Mengapa Harus Menerapkan Syariat Islam? Begini Penjelasan Syaikh Al-Qardhawi
loading...
A
A
A
Syaikh Yusuf Al-Qardhawi mengatakan merupakan hak setiap masyarakat untuk berhukum pada syari'at yang diyakini akan keadilannya, keunggulannya dan ketinggiannya atas syari'at-syari'at yang lainnya. Bagi masyarakat Islam itu merupakan suatu kewajiban, bukan sekadar hak baginya.
"Oleh karena itu tidak layak bagi seseorang untuk mengingkari sebagian masyarakat Islam saat ini yang menyeru untuk berhukum kepada syari'at Islam ," ujar Al-Qardhawi dalam bukunya berjudul "Malaamihu Al Mujtama' Al Muslim Alladzi Nasyuduh" yang dalam edisi Indonesia menjadi "Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur'an & Sunnah" (Citra Islami Press, 1997).
Menurutnya, syariat Islam adalah satu-satunya syariat yang terang dan dapat dipertanggungjawabkan tentang akidahnya, nilai-nilainya, adab-adabnya dan yang memiliki pandangan dengan jelas tentang alam dan penciptannya, manusia dan akhir kehidupannya, kehidupan dan risalahnya.
Berbeda dengan aturan-aturan lainnya yang dibuat oleh manusia yang cenderung menghalalkan apa-apa yang diharamkan oleh Allah, seperti khamr (minuman keras), perbuatan zina dan riba. Atau sebaliknya mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah seperti thalaq (perceraian), poligami, serta mengabaikan apa yang diwajibkan oleh Islam seperti menunaikan zakat, melaksanakan had (hukuman) dan beramar ma'ruf nahi munkar Mereka mengganti hukum-hukum Allah dan Rasul-Nya dengan hukum-hukum lainnya yang diadopsi dari Barat atau Timur.
Al-Qardhawi mengakui hukum positif yang saat ini diterapkan di berbagai negara Islam itu tidak semuanya bertentangan dengan syariat Islam. Bahkan sebagian besar di antaranya diambil dari fikih Islam terutama Fikih Maliki.
Hanya saja, Al-Qardhawi mengingatkan bahwa:
Pertama, sesungguhnya hal-hal yang bertentangan dengan syariat Islam dari undang-undang positif (buatan manusia), meskipun tidak terlalu banyak, namun penting untuk dilihat dari jenis dan fungsinya. Seperti misalnya pengharaman riba dalam undang-undang pemerintah di mana Al Qur'an dan As-Sunnah bersikap keras dalam memberikan ancaman bagi orang yang melakukan. Atau seperti melaksanakan hukuman atas kesalahan-kesalahan tertentu yang telah ditentukan hukumannya oleh Islam.
"Demikian itu karena termasuk dalam hukum-hukum ini dan yang serupa dengannya. Itulah yang membedakan peradaban ini dengan peradaban lainnya, yang membedakan ummat dengan ummat yang lainnya," ujarnya.
Pengharaman riba itu, sebagaimana mengeluarkan zakat, kata Al-Qardhawi, adalah merupakan ciri khas dari sistem ekonomi Islam yang membedakannya dengan sistem lainnya. Keduanya (pengharaman riba dan kewajiban zakat) memang merupakan salah satu ciri khas ekonomi Islam.
Seperti juga pengharaman zina dan perbuatan keji, baik yang zahir maupun yang batin dan segala sesuatu yang mengarah pada perbuatan itu, dan ketetapan hukuman atasnya. Atau dalam pengharaman atas minuman keras, baik seseorang itu sebagai konsumen, distributor ataupun produsen dan wajibnya hukuman atasnya. Atau yang lain-lainnya dari berbagai peradaban yang tidak menganggap masalah dalam memperbolehkan zina, selama sama-sama suka. Dalam memperbolehkan kelainan seksual, meskipun bertentangan dengan fithrah yang sehat dan sifat kejantanan yang mulia, serta penyelewengan-penyelewengan yang lain.
