Mullah Nashruddin: Bagaimana Aku Tahu Apakah Aku Mati atau Hidup?

Sabtu, 15 Agustus 2020 - 08:18 WIB
loading...
Mullah Nashruddin: Bagaimana Aku Tahu Apakah Aku Mati atau Hidup?
Ilustrasi/Ist
A A A
IDRIES Shah dalam The Sufis mengatakan anggapan bahwa hanya karena seseorang hidup maka ia memiliki persepsi, ditolak oleh sufisme, sebagaimana yang telah kita lihat. "Seseorang mungkin secara klinis hidup, tetapi secara perseptif mati," tuturnya. ( )

Logika dan filsafat tidak bisa membantunya mencapai persepsi. Satu segi dari cerita berikut menggambarkan hal ini:

Mullah Nashruddin tengah berpikir keras.

"Bagaimana aku tahu apakah aku mati atau hidup?"

"Jangan bersikap bodoh," ucap istrinya, "jika engkau mati lenganmu akan dingin." (Baca juga: Mullah Nashruddin, Keledai, dan Kualitas Magis Berkah )

Segera setelah itu Nashruddin sudah berada di hutan memotong kayu. Saat itu tengah musim angin. Tiba-tiba ia merasa tangan dan kakinya dingin.

"Aku pasti mati," pikirnya, "maka aku harus berhenti bekerja, sebab mayat tidak bekerja."

Dan karena mayat tidak berjalan, ia berbaring di atas rerumputan.

Segera setelah itu sekawanan srigala muncul dan mulai menyerang keledainya yang ditambatkan ke sebuah pohon.

"Ya, teruskan, ambillah keuntungan dari orang mati!" ucap Nashruddin dari posisinya yang terlentang, "tetapi seandainya aku hidup, tidak akan membiarkan kalian berbuat seenaknya terhadap keledaiku." ( )

Menurut Idries Shah, persiapan pikiran sufi tidak akan memadai sampai seseorang mengetahui bahwa ia harus melakukan sesuatu untuk dirinya sendiri -- dan berhenti berpikir bahwa orang lain bisa melakukannya untuk dirinya. Nashruddin membimbing manusia awam dengan menggunakan "kaca-pembesarnya": ( )

Suatu hari Nashruddin pergi ke toko orang yang menjual segala jenis barang (peralatan).

"Anda punya kulit?"

"Punya."

"Juga paku?"

"Punya."

"Juga zat pewarna?".

"Punya."

"Lantas mengapa Anda tidak membuat sepasang sepatu untuk diri Anda sendiri?"

Menurut Idres, cerita tersebut menekankan peran guru mistik, yang esensial dalam sufisme, yang mempersiapkan titik awal bagi calon Salih (pencari) untuk melakukan sesuatu bagi dirinya sendiri -- sesuatu tersebut adalah "kerja-diri" di bawah bimbingan tertentu yang merupakan karakteristik utama dalam sistem Sufisme.

Pencarian Sufi tidak bisa dilakukan dalam persahabatan yang tidak lazim. Nashruddin menekankan persoalan ini dalam kisahnya tentang undangan yang salah-waktu: ( )

Malam telah larut, dan Nashruddin tengah berbincang-bincang di warung teh dengan para sahabatnya. Ketika mereka pergi, mereka menyadari bahwa mereka lapar. "Datang dan makanlah di rumahku!" ucap Nashruddin, tanpa memikirkan akibatnya.

Ketika rombongan tersebut hampir sampai di rumahnya, ia berpikir bahwa seharusnya ia pergi lebih dulu untuk mengatakan kepada istrinya. "Kalian tunggu sejenak di sini! Aku akan memberitahu istriku," tuturnya kepada mereka.( )

Ketika menceritakan kepada istrinya, ia berujar, "Di rumah tidak ada apa-apa! Berani-beraninya kau mengundang semua temanmu ...!"

Nashruddin pergi ke loteng dan bersembunyi.

Para tamu yang kelaparan itu pun segera menghampiri rumahnya dan mengetuk pintu.

Istri Nashruddin menjawab, "Mullah tidak ada di rumah!"



"Tetapi kami melihatnya masuk melalui pintu depan!" teriak mereka.

Ia tidak bisa berpikir apa-apa untuk menjawabnya.

Karena diliputi kecemasan, Nashruddin yang menyaksikan percakapan tersebut dari jendela loteng, nongol dan berkata, "Aku bisa keluar lagi melalui pintu belakang, bukankah demikian?"

Beberapa cerita Nashruddin menekankan akan kesalahan dari kepercayaan umum bahwa manusia memiliki kesadaran yang stabil. Dengan adanya kekuatan pengaruh-pengaruh batin dan lahir, perilaku semua orang akan berbeda-beda sesuai dengan perasaan-hatinya dan kesehatannya.

Meskipun kenyataan ini diakui dalam kehidupan sosial, tetapi hal ini tidak diakui sepenuhnya dalam filsafat dan metafisika formal. Paling jauh, seseorang diharapkan menciptakan suatu kerangka kerja dari kesungguhan atau pemusatan dalam dirinya sendiri, dan melalui cara ini diharapkan ia bisa mencapai pencerahan.



Dalam Sufisme, kata Idries Shah, kesadaran utuh itulah yang pada akhirnya harus diubah, dimulai dari pengakuan bahwa orang yang 'belum tercerahkan' itu sedikit lebih dari sekadar bahan mentah.

Ia tidak memiliki sifat yang pasti, tidak memiliki kesadaran tunggal. Di dalam dirinya terkandung "esensi". Esensi ini belum menyatu dengan keseluruhan wujudnya atau bahkan belum menyatu dengan kepribadiannya.

Pada puncaknya, tidak seorang pun mengetahui secara otomatis "siapa" sejatinya dirinya, meskipun terdapat gambaran semua yang bertentangan dengan "kesejatian" tersebut. Hal ini ditekankan dalam cerita Nashruddin berikut:



Suatu hari Nashruddin memasuki sebuah toko.

Pemilik toko menuju untuk melayaninya.

"Pertama-tama," ucap Nashruddin, "apakah Anda melihatku memasuki toko Anda?"

"Tentu."

"Apakah Anda pernah melihatku sebelumnya?"

"Belum pernah sama sekali."

"Lantas bagaimana Anda tahu bahwa ini adalah 'aku'?"

Betapapun kisah ini bernilai semata-mata sebagai lelucon, ujar Idries Shah, tetapi bagi mereka yang memandangnya sebagai idea dari orang bodoh, dan tidak mengandung makna yang lebih dalam, maka mereka tidak akan bisa memanfaatkan kekuatan pencerahan yang terkandung dalam cerita tersebut.

bagian ( 1 ) dan ( 2 )

Anda memeras dari sebuah cerita Nashruddin hanya sedikit lebih dari yang Anda curahkan. Jika cerita itu tampak tidak lebih dari sekadar sebuah lelucon, maka orang tersebut perlu melakukan "kerja-diri" (mujahadah) lebih jauh. Orang seperti ini digambarkan dalam percakapan Nashruddin tentang rembulan:

"Apa yang mereka lakukan terhadap bulan kala ia tua?" seorang yang pandir bertanya kepada Nashruddin.

Jawabannya disesuaikan dengan pertanyaannya, "Mereka memotong-motong setiap bulan tua menjadi empat puluh bintang." (
(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.4566 seconds (0.1#10.140)