Menolak Hukuman dengan Adanya Alasan Menurut Syaikh Al-Qardhawi
loading...
A
A
A
Syaikh Yusuf Al-Qardhawi mengatakan sesungguhnya di antara sesuatu yang disamakan dengan kecintaan Islam menutupi dan memaafkan dalam masalah hukuman adalah apa yang populer dalam fiqih Islam -dengan berbagai madzahib yang diikuti sebagai "Dar'ul Hudud bisy-syubahaat" yakni menolak hukuman dengan adanya syubuhat atau kemungkinan-kemungkinan untuk membatalkan.
Ada hadis yang menerangkan hal itu, sebagaimana diriwayatkan oleh Hakim dan dianggap sahih. Nabi bersabda: "Tolaklah hudud itu dari kaum Muslimin semampu kamu, jika kamu mendapatkan jalan keluar untuk seorang Muslim maka lepaskanlah jalannya, sesungguhnya apabila seorang imam salah dalam memaafkan, itu lebih baik daripada salah dalam menghukum." (HR Hakim)
Dalam bukunya berjudul "Malaamihu Al Mujtama' Al Muslim Alladzi Nasyuduh" yang dalam edisi Indonesia menjadi "Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur'an & Sunnah", al-Qardhawi menegaskan benar bahwa Al Hafidz Adz-Dzahabi telah menolak pentashihan Hakim terhadap hadis ini, tetapi hadis-hadis yang kami kemukakan memperkuat riwayat ini.
Demikian juga riwayat sahih dari Al Faruq Umar bin Khattab ra , yaitu sabda Rasulullah SAW: "Tolaklah hudud itu dengan syubuhat." (Ibnu Hazm menyebutkan di dalam "Al Muhalla")
Menurut al-Qardhawi, adapun sesuatu yang ditetapkan dari perbuatan Umar ra, seperti memberhentikan hukuman potong tangan pada tahun kelaparan karena adanya syubuhat (alasan) keperluan, dan persetujuan para sahabat termasuk para fuqaha' dan ahlul ilmi dan fatwa terhadap Umar tentang masalah tersebut, seperti ini dianggap salah satu bentuk dari ijma' (konsensus) Karena sesungguhnya mereka tidak diam terhadap kebathilan dan mereka tidak bersepakat di atas kesesatan.
Ini tidak termasuk menggugurkan hukuman sebagaimana disebutkan oleh sebagian orang, tetapi pada dasarnya had belum wajib karena belum memenuhi seluruh rukun dan syaratnya.
Contoh lain yang mirip adalah satu riwayat yang menjelaskan bahwa Umar tidak menghukum dua pembantu yang mengambil harta juragannya, karena Umar berpendapat bahwa kedua pembantu itu tidak mencuri kecuali karena kezaliman sayyid-nya dan karena tidak diberi kecukupan dari keperluan pokoknya.
"Tidak heran jika Umar memaafkan keduanya sesuai dengan kondisinya, kemudian Umar memperingatkan kepada juragannya bahwa tangan juragannya akan dipotong jika sampai kedua pembantu terpaksa mencuri lagi," ujar al-Qardhawi.
Menurut al-Qardhawi, siapa yang membaca kitab-kitab fiqih akan mendapatkan di dalamnya berbagai persoalan dan jawaban yang disebutkan oleh para fuqaha', yang dimasukkan syubhat (alasan-alasan) yang menolak terlaksananya hukuman.
"Sebagiannya dianggap dibuat-buat atau mengaku-aku, tetapi mereka melihat bahwa keraguan yang paling ringan dapat memberi keterangan untuk kemaslahatan orang yang tertuduh," ujarnya.
Ada hadis yang menerangkan hal itu, sebagaimana diriwayatkan oleh Hakim dan dianggap sahih. Nabi bersabda: "Tolaklah hudud itu dari kaum Muslimin semampu kamu, jika kamu mendapatkan jalan keluar untuk seorang Muslim maka lepaskanlah jalannya, sesungguhnya apabila seorang imam salah dalam memaafkan, itu lebih baik daripada salah dalam menghukum." (HR Hakim)
Baca Juga
Dalam bukunya berjudul "Malaamihu Al Mujtama' Al Muslim Alladzi Nasyuduh" yang dalam edisi Indonesia menjadi "Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur'an & Sunnah", al-Qardhawi menegaskan benar bahwa Al Hafidz Adz-Dzahabi telah menolak pentashihan Hakim terhadap hadis ini, tetapi hadis-hadis yang kami kemukakan memperkuat riwayat ini.
Demikian juga riwayat sahih dari Al Faruq Umar bin Khattab ra , yaitu sabda Rasulullah SAW: "Tolaklah hudud itu dengan syubuhat." (Ibnu Hazm menyebutkan di dalam "Al Muhalla")
Menurut al-Qardhawi, adapun sesuatu yang ditetapkan dari perbuatan Umar ra, seperti memberhentikan hukuman potong tangan pada tahun kelaparan karena adanya syubuhat (alasan) keperluan, dan persetujuan para sahabat termasuk para fuqaha' dan ahlul ilmi dan fatwa terhadap Umar tentang masalah tersebut, seperti ini dianggap salah satu bentuk dari ijma' (konsensus) Karena sesungguhnya mereka tidak diam terhadap kebathilan dan mereka tidak bersepakat di atas kesesatan.
Ini tidak termasuk menggugurkan hukuman sebagaimana disebutkan oleh sebagian orang, tetapi pada dasarnya had belum wajib karena belum memenuhi seluruh rukun dan syaratnya.
Contoh lain yang mirip adalah satu riwayat yang menjelaskan bahwa Umar tidak menghukum dua pembantu yang mengambil harta juragannya, karena Umar berpendapat bahwa kedua pembantu itu tidak mencuri kecuali karena kezaliman sayyid-nya dan karena tidak diberi kecukupan dari keperluan pokoknya.
"Tidak heran jika Umar memaafkan keduanya sesuai dengan kondisinya, kemudian Umar memperingatkan kepada juragannya bahwa tangan juragannya akan dipotong jika sampai kedua pembantu terpaksa mencuri lagi," ujar al-Qardhawi.
Menurut al-Qardhawi, siapa yang membaca kitab-kitab fiqih akan mendapatkan di dalamnya berbagai persoalan dan jawaban yang disebutkan oleh para fuqaha', yang dimasukkan syubhat (alasan-alasan) yang menolak terlaksananya hukuman.
"Sebagiannya dianggap dibuat-buat atau mengaku-aku, tetapi mereka melihat bahwa keraguan yang paling ringan dapat memberi keterangan untuk kemaslahatan orang yang tertuduh," ujarnya.
(mhy)