Berinfak tapi Tercela, Begini Penjelasan Syaikh Al-Qardhawi
loading...
A
A
A
Syaikh Yusuf al-Qardhawi mengatakan umat Islam wajib menjaga dan memerhatikan prinsip-prinsip dasar dalam berinfak . Dia menyebut 4 prinsip dasar tersebut. Salah satunya, keseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran.
"Wajib bagi seorang Muslim untuk menyesuaikan antara pemasukan dan pengeluarannya," ujar al-Qardhawi dalam bukunya berjudul "Malaamihu Al Mujtama' Al Muslim Alladzi Nasyuduh" yang dalam edisi Indonesia menjadi "Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur'an & Sunnah" (Citra Islami Press, 1997).
Jangan sampai ia menginfakkan sepuluh, sementara pemasukannya delapan, sehingga terpaksa harus utang dan menanggung beban dari orang yang mengutangi.
"Sesungguhnya utang itu membawa keresahan di malam hari dan kehinaan di siang hari," kata al-Qardhawi mengingatkkan.
Rasulullah SAW sendiri mohon perlindungan kepada Allah dari jeratan utang, dengan alasan bahwa seseorang itu kalau berutang, bisa saja ia berbicara lalu berbohong, ia berjanji lalu mengingkari, sebagaimana disebutkan di dalam shahih Bukhari.
Menurut al-Qardhawi, infak seseorang yang melebihi dari kemampuan harta dan pemasukannya adalah termasuk israf (berlebihan) yang tercela. Allah SWT berfirman:
"Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesunggahnnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan." ( QS Al A'raf : 31)
Rasulullah SAW bersabda: "Makan dan minumlah, berpakaian dan sedekahlah, selama tidak disertai dengan berlebihan dan kesombongan." (HR An-Nasa'i dan Ibnu Majah)
Ini adalah berinfaq dalam hal yang mubah, kata Al-Qardhawi, adapun hal-hal yang diharamkan, maka setiap dirham yang diinfakkan adalah termasuk dalam tabdzir (pemborosan).
Adapun dalam hal-hal ketaatan, seperti sedaqah, jihad dan proyek-proyek sosial, maka tidak ada israf di dalamnya selama tidak menelantarkan hak yang lebih wajib dari itu semua. Seperti hak keluarganya atau hak orang yang utang kepadanya atau nafkah yang wajib untuk dipenuhi baginya dan lain-lain.
Oleh karena itu ketika dikatakan kepada sebagian orang dermawan dari kaum munafikin dalam hal amal saleh, "Tidak ada kebaikan dalam israf (berlebihan)," maka jawabannya, "Tidak ada israf dalam kebaikan."
Islam memberikan kepada hakim (penguasa) wewenang untuk menahan atau mengatur keuangan atas setiap orang yang bodoh dan sering merusak, di mana dia mempergunakan harta tidak secara tepat.
Menurut al-Qardhawi, hal ini karena umat mempunyai hak atas harta tersebut, maka memeliharanya akan membawa manfaat bagi umat dan membiarkannya akan membawa madharat bagi ummat.
Oleh karena itu Allah SWT menyandarkan harta orang-orang bodoh (yang belum mengerti itu) kepada umat. Allah berfirman:
"Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan" ( QS An Nisa' : 5)
"Wajib bagi seorang Muslim untuk menyesuaikan antara pemasukan dan pengeluarannya," ujar al-Qardhawi dalam bukunya berjudul "Malaamihu Al Mujtama' Al Muslim Alladzi Nasyuduh" yang dalam edisi Indonesia menjadi "Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur'an & Sunnah" (Citra Islami Press, 1997).
Jangan sampai ia menginfakkan sepuluh, sementara pemasukannya delapan, sehingga terpaksa harus utang dan menanggung beban dari orang yang mengutangi.
"Sesungguhnya utang itu membawa keresahan di malam hari dan kehinaan di siang hari," kata al-Qardhawi mengingatkkan.
Rasulullah SAW sendiri mohon perlindungan kepada Allah dari jeratan utang, dengan alasan bahwa seseorang itu kalau berutang, bisa saja ia berbicara lalu berbohong, ia berjanji lalu mengingkari, sebagaimana disebutkan di dalam shahih Bukhari.
Menurut al-Qardhawi, infak seseorang yang melebihi dari kemampuan harta dan pemasukannya adalah termasuk israf (berlebihan) yang tercela. Allah SWT berfirman:
"Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesunggahnnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan." ( QS Al A'raf : 31)
Rasulullah SAW bersabda: "Makan dan minumlah, berpakaian dan sedekahlah, selama tidak disertai dengan berlebihan dan kesombongan." (HR An-Nasa'i dan Ibnu Majah)
Ini adalah berinfaq dalam hal yang mubah, kata Al-Qardhawi, adapun hal-hal yang diharamkan, maka setiap dirham yang diinfakkan adalah termasuk dalam tabdzir (pemborosan).
Adapun dalam hal-hal ketaatan, seperti sedaqah, jihad dan proyek-proyek sosial, maka tidak ada israf di dalamnya selama tidak menelantarkan hak yang lebih wajib dari itu semua. Seperti hak keluarganya atau hak orang yang utang kepadanya atau nafkah yang wajib untuk dipenuhi baginya dan lain-lain.
Oleh karena itu ketika dikatakan kepada sebagian orang dermawan dari kaum munafikin dalam hal amal saleh, "Tidak ada kebaikan dalam israf (berlebihan)," maka jawabannya, "Tidak ada israf dalam kebaikan."
Islam memberikan kepada hakim (penguasa) wewenang untuk menahan atau mengatur keuangan atas setiap orang yang bodoh dan sering merusak, di mana dia mempergunakan harta tidak secara tepat.
Menurut al-Qardhawi, hal ini karena umat mempunyai hak atas harta tersebut, maka memeliharanya akan membawa manfaat bagi umat dan membiarkannya akan membawa madharat bagi ummat.
Oleh karena itu Allah SWT menyandarkan harta orang-orang bodoh (yang belum mengerti itu) kepada umat. Allah berfirman:
"Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan" ( QS An Nisa' : 5)
(mhy)