Kedua, sesungguhnya tidak cukup bahwa hukum positif itu sesuai dengan hukum-hukum syari'at Islam, karena sekadar sesuai secara kebetulan tidak memberikan warna Islam dan tidak akan menambah nilai syari'at Islam.
Tetapi yang seharusnya adalah mengembalikan kepada syari'at di mana segala sesuatu bertolak darinya. Dia terikat dengan falsafah Islam dan orientasi syari'ah secara universal. Dia disandarkan pada dalil-dalil syar'i yang bersifat spesifik dari berbagai bahan hukum sesuai dengan dasar-dasar yang terjaga menurut para fuqaha' kaum muslimin seluruhnya.
Dengan demikian maka hukum-hukum tersebut benar-benar sah dan suci bagi seseorang baik individu atau masyarakat Islam. Mereka bisa tunduk terhadap hukum itu secara sadar dan dengan penuh ketaatan. Karena dengan menerima hukum itu dan tunduk kepadanya berarti mereka telah beribadah kepada Allah.
Ketundukannya khalayak terhadap aturan hukum itu bukan berarti tunduk kepada perlemen yang mereka buat, bukan pula kepada pemerintahan yang mereka tetapkan. Tetapi semata-mata karena taat kepada Allah yang telah membuat aturan itu untuk kebaikan hamba-hamba-Nya. Ketundukan kepada aturan itu merupakan bukti keimanan dan keridhaannya kepada hukum Allah dan Rasul-Nya. Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka diseru kepada Allah dan Rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan: "Kami mendengar, dan kami patuh. "Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung." ( QS An-Nuur : 51)
Adalah perbedaan yang besar antara komitmen seorang Muslim dengan mewajibkan akad yang hal itu berdasarkan pemikiran fulan (seseorang) atau karena filosofi fulan tersebut yang mengatakan, "Sesungguhnya akad (perjanjian jual beli) itu Syari'at orang-orang yang terlihat," dengan akad yang berdasarkan komitmennya kepada hukum Allah, karena Allah SWT berfirman:
"Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah janji-janji (mu)."( QS Al Maidah : 1)
"Oleh karena itu tidak layak bagi seseorang untuk mengingkari sebagian masyarakat Islam saat ini yang menyeru untuk berhukum kepada syari'at Islam ," ujar Al-Qardhawi dalam bukunya berjudul "Malaamihu Al Mujtama' Al Muslim Alladzi Nasyuduh" yang dalam edisi Indonesia menjadi "Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur'an & Sunnah" (Citra Islami Press, 1997).
Baca Juga
Menurutnya, syariat Islam adalah satu-satunya syariat yang terang dan dapat dipertanggungjawabkan tentang akidahnya, nilai-nilainya, adab-adabnya dan yang memiliki pandangan dengan jelas tentang alam dan penciptannya, manusia dan akhir kehidupannya, kehidupan dan risalahnya.
Berbeda dengan aturan-aturan lainnya yang dibuat oleh manusia yang cenderung menghalalkan apa-apa yang diharamkan oleh Allah, seperti khamr (minuman keras), perbuatan zina dan riba. Atau sebaliknya mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah seperti thalaq (perceraian), poligami, serta mengabaikan apa yang diwajibkan oleh Islam seperti menunaikan zakat, melaksanakan had (hukuman) dan beramar ma'ruf nahi munkar Mereka mengganti hukum-hukum Allah dan Rasul-Nya dengan hukum-hukum lainnya yang diadopsi dari Barat atau Timur.
Al-Qardhawi mengakui hukum positif yang saat ini diterapkan di berbagai negara Islam itu tidak semuanya bertentangan dengan syariat Islam. Bahkan sebagian besar di antaranya diambil dari fikih Islam terutama Fikih Maliki.
