dia sembuh. Kelak putra Sultan ini, yang bernama Daud Pasya, menjadi salah seorang menteri Sultan Bayazid Khan. Dia tidak dendam kepada Sultan, bahkan mendoakan Sultan dengan memujinya, “Sesungguhnya kembalinya saya pada kebenaran ini, tak lepas dari pukulan Sultan itu."
Investigasi
Sultan Muhammad Al-Fatih sangat memperhatikan terpeliharanya keadilan di seluruh pelosok wilayah Utsmani. Menurut Ash-Shalabi, untuk memastikan masalah keadilan, Sultan menugaskan beberapa pemuka Nasrani untuk melakukan investigasi dengan berkeliling ke seluruh negeri, dari waktu ke waktu.
Sultan memberikan tugas dan otoritas khusus kepada mereka untuk mengecek pengelolaan negara dan mencermati bagaimana prinsip-prinsip keadilan berjalan di mahkamah-mahkamah (pengadilan). “Para petugas itu diberi kebebasan penuh untuk memberikan kritik atau mencatat hal-hal yang tidak berkenan, untuk kemudian dilaporkan kepada Sultan,” tutur Ash-Shalabi.
Ternyata laporan yang disampaikan para utusan itu menunjukkan, bahwa mahkamah-mahkamah Kesultanan Utsmani telah berlaku adil di antara manusia, tanpa pandang bulu dan warna.
Maka saat Sultan sedang keluar untuk melakukan peperangan, dia berhenti di sebuah wilayah dengan cara mendirikan tenda dan secara terbuka mempersilakan rakyatnya melaporkan masalah-masalah yang dihadapi, termasuk masalah-masalah kejahatan yang dialami.
Sultan sangat menyadari bahwa ahli fikih dan syariat merupakan orang-orang yang paling mengerti tentang keadilan, paling jeli melihat di mana keadilan itu berada, sekaligus paling berkepentingan untuk menerapkannya.
Beliau memandang bahwa ulama dalam sebuah negara laksana hati dalam badan. Jika mereka baik maka baiklah negara. Sultan sangat memperhatikan Ilmu Pengetahuan dan orang-orang berilmu.
Itu sebabnya, Sultan mempermudah semua sarana menuntut ilmu. Mereka diberi fasilitas yang memungkinkan bisa belajar secara maksimal. Sultan memberi perhatian khusus kepada para hakim yang memutuskan perkara. Tidak hanya mencukupkan perekrutan hakim dari orang-orang yang paham fikih, syariah, memiliki reputasi bersih, dan istiqamah, tetapi juga dia haruslah dikenal dan dihormati di tengah-tengah masyarakat. ( )
Demikian pula pemerintah harus menanggung semua kebutuhan materinya, sehingga bisa menutup praktik-praktik penipuan dan sogok. Maka Sultan memberikan gaji yang cukup bagi mereka dan membuat posisi mereka mulia dan independen.
Hakim yang mendapat suap, maka tidak ada balasan baginya dari Sultan kecuali hukuman mati.
Walaupun Sultan banyak disibukkan dengan jihad dan penaklukan negeri-negeri, namun dia tetap melakukan pengawasan ke seluruh wilayah yang berada di bawah kekuasannya. Ini semua bisa dilakukan, berkat karunia Allah berupa kecerdasan cemerlang, serta pandangan yang demikian tajam, ingatan yang kuat, serta fisik yang prima. ( )
Intelijen
Seringkali dia turun ke jalan-jalan dan gang-gang sempit untuk mengetahui kondisi rakyatnya yang sebenarnya, serta untuk mendengarkan keluhan-keluhan langsung dari mulut mereka.
Untuk mengetahui kondisi masyarakat, Sultan telah membentuk intelijen negara yang bertugas mengumpulkan semua informasi dan kabar yang berhubungan dengan masalah kesultanan. Lalu informasi itu dilaporkan ke Sultan yang ingin mengetahui langsung kondisi rakyatnya.
