Menceritakan Nikmat kepada Orang Lain (2): Hukumnya Boleh Tapi Dibenci Jika Berbangga
loading...
A
A
A
Bagaimana sebenarnya hukum menceritakan nikmat kepada orang lain? Bolehkah atau dilarang? Mari simak penjelasan Pengasuh Ma'had Subulana Bontang Ustaz Ahmad Syahrin Thoriq berikut.
Pada ulasan pertama telah dijelaskan bahwa menyebut-nyebut nikmat atau menceritakannya adalah hal yang diperintahkan dalam syariat. Namun jangan sampai salah niat. Menceritakan nikmat Allah ini juga termasuk ibadah sebagaimana disebutkan dalam Hadis berikut:
وَمَنْ كَتَمَهُ فَقَدْ كَفَرَهُ
Artinya: "Siapa yang menyembunyikan nikmat, sungguh dia telah mengkufuri nikmat tersebut." (HR Abu Daud)
Maka jelas menampakkan nikmat baik dalam urusan dunia maupun akhirat yang telah Allah berikan dengan menyebut dan menceritakannya, hukumnya bukan hanya boleh. Tetapi sebuah kesunnahan yang bernilai ibadah.
Menceritakan Amal Saleh
Jika menceritakan nikmat dunia saja boleh, lalu bagaimana dengan amal saleh yang merupakan nikmat yang paling agung bagi orang beriman? Sebagian ulama terdahulu menceritakan kepada orang lain dari kerabat atau teman dekatnya atas nikmat-nikmat yang mereka dapatkan dalam urusan ibadah atau akhirat.
Disebutkan bahwa Abu Faras bin Abdullah bin Ghalib rahimahullah pernah berkata:
لقد رزقني الله البارحة كذا، قرأت كذا، وصليت كذا، وذكرت الله كذا، وفعلت كذا
"Allah tadi malam telah memberikan rezeki kepadaku. Aku telah shalat sekian rakaat, berdzikir dalam jumlah sekian dan aku telah melakukan ini dan itu."
Maka sebagian sahabatnya ada yang berkata:
يا أبا فراس، إن مثلك لا يقول هذا
"Wahai Abu Faras, orang yang seperti Anda tidak pantas mengatakan demikian."
Maka beliau menjawab:
يقول الله تعالى: وأما بنعمة ربك فحدث وتقولون أنتم: لا تحدث بنعمة الله
"Allah ta'ala telah berkata: 'Dan terhadap nikmat Tuhanmu hendaknya engkau selalu menceritakannya', sedangkan kalian berkata: "Jangan kalian menceritakan nikmatnya Allah." [Tafsir al-Qurthubi (20/102)]
Disebutkan dalam sebuah riwayat, orang-orang berkata kepada Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu: "Ceritakan tentang siapa dirimu."
Sayidina Ali menjawab: "Allah melarang kita untuk mensucikan diri sendiri."
Mereka kembali berkata: "Bukankah Allah juga berfirman, 'Dan terhadap nikmat Tuhanmu hendaknya engkau menceritakannya?" Sayidina Ali akhirnya menjawab:
فإني أحدث كنت إذا سئلت أعطيت. وإذا سكت ابتديت
"Aku adalah orang yang jika engkau meminta kepadaku aku akan memberimu, dan jika engkau diam (tidak meminta) aku akan memikirkan (apa yang sebaiknya aku berikan)." [Tahrir wa at-Tanwir (30/404)]
Pada ulasan pertama telah dijelaskan bahwa menyebut-nyebut nikmat atau menceritakannya adalah hal yang diperintahkan dalam syariat. Namun jangan sampai salah niat. Menceritakan nikmat Allah ini juga termasuk ibadah sebagaimana disebutkan dalam Hadis berikut:
وَمَنْ كَتَمَهُ فَقَدْ كَفَرَهُ
Artinya: "Siapa yang menyembunyikan nikmat, sungguh dia telah mengkufuri nikmat tersebut." (HR Abu Daud)
Maka jelas menampakkan nikmat baik dalam urusan dunia maupun akhirat yang telah Allah berikan dengan menyebut dan menceritakannya, hukumnya bukan hanya boleh. Tetapi sebuah kesunnahan yang bernilai ibadah.
Menceritakan Amal Saleh
Jika menceritakan nikmat dunia saja boleh, lalu bagaimana dengan amal saleh yang merupakan nikmat yang paling agung bagi orang beriman? Sebagian ulama terdahulu menceritakan kepada orang lain dari kerabat atau teman dekatnya atas nikmat-nikmat yang mereka dapatkan dalam urusan ibadah atau akhirat.
Disebutkan bahwa Abu Faras bin Abdullah bin Ghalib rahimahullah pernah berkata:
لقد رزقني الله البارحة كذا، قرأت كذا، وصليت كذا، وذكرت الله كذا، وفعلت كذا
"Allah tadi malam telah memberikan rezeki kepadaku. Aku telah shalat sekian rakaat, berdzikir dalam jumlah sekian dan aku telah melakukan ini dan itu."
Maka sebagian sahabatnya ada yang berkata:
يا أبا فراس، إن مثلك لا يقول هذا
"Wahai Abu Faras, orang yang seperti Anda tidak pantas mengatakan demikian."
Maka beliau menjawab:
يقول الله تعالى: وأما بنعمة ربك فحدث وتقولون أنتم: لا تحدث بنعمة الله
"Allah ta'ala telah berkata: 'Dan terhadap nikmat Tuhanmu hendaknya engkau selalu menceritakannya', sedangkan kalian berkata: "Jangan kalian menceritakan nikmatnya Allah." [Tafsir al-Qurthubi (20/102)]
Disebutkan dalam sebuah riwayat, orang-orang berkata kepada Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu: "Ceritakan tentang siapa dirimu."
Sayidina Ali menjawab: "Allah melarang kita untuk mensucikan diri sendiri."
Mereka kembali berkata: "Bukankah Allah juga berfirman, 'Dan terhadap nikmat Tuhanmu hendaknya engkau menceritakannya?" Sayidina Ali akhirnya menjawab:
فإني أحدث كنت إذا سئلت أعطيت. وإذا سكت ابتديت
"Aku adalah orang yang jika engkau meminta kepadaku aku akan memberimu, dan jika engkau diam (tidak meminta) aku akan memikirkan (apa yang sebaiknya aku berikan)." [Tahrir wa at-Tanwir (30/404)]