Mengapa Nashruddin Menunggang Keledai Secara Terbalik?

Kamis, 27 Agustus 2020 - 08:41 WIB
loading...
Mengapa Nashruddin Menunggang Keledai Secara Terbalik?
Ilustrasi/Ist
A A A
SEBUAH cerita yang dinisbatkan kepada Mullah Nashruddin bermaksud membedakan antara pencarian mistis pada dirinya sendiri dari bentuk yang didasarkan pada lebih sedikit, kriteria etis atau formal agama. ( )

Seorang pendeta Cina diriwayatkan telah berkata kepada Nashruddin, "Setiap orang harus memandang tindakannya sebagaimana ia memandang tindakan orang lain. Anda harus memiliki orang lain seperti apa yang Anda miliki dalam hati Anda sendiri!"

Ini bukan ungkapan dari Aturan Emas Kristiani, meskipun ia mengandung pengertian yang sama. Sesungguhnya pernyataan ini merupakan kutipan dari Confucious (lahir 551 SM).

"Ini akan menjadi pernyataan yang mengagumkan," jawab Nashruddin. "Sebab, setiap orang yang berhenti sejenak untuk menyadari bahwa apa yang diinginkan seseorang untuk dirinya sendiri tampaknya pada akhirnya cenderung menjadi sesuatu yang tidak diingini sebagaimana yang ia inginkan terhadap musuhnya, lebih-lebih terhadap sahabatnya."

"Apa yang harus dimiliki dalam hatinya bagi orang lain adalah bukan apa yang ia inginkan untuk dirinya. Ia adalah apa yang seharusnya bagi dirinya, dari apa yang seharusnya bagi semua orang. Ini hanya diketahui ketika kebenaran batiniah terungkap."

Versi lain dari jawaban (Nashruddin) ini menyatakan secara singkat, "Seekor burung memakan buah berry beracun, yang tidak membahayakannya. Satu hari ia mengumpulkan sebagian buah tersebut untuk makanannya, dan merelakan makan siangnya dengan memberi makan buah-buah tersebut kepada sahabatnya, seekor kuda."

( )

Idries Shah dalam The Sufi menyebut seorang guru Sufi lainnya, Amini as-Samarkandi, secara singkat mengulas tentang tema ini, sebagaimana yang dilakukan Rumi sebelumnya, "Seorang laki-laki menginginkan orang lain untuk membunuhnya. Biasanya ia menginginkan hal ini bagi siapa saja, sebab ia adalah 'orang baik'. Sudah tentu, 'orang baik' adalah orang yang menginginkan agar orang lain mempunyai apa yang ia inginkan untuk dirinya sendiri. Masalah tunggal dari hal ini adalah bahwa apa yang ia inginkan seringkali merupakan hal terakhir yang ia butuhkan."

Menurut Idries Shah, untuk itu ada penekanan dalam sufisme terhadap realitas yang harus mendahului etika dari dianggap memiliki validitas universal yang bahkan dengan pertimbangan umum bisa memperlihatkan ketiadaannya.

Cerita-cerita Nashruddin, secara insidentil, tidak bisa dianggap sebagai sistem filsafat yang dimaksudkan untuk membujuk orang meninggalkan kepercayaan dari memeluk ajaran-ajarannya. ( )

Dengan konstruksi yang sama, sufisme tidak bisa diajarkan. Ia tidak bisa bersandar pada peniadaan sistem-sistem lainnya dan menawarkan suatu pengganti, atau suatu sistem yang lebih masuk akal. Sebab ajaran Sufi hanya secara parsial dinyatakan dalam kata-kata, ia tidak pernah mencoba menyerang sistem-sistem filsafat dengan istilahnya sendiri.

Usaha melakukan hal itu agar sufisme sesuai dengan artifisialitas-artifisialitas -- adalah suatu kemustahilan. Melalui kandungannya sendiri, metafisika tidak bisa didekati dengan cara ini, maka sufisme bersandar pada dampak gabungan -- penyebaran "yang berserakan".

Calon Sufi mungkin dipersiapkan atau secara parsial dicerahkan oleh Nashruddin. Tetapi untuk "mematangkan" diri, ia harus terlibat dalam kerja praktis dan mengambil manfaat dari kehadiran nyata seorang guru dan di antara sufi lainnya. Sesuatu lainnya adalah mengacu pada istilah kesalehan, "Mencoba mengirim ciuman melalui utusan pribadi". Ini memang sebuah ciuman, tetapi ia bukan yang dimaksudkan.

Jika sufisme diterima sebagai metodologi yang dengannya petunjuk-petunjuk dari guru keagamaan bisa diberikan pengungkapan sejatinya, maka bagaimana seorang calon sufi bisa menemukan sumber pengajaran bagi seorang pengajar yang harus ia miliki?

Guru sejati tidak bisa mencegah pertumbuhan dan perkembangan dari sekolah-sekolah [aliran-aliran] yang dianggap sebagai sekolah mistis yang menerima para murid dan menyebarkan versi palsu dari ajaran pencerahan. Lebih sulit, jika kita melihat fakta-fakta tersebut secara obyektif, adalah sedikitnya kemampuan untuk membedakan antara suatu sekolah sejati dan yang palsu. "Koin palsu hanya ada karena terdapat sesuatu yang asli seperti halnya emas asli", menjadi berlaku dalam ajaran Sufi -- tetapi bagaimana yang sejati bisa dibedakan dari yang palsu oleh seseorang yang tidak memiliki pelatihan untuk hal itu?



Sang pemula (murid) terselamatkan dari ketidakpekaan menyeluruh, sebab di dalam dirinya terdapat suatu kemampuan dasar untuk bereaksi terhadap "emas sejati". Dan sang guru, dengan mengenali kapasitas batin tersebut, akan mampu menggunakannya sebagai piranti penerimaan tanda-tandanya.

Adalah benar, dalam tahapan-tahapan awal, tanda-tanda tersebut disampaikan oleh guru yang harus diatur dengan cara sedemikian rupa, lantas dipersepsikan secara tidak memadai dan secara mekanis mungkin menyesatkan penerima. Tetapi kombinasi dari dua unsur tersebut akan memberikan suatu dasar bagi suatu pengaturan kerja.

Pada tahapan ini guru sampai pada tingkatan yang harus menandai waktu. Beberapa cerita Nashruddin, sebagai tambahan bagi nilai hiburannya, menekankan adanya ketidakharmonisan yang terjadi pada awal tahