Mullah Nashruddin: Bagaimana Aku Tahu Apakah Aku Mati atau Hidup?

Sabtu, 15 Agustus 2020 - 08:18 WIB
loading...
A A A
Pencarian Sufi tidak bisa dilakukan dalam persahabatan yang tidak lazim. Nashruddin menekankan persoalan ini dalam kisahnya tentang undangan yang salah-waktu: ( )

Malam telah larut, dan Nashruddin tengah berbincang-bincang di warung teh dengan para sahabatnya. Ketika mereka pergi, mereka menyadari bahwa mereka lapar. "Datang dan makanlah di rumahku!" ucap Nashruddin, tanpa memikirkan akibatnya.

Ketika rombongan tersebut hampir sampai di rumahnya, ia berpikir bahwa seharusnya ia pergi lebih dulu untuk mengatakan kepada istrinya. "Kalian tunggu sejenak di sini! Aku akan memberitahu istriku," tuturnya kepada mereka.( )

Ketika menceritakan kepada istrinya, ia berujar, "Di rumah tidak ada apa-apa! Berani-beraninya kau mengundang semua temanmu ...!"

Nashruddin pergi ke loteng dan bersembunyi.

Para tamu yang kelaparan itu pun segera menghampiri rumahnya dan mengetuk pintu.

Istri Nashruddin menjawab, "Mullah tidak ada di rumah!"



"Tetapi kami melihatnya masuk melalui pintu depan!" teriak mereka.

Ia tidak bisa berpikir apa-apa untuk menjawabnya.

Karena diliputi kecemasan, Nashruddin yang menyaksikan percakapan tersebut dari jendela loteng, nongol dan berkata, "Aku bisa keluar lagi melalui pintu belakang, bukankah demikian?"

Beberapa cerita Nashruddin menekankan akan kesalahan dari kepercayaan umum bahwa manusia memiliki kesadaran yang stabil. Dengan adanya kekuatan pengaruh-pengaruh batin dan lahir, perilaku semua orang akan berbeda-beda sesuai dengan perasaan-hatinya dan kesehatannya.

Meskipun kenyataan ini diakui dalam kehidupan sosial, tetapi hal ini tidak diakui sepenuhnya dalam filsafat dan metafisika formal. Paling jauh, seseorang diharapkan menciptakan suatu kerangka kerja dari kesungguhan atau pemusatan dalam dirinya sendiri, dan melalui cara ini diharapkan ia bisa mencapai pencerahan.



Dalam Sufisme, kata Idries Shah, kesadaran utuh itulah yang pada akhirnya harus diubah, dimulai dari pengakuan bahwa orang yang 'belum tercerahkan' itu sedikit lebih dari sekadar bahan mentah.

Ia tidak memiliki sifat yang pasti, tidak memiliki kesadaran tunggal. Di dalam dirinya terkandung "esensi". Esensi ini belum menyatu dengan keseluruhan wujudnya atau bahkan belum menyatu dengan kepribadiannya.

Pada puncaknya, tidak seorang pun mengetahui secara otomatis "siapa" sejatinya dirinya, meskipun terdapat gambaran semua yang bertentangan dengan "kesejatian" tersebut. Hal ini ditekankan dalam cerita Nashruddin berikut:



Suatu hari Nashruddin memasuki sebuah toko.

Pemilik toko menuju untuk melayaninya.
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2359 seconds (0.1#10.140)