Sultan selalu berusaha memeriksa letak-letak kesalahan dan kemungkaran dari individu dan masyarakatnya. Apa yang dilakukan Sultan itu diilhami oleh amalan yang dilakukan Nabi Sulaiman yang diabadikan Al-Qur’an dalam firman-Nya
"Dan dia memeriksa burung-burung. " (An-Naml: 20)
Ini semua dilakukan karena kesadaran mengemban tugas negara, serta mencurahkan kepedulian dan empati terhadap satu per satu permasalahém masyarakat, terutama nasib orang-orang. (Baca juga: Sejarah Hagia Sophia, antara Katedral Kristen Ortodoks dan Masjid )
Buku-buku sejarah menceritakan kepada kita, bahwa salah seorang putra Sultan Muhammad Al-Fatih melakukan beberapa kerusakan di Adrianopel. Hakim yang bertugas saat itu mengirim seseorang untuk melarang putra Sultan melakukan kerusakan, namun putra Sultan tidak mau berhenti. Maka hakim tadi segera berangkat sendiri untuk mencegah perbuatan itu. Ternyata, putra Sultan itu malah memukul hakim dengan pukulan sangat keras.
Prof Dr Ali Muhammad Ash-Shalabi dalam Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah, menceritakan tatkala Sultan mendengar perbuatan putranya, dia marah besar dan memerintahkan agar putranya dibunuh, karena telah berani melecehkan orang yang bertugas melaksanakan Syariat.
Kemudian beberapa menteri meminta keringanan kepada Sultan Al Fatih. Namun Sultan menolak permintaan keringanan itu. Mereka segera mendatangi Maula Muhyiddin Muhammad untuk menyelesaikan masalah ini. Namun Sultan Muhammad Al-Fatih menolaknya.
Maka berkatalah Maula Muhyiddin, “Sesungguhnya hakim ini, dalam kedudukan sebagai hakim, saat itu, dia menghukum dalam keadaan marah, maka dia tidak berhak duduk sebagai hakim. Maka tatkala dipukul oleh seseorang, tidak berarti orang itu telah melecehkan Syariah hingga dia berhak untuk dibunuh.”
Di sisi lain, dalam hukum Islam juga tidak dibenarkan, seorang memukul hakim, lalu dia diberi sanksi hukuman mati. Hal ini tidak dibenarkan. Sanksi yang benar adalah qishash, hukuman balasan. Siapa yang memukul harus dipukul yang setimpal. Hal itu seperti saat Khalifah Umar bin Khattab menghukum putra gubernur Amru bin Ash yang telah memukul seorang pemuda di Mesir.
Mendengar penjelasan itu Sultan Al Fatih hanya diam.
Setelah itu putranya tadi datang ke Konstantinopel . Beberapa menteri membawanya menghadap Sultan untuk mencium tangannya sebagai ungkapan terima kasih karena dia telah mendapat ampunan. Saat itulah Sultan mengambil satu tongkat besar dan dia pukulkan pada anak tadi dengan pukulan sangat keras, sehingga membuat putranya itu jatuh sakit selama empat bulan.
Orang-orang pun mengobatinya hingga dia sembuh. Kelak putra Sultan ini, yang bernama Daud Pasya, menjadi salah seorang menteri Sultan Bayazid Khan. Dia tidak dendam kepada Sultan, bahkan mendoakan Sultan dengan memujinya, “Sesungguhnya kembalinya saya pada kebenaran ini, tak lepas dari pukulan Sultan itu."
Investigasi
Sultan Muhammad Al-Fatih sangat memperhatikan terpeliharanya keadilan di seluruh pelosok wilayah Utsmani. Menurut Ash-Shalabi, untuk memastikan masalah keadilan, Sultan menugaskan beberapa pemuka Nasrani untuk melakukan investigasi dengan berkeliling ke seluruh negeri, dari waktu ke waktu.
