Para Sufi Gunakan Istilah Teknis yang Mendekati Misteri
loading...
A
A
A
KEBENARAN sampai tingkatan (tertentu) disampaikan melalui kata-kata. Selain itu, hal ini sebagian disampaikan melalui tindakan yang saling berhubungan dari kata-kata dengan reaksi pendengarnya. Tetapi pengalaman sufi hadir melalui cara dari suatu mekanisme yang mengambil alih pada titik di mana kata-kata terlepas titik tindakan, dari "bekerja" dengan seorang mursyid. (
)
Suatu saat Mullah Nashruddin menggambarkan hal ini dalam cerita "Cina"-nya yang terkenal. Ia pergi ke Cina di mana ia mengumpulkan sekelompok murid, yang dipersiapkannya bagi pencerahan. Mereka menjadi tercerahkan mendadak berhenti menghadiri kuliah-kuliahnya
Sekelompok orang dari para pengikutnya yang tengah berkembang (kemampuan spiritualnya), yang menginginkan pencerahan lebih jauh, merantau dari Persia ke Cina untuk melanjutkan studi bersamanya.
Setelah kuliah pertama mereka, ia menerima mereka.
"Mullah, mengapa," salah seorang dari mereka bertanya, "kuliahmu tentang kata-kata rahasia yang kami bisa memahaminya (tidak seperti orang Cina)? Kata-kata itu adalah namidanam dan hichmalumnist! Dalam bahasa Persia, kata-kata ini bermakna, 'Aku tidak tahu,' dan 'Tidak seorang pun yang tahu'."
"Lantas apa yang seharusnya aku lakukan -- mencopot kepalaku?" tanya Nashruddin.
Idries Shah dalam The Sufi menjelaskan para sufi mempergunakan istilah-istilah teknis untuk menyampaikan padanan yang mendekati misteri-misteri yang merupakan pengalaman-pengalaman yang tidak bisa digambarkan dengan kata-kata. Hingga seorang Salik siap untuk "menangkap" pengalaman itu, ia dijaga agar tidak membuat kesalahan dengan mencoba menyelidikinya secara intelektual dengan menggunakan cara-cara yang sama ini.
Pengalaman itu sendiri merupakan akibat dari spesialisasi sadar, maka sufisme telah menyimpulkan bahwa tidak ada jalan pintas menuju pencerahan. Ini tidak berarti bahwa pencerahan akan memerlukan waktu yang lama. Yang ini berarti bahwa seorang Sufi mesti berpegang pada Tarekat.
Nashruddin, yang memainkan peran sebagai orang yang mencari jalan pintas, muncul dalam sebuah lelucon yang menyampaikan gagasan ini:
Di pagi hari yang indah, Nashruddin sedang berjalan pulang. Mengapa, ia berpikir, tidak mengambil jalan pintas melewati hutan indah daripada jalan berdebu itu?
"Sehari dari sekian banyak hari, sehari demi pengejaran keberuntungan!" serunya kepada dirinya sendiri, sambil memasuki kawasan yang hijau.( )
Seketika, ia mendapati dirinya sudah berada di dasar sebuah lubang yang tertutup.
"Ini karena aku mengambil jalan pintas," renungnya, ketika ia berada di lubang itu. "Kalau hal-hal seperti ini bisa terjadi di tengah-tengah keindahan semacam ini -- bencana apakah yang tidak terjadi pada jalan keras membosankan yang tidak kenal kompromi tersebut?" ( )
Dalam keadaan yang hampir serupa, suatu ketika Nashruddin terlihat tengah memeriksa sebuah sarang kosong:
"Apa yang tengah Anda lakukan, Mullah?"
"Mencari telur."
"Tidak ada di sarang (burung) pada akhir tahun!"
