Muhammadiyah, Deklarasi Pendidikan dan Pelatihan HAM PBB

Selasa, 02 Juli 2024 - 14:03 WIB
loading...
A A A
Jika saja umat Islam terkesan masih dicurigai dengan segala macam tuduhan radikal, ekstrim, teroris, dan segala macam bentuk penghinaan lainnya, Indonesia dapat menjadi musuh bersama dari seluruh umat manusia.

Kedua, isu ketidakadilan yang semakin massif.

Pada kesempatan berbeda, Wakil Presiden RI ke-10 dan 12, Jusuf Kalla (JK) menyayangkan pernyataan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) terkait dengan 198 pesantren terafiliasi terorisme.

Pernyataan JK tersebut kemudian mendapatkan respons permintaan maaf dari Kepala BNPT, Boy Rafli Amar saat bersilaturrahmi ke Kantor Pusat MUI (FNN, 07/02/2022).

Bahkan JK di kesempatan lain kembali menegaskan: “dari pengalaman kita berbangsa selama 77 tahun, kita memahami bahwa setidak-tidaknya ada 15 konflik besar melanda negeri ini yang menyebabkan munculnya korban ribuan orang. Dari 15 konflik itu, 11 karena ketidakadilan, yakni ketidakadilan sosial, politik, dan ekonomi" (Tempo, 15/01/2022).

Sebagai contoh yang memperkuat pandangan JK, pembakaran Kantor Bupati Bima NTB oleh warga pada 26 Januari 2012 sesungguhnya berpangkal dari kebijakan Bupati Ferry Zulkarnaen yang dinilai tidak adil telah memberikan izin Pertambangan Emas di tiga kecamatan kepada PT Sumber Mineral Nusantara.

Juga kasus serupa yang ditangani oleh Komnas HAM pada 2016 atas penggusuran warga di dua kecamatan di Bima oleh PT Sanggaragro karena telah mendapat izin penguasaan lahan seluas 5000 hektar.

Warga yang tergusur harus hidup terlunta-lunta, berkemah di depan Kantor Bupati berbulan-bulan.

Jika warga melakukan tindakan radikal, sama sekali tidak ada kaitannya dengan paham ekstrim, tetapi hilangnya keadilan. Jika saja negara hadir memberi keadilan, kesejahteraan dan rasa aman, negeri ini tentu akan terbebas dari segala konflik, radikalisme dan ekstrimisme.



Ketiga, kegagalan demorasi.

Sejak 1998, melalui Reformasi, Indonesia telah memilih jalan demokrasi. Namun dalam dua dekade terakhir, institusi-institusi demokrasi Indonesia terlihat telah mengalami pelapukan.

Lembaga legislatif (MPR, DPR, DPD dan DPRD) telah dilanda berbagai persoalan hukum, politik dan sosial yang telah menyebabkan meredupnya kepercayaan masyarakat kepada institusi ini.

Data KPK menunjukkan bahwa sejak 2004 hingga Juli 2023, DPR dan DPRD telah terjerat di sebanyak 344 kasus korupsi. Oleh KPK, jumlah ini dinilai ketiga tertinggi, sebagai institusi paling korup di tanah air, berada di bawah kasus korupsi yang bersumber dari korporasi (399 kasus) dan pejabat eselon I-IV di berbagai kementerian dan lembaga negara sebanyak 349 kasus (Kompas, 18/07/2023).

Selanjutnya Kontras mengungkap pula bahwa selama periode 2014-2019, terdapat 242 anggota legislatif yang memiliki catatan buruk dan diduga terlibat dalam sejumlah kasus pelanggaram hukum dan HAM.

Dari jumlah itu, anggota DPR yang memiliki catatan terburuk terbanyak berasal dari Fraksi PDIP yakni 57 orang, Fraksi Partai Golkar 44 orang, Fraksi Partai Demokrat 37 orang, Fraksi Partai Gerindra 24 orang, Fraksi PPP 20 orang, Fraksi PKS 18 orang, Fraksi PAN 16 orang, Fraksi PKB 11 orang dan Fraksi Partai Nasdem 9 orang (Hukumonline, 14/10/2014).

Potret suram seperti ini terlihat semakin masif dipraktikkan di semua lini pemerintahan, mulai di tingkat kelurahan hingga di pusat seperti yang telah direkam dalam film dokumenter Dirty Vote (2024).



Akibatnya, tidak mengherankan jika terlihat sederetan rapor merah dalam pelaksanaan ketatapemerintahan yang baik (good governance) di tanah air.

Pada 2014, Indonesia sebenarnya sudah tercatat sebagai negara demokrasi ketiga terbesar di dunia dengan indeks demokrasinya (world democracy index) yang cukup baik. Ketika itu, Indonesia berada di peringkat ke-49 di antara 167 negara di dunia dengan skor total 6,95, memiliki skor 7,35 pada aspek kebebasan sipil.

Namun, setelah satu dekade, pada 2023, capaian-capaian itu menurun tajam ke skor total 6,53, sehingga peringkatnya turun ke urutan 56, dengan skor pada aspek kebebasan sipil 5,29, berada sejajar dengan Sierra Leone (5,29) dan sejumlah negara terbelakang lainnya yang berbentuk kerajaan atau otoriarian.

Memburuknya parameter-parameter demokrasi yang ditandai dengan pelemahan KPK, dan pergeseran peran aparat menjadi alat politik penguasa, Gus Mus (KH Mustofa Bisri) menggambarkan suasananya: “Ada sirup rasa jeruk dan durian, ada keripik rasa keju dan ikan. Ada republik rasa kerajaan” (JPNN 01/11/2023).

Terakhir, semoga dengan inisiasi Muhammadiyah yang menyelenggrakan persekolahan HAM dan prakarsa PBB yang terus menerus menggelorakan pelaksanaan pendidikan dan pelatihan bagi semua warga negara (human rights education for all) untuk memerangi ketidakadilan, memerangi penyalahgunaan kekuasaan yang telah menyuburkan kembali praktik KKN dan perang melawan Islamafobia, dapat segera membebaskan Indonesia yang kini terancam pecah.

Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3332 seconds (0.1#10.140)
pixels