Hanya saja, Al-Qardhawi mengingatkan bahwa:
Pertama, sesungguhnya hal-hal yang bertentangan dengan syariat Islam dari undang-undang positif (buatan manusia), meskipun tidak terlalu banyak, namun penting untuk dilihat dari jenis dan fungsinya. Seperti misalnya pengharaman riba dalam undang-undang pemerintah di mana Al Qur'an dan As-Sunnah bersikap keras dalam memberikan ancaman bagi orang yang melakukan. Atau seperti melaksanakan hukuman atas kesalahan-kesalahan tertentu yang telah ditentukan hukumannya oleh Islam.
"Demikian itu karena termasuk dalam hukum-hukum ini dan yang serupa dengannya. Itulah yang membedakan peradaban ini dengan peradaban lainnya, yang membedakan ummat dengan ummat yang lainnya," ujarnya.
Pengharaman riba itu, sebagaimana mengeluarkan zakat, kata Al-Qardhawi, adalah merupakan ciri khas dari sistem ekonomi Islam yang membedakannya dengan sistem lainnya. Keduanya (pengharaman riba dan kewajiban zakat) memang merupakan salah satu ciri khas ekonomi Islam.
Seperti juga pengharaman zina dan perbuatan keji, baik yang zahir maupun yang batin dan segala sesuatu yang mengarah pada perbuatan itu, dan ketetapan hukuman atasnya. Atau dalam pengharaman atas minuman keras, baik seseorang itu sebagai konsumen, distributor ataupun produsen dan wajibnya hukuman atasnya. Atau yang lain-lainnya dari berbagai peradaban yang tidak menganggap masalah dalam memperbolehkan zina, selama sama-sama suka. Dalam memperbolehkan kelainan seksual, meskipun bertentangan dengan fithrah yang sehat dan sifat kejantanan yang mulia, serta penyelewengan-penyelewengan yang lain.
Kedua, sesungguhnya tidak cukup bahwa hukum positif itu sesuai dengan hukum-hukum syari'at Islam, karena sekadar sesuai secara kebetulan tidak memberikan warna Islam dan tidak akan menambah nilai syari'at Islam.
Tetapi yang seharusnya adalah mengembalikan kepada syari'at di mana segala sesuatu bertolak darinya. Dia terikat dengan falsafah Islam dan orientasi syari'ah secara universal. Dia disandarkan pada dalil-dalil syar'i yang bersifat spesifik dari berbagai bahan hukum sesuai dengan dasar-dasar yang terjaga menurut para fuqaha' kaum muslimin seluruhnya.
Dengan demikian maka hukum-hukum tersebut benar-benar sah dan suci bagi seseorang baik individu atau masyarakat Islam. Mereka bisa tunduk terhadap hukum itu secara sadar dan dengan penuh ketaatan. Karena dengan menerima hukum itu dan tunduk kepadanya berarti mereka telah beribadah kepada Allah.
Ketundukannya khalayak terhadap aturan hukum itu bukan berarti tunduk kepada perlemen yang mereka buat, bukan pula kepada pemerintahan yang mereka tetapkan. Tetapi semata-mata karena taat kepada Allah yang telah membuat aturan itu untuk kebaikan hamba-hamba-Nya. Ketundukan kepada aturan itu merupakan bukti keimanan dan keridhaannya kepada hukum Allah dan Rasul-Nya. Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka diseru kepada Allah dan Rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan: "Kami mendengar, dan kami patuh. "Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung." ( QS An-Nuur : 51)
Adalah perbedaan yang besar antara komitmen seorang Muslim dengan mewajibkan akad yang hal itu berdasarkan pemikiran fulan (seseorang) atau karena filosofi fulan tersebut yang mengatakan, "Sesungguhnya akad (perjanjian jual beli) itu Syari'at orang-orang yang terlihat," dengan akad yang berdasarkan komitmennya kepada hukum Allah, karena Allah SWT berfirman:
"Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah janji-janji (mu)."( QS Al Maidah : 1)