Pakaian dalam Al-Qur'an: Bukan Sekadar Penutup Aurat
loading...
A
A
A
Al-Quran paling tidak menggunakan tiga istilah untuk pakaian yaitu, libas, tsiyab, dan sarabil. Kata libas ditemukan sebanyak 10 kali, tsiyab ditemukan sebanyak delapan kali, sedangkan sarabil ditemukan sebanyak tiga kali dalam dua ayat.
Libas pada mulanya berarti penutup --apa pun yang ditutup. Fungsi pakaian sebagai penutup amat jelas. Prof M Quraish Shihab dalam bukunya berjudul "Wawasan Al-Quran, Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat" (Penerbit Mizan, 1996) menjelaskan bahwa perlu juga dicatat bahwa ini tidak harus berarti "menutup aurat", karena cincin yang menutup sebagian jari juga disebut libas, dan pemakainya ditunjuk dengan menggunakan akar katanya.
Ketika berbicara tentang laut, Al-Quran surat Al-Nahl (16) : 14 menyatakan bahwa,
"Dan kamu mengeluarkan dan laut itu perhiasan (antara lain mutiara) yang kamu pakai."
Kata libas digunakan oleh Al-Quran untuk menunjukkan pakaian lahir maupun batin, sedangkan kata tsiyab digunakan untuk menunjukkan pakaian lahir. Kata ini terambil dari kata tsaub yang berarti kembali, yakni kembalinya sesuatu pada keadaan semula, atau pada keadaan yang seharusnya sesuai dengan ide pertamanya.
Ungkapan yang menyatakan, bahwa "awalnya adalah ide dan akhirnya adalah kenyataan", mungkin dapat membantu memahami pengertian kebahasaan tersebut. Ungkapan ini berarti kenyataan harus dikembalikan kepada ide asal, karena kenyataan adalah cerminan dari ide asal.
Apakah ide dasar tentang pakaian?
Ar-Raghib Al-Isfahani --seorang pakar bahasa Al-Quran menyatakan bahwa pakaian dinamai tsiyab atau tsaub, karena ide dasar adanya bahan-bahan pakaian adalah agar dipakai. Jika bahan-bahan tersebut setelah dipintal kemudian menjadi pakaian, maka pada hakikatnya ia telah kembali pada ide dasar keberadaannya.
"Ide dasar juga dapat dikembalikan pada apa yang terdapat dalam benak manusia pertama tentang dirinya," ujar Quraish Shihab.
Al-Quran surat Al-'Araf (7) : 20 menjelaskan peristiwa ketika Adam dan Hawa berada di surga :
"Setan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk menampakkan pada keduanya apa yang tertutup dari mereka, yaitu auratnya, dan setan berkata, "Tuhan kamu melarang kamu mendekati pohon ini, supaya kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang-orang yang kekal (di surga)."
Selanjutnya dijelaskan dalam ayat 22 bahwa:
"...setelah mereka merasakan (buah) pohon (terlarang) itu tampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga..."
Quraish menjelaskan terlihat jelas bahwa ide dasar yang terdapat dalam diri manusia adalah "tertutupnya aurat", namun karena godaan setan, aurat manusia terbuka.
Dengan demikian, kata Quraish lagi, aurat yang ditutup dengan pakaian akan dikembalikan pada ide dasarnya. Wajarlah jika pakaian dinamai tsaub/tsiyab yang berarti "sesuatu yang
mengembalikan aurat kepada ide dasarnya", yaitu tertutup.
Dan ayat di atas juga tampak bahwa ide "membuka aurat" adalah ide setan, dan karenanya "tanda-tanda kehadiran setan adalah "keterbukaan aurat".
Sebuah riwayat yang dikemukakan oleh Al-Biqa'i dalam bukunya Shubhat Waraqah menyatakan bahwa ketika Nabi SAW belum memperoleh keyakinan tentang apa yang dialaminya di Gua Hira --apakah dari malaikat atau dari setan-- beliau menyampaikan hal tersebut kepada istrinya Khadijah.
Libas pada mulanya berarti penutup --apa pun yang ditutup. Fungsi pakaian sebagai penutup amat jelas. Prof M Quraish Shihab dalam bukunya berjudul "Wawasan Al-Quran, Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat" (Penerbit Mizan, 1996) menjelaskan bahwa perlu juga dicatat bahwa ini tidak harus berarti "menutup aurat", karena cincin yang menutup sebagian jari juga disebut libas, dan pemakainya ditunjuk dengan menggunakan akar katanya.
Ketika berbicara tentang laut, Al-Quran surat Al-Nahl (16) : 14 menyatakan bahwa,
"Dan kamu mengeluarkan dan laut itu perhiasan (antara lain mutiara) yang kamu pakai."
Baca Juga
Kata libas digunakan oleh Al-Quran untuk menunjukkan pakaian lahir maupun batin, sedangkan kata tsiyab digunakan untuk menunjukkan pakaian lahir. Kata ini terambil dari kata tsaub yang berarti kembali, yakni kembalinya sesuatu pada keadaan semula, atau pada keadaan yang seharusnya sesuai dengan ide pertamanya.
Ungkapan yang menyatakan, bahwa "awalnya adalah ide dan akhirnya adalah kenyataan", mungkin dapat membantu memahami pengertian kebahasaan tersebut. Ungkapan ini berarti kenyataan harus dikembalikan kepada ide asal, karena kenyataan adalah cerminan dari ide asal.
Apakah ide dasar tentang pakaian?
Ar-Raghib Al-Isfahani --seorang pakar bahasa Al-Quran menyatakan bahwa pakaian dinamai tsiyab atau tsaub, karena ide dasar adanya bahan-bahan pakaian adalah agar dipakai. Jika bahan-bahan tersebut setelah dipintal kemudian menjadi pakaian, maka pada hakikatnya ia telah kembali pada ide dasar keberadaannya.
"Ide dasar juga dapat dikembalikan pada apa yang terdapat dalam benak manusia pertama tentang dirinya," ujar Quraish Shihab.
Baca Juga
Al-Quran surat Al-'Araf (7) : 20 menjelaskan peristiwa ketika Adam dan Hawa berada di surga :
"Setan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk menampakkan pada keduanya apa yang tertutup dari mereka, yaitu auratnya, dan setan berkata, "Tuhan kamu melarang kamu mendekati pohon ini, supaya kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang-orang yang kekal (di surga)."
Selanjutnya dijelaskan dalam ayat 22 bahwa:
"...setelah mereka merasakan (buah) pohon (terlarang) itu tampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga..."
Quraish menjelaskan terlihat jelas bahwa ide dasar yang terdapat dalam diri manusia adalah "tertutupnya aurat", namun karena godaan setan, aurat manusia terbuka.
Dengan demikian, kata Quraish lagi, aurat yang ditutup dengan pakaian akan dikembalikan pada ide dasarnya. Wajarlah jika pakaian dinamai tsaub/tsiyab yang berarti "sesuatu yang
mengembalikan aurat kepada ide dasarnya", yaitu tertutup.
Dan ayat di atas juga tampak bahwa ide "membuka aurat" adalah ide setan, dan karenanya "tanda-tanda kehadiran setan adalah "keterbukaan aurat".
Sebuah riwayat yang dikemukakan oleh Al-Biqa'i dalam bukunya Shubhat Waraqah menyatakan bahwa ketika Nabi SAW belum memperoleh keyakinan tentang apa yang dialaminya di Gua Hira --apakah dari malaikat atau dari setan-- beliau menyampaikan hal tersebut kepada istrinya Khadijah.