"Jangan terlalu yakin," ucap Nashruddin. "Jika engkau adalah burung dan menginginkan untuk melindungi telur-telurmu, apakah engkau akan membangun sebuah sarang baru, dengan setiap mata melihatmu?" ( )
Ini merupakan cerita lain dari cerita-cerita Nashruddin yang terlihat pada Don Quixote. Fakta bahwa lelucon ini bisa dibaca paling tidak dengan dua cara, mungkin bisa menghalangi pemikir formal, tetapi justru memberikan kesempatan kepada kaum darwis untuk memahami dualitas dari wujud-nyata, yang dikaburkan oleh pemikiran manusia konvensional. Oleh sebab itu, apa yang rancu bagi intelektual menjadi kekuatan bagi pemahaman secara intuitif. ( )
Suatu saat Mullah Nashruddin menggambarkan hal ini dalam cerita "Cina"-nya yang terkenal. Ia pergi ke Cina di mana ia mengumpulkan sekelompok murid, yang dipersiapkannya bagi pencerahan. Mereka menjadi tercerahkan mendadak berhenti menghadiri kuliah-kuliahnya
Sekelompok orang dari para pengikutnya yang tengah berkembang (kemampuan spiritualnya), yang menginginkan pencerahan lebih jauh, merantau dari Persia ke Cina untuk melanjutkan studi bersamanya.
Setelah kuliah pertama mereka, ia menerima mereka.
"Mullah, mengapa," salah seorang dari mereka bertanya, "kuliahmu tentang kata-kata rahasia yang kami bisa memahaminya (tidak seperti orang Cina)? Kata-kata itu adalah namidanam dan hichmalumnist! Dalam bahasa Persia, kata-kata ini bermakna, 'Aku tidak tahu,' dan 'Tidak seorang pun yang tahu'."
"Lantas apa yang seharusnya aku lakukan -- mencopot kepalaku?" tanya Nashruddin.
Idries Shah dalam The Sufi menjelaskan para sufi mempergunakan istilah-istilah teknis untuk menyampaikan padanan yang mendekati misteri-misteri yang merupakan pengalaman-pengalaman yang tidak bisa digambarkan dengan kata-kata. Hingga seorang Salik siap untuk "menangkap" pengalaman itu, ia dijaga agar tidak membuat kesalahan dengan mencoba menyelidikinya secara intelektual dengan menggunakan cara-cara yang sama ini.
Pengalaman itu sendiri merupakan akibat dari spesialisasi sadar, maka sufisme telah menyimpulkan bahwa tidak ada jalan pintas menuju pencerahan. Ini tidak berarti bahwa pencerahan akan memerlukan waktu yang lama. Yang ini berarti bahwa seorang Sufi mesti berpegang pada Tarekat.
Nashruddin, yang memainkan peran sebagai orang yang mencari jalan pintas, muncul dalam sebuah lelucon yang menyampaikan gagasan ini:
Di pagi hari yang indah, Nashruddin sedang berjalan pulang. Mengapa, ia berpikir, tidak mengambil jalan pintas melewati hutan indah daripada jalan berdebu itu?
"Sehari dari sekian banyak hari, sehari demi pengejaran keberuntungan!" serunya kepada dirinya sendiri, sambil memasuki kawasan yang hijau.( )
Seketika, ia mendapati dirinya sudah berada di dasar sebuah lubang yang tertutup.
"Ini karena aku mengambil jalan pintas," renungnya, ketika ia berada di lubang itu. "Kalau hal-hal seperti ini bisa terjadi di tengah-tengah keindahan semacam ini -- bencana apakah yang tidak terjadi pada jalan keras membosankan yang tidak kenal kompromi tersebut?" ( )
Dalam keadaan yang hampir serupa, suatu ketika Nashruddin terlihat tengah memeriksa sebuah sarang kosong:
"Apa yang tengah Anda lakukan, Mullah?"
"Mencari telur."
"Tidak ada di sarang (burung) pada akhir tahun!"
"Jangan terlalu yakin," ucap Nashruddin. "Jika engkau adalah burung dan menginginkan untuk melindungi telur-telurmu, apakah engkau akan membangun sebuah sarang baru, dengan setiap mata melihatmu?" ( )
Ini merupakan cerita lain dari cerita-cerita Nashruddin yang terlihat pada Don Quixote. Fakta bahwa lelucon ini bisa dibaca paling tidak dengan dua cara, mungkin bisa menghalangi pemikir formal, tetapi justru memberikan kesempatan kepada kaum darwis untuk memahami dualitas dari wujud-nyata, yang dikaburkan oleh pemikiran manusia konvensional. Oleh sebab itu, apa yang rancu bagi intelektual menjadi kekuatan bagi pemahaman secara intuitif. ( )
(mhy)