Sultan memberikan tugas dan otoritas khusus kepada mereka untuk mengecek pengelolaan negara dan mencermati bagaimana prinsip-prinsip keadilan berjalan di mahkamah-mahkamah (pengadilan). “Para petugas itu diberi kebebasan penuh untuk memberikan kritik atau mencatat hal-hal yang tidak berkenan, untuk kemudian dilaporkan kepada Sultan,” tutur Ash-Shalabi.
Ternyata laporan yang disampaikan para utusan itu menunjukkan, bahwa mahkamah-mahkamah Kesultanan Utsmani telah berlaku adil di antara manusia, tanpa pandang bulu dan warna.
Maka saat Sultan sedang keluar untuk melakukan peperangan, dia berhenti di sebuah wilayah dengan cara mendirikan tenda dan secara terbuka mempersilakan rakyatnya melaporkan masalah-masalah yang dihadapi, termasuk masalah-masalah kejahatan yang dialami.
Sultan sangat menyadari bahwa ahli fikih dan syariat merupakan orang-orang yang paling mengerti tentang keadilan, paling jeli melihat di mana keadilan itu berada, sekaligus paling berkepentingan untuk menerapkannya.
Beliau memandang bahwa ulama dalam sebuah negara laksana hati dalam badan. Jika mereka baik maka baiklah negara. Sultan sangat memperhatikan Ilmu Pengetahuan dan orang-orang berilmu.
Itu sebabnya, Sultan mempermudah semua sarana menuntut ilmu. Mereka diberi fasilitas yang memungkinkan bisa belajar secara maksimal. Sultan memberi perhatian khusus kepada para hakim yang memutuskan perkara. Tidak hanya mencukupkan perekrutan hakim dari orang-orang yang paham fikih, syariah, memiliki reputasi bersih, dan istiqamah, tetapi juga dia haruslah dikenal dan dihormati di tengah-tengah masyarakat. ( )
Demikian pula pemerintah harus menanggung semua kebutuhan materinya, sehingga bisa menutup praktik-praktik penipuan dan sogok. Maka Sultan memberikan gaji yang cukup bagi mereka dan membuat posisi mereka mulia dan independen.
Hakim yang mendapat suap, maka tidak ada balasan baginya dari Sultan kecuali hukuman mati.
Walaupun Sultan banyak disibukkan dengan jihad dan penaklukan negeri-negeri, namun dia tetap melakukan pengawasan ke seluruh wilayah yang berada di bawah kekuasannya. Ini semua bisa dilakukan, berkat karunia Allah berupa kecerdasan cemerlang, serta pandangan yang demikian tajam, ingatan yang kuat, serta fisik yang prima. ( )
Intelijen
Seringkali dia turun ke jalan-jalan dan gang-gang sempit untuk mengetahui kondisi rakyatnya yang sebenarnya, serta untuk mendengarkan keluhan-keluhan langsung dari mulut mereka.
Untuk mengetahui kondisi masyarakat, Sultan telah membentuk intelijen negara yang bertugas mengumpulkan semua informasi dan kabar yang berhubungan dengan masalah kesultanan. Lalu informasi itu dilaporkan ke Sultan yang ingin mengetahui langsung kondisi rakyatnya.
Sultan selalu berusaha memeriksa letak-letak kesalahan dan kemungkaran dari individu dan masyarakatnya. Apa yang dilakukan Sultan itu diilhami oleh amalan yang dilakukan Nabi Sulaiman yang diabadikan Al-Qur’an dalam firman-Nya
"Dan dia memeriksa burung-burung. " (An-Naml: 20)
Ini semua dilakukan karena kesadaran mengemban tugas negara, serta mencurahkan kepedulian dan empati terhadap satu per satu permasalahém masyarakat, terutama nasib orang-orang. (Baca juga: Sejarah Hagia Sophia, antara Katedral Kristen Ortodoks dan Masjid )
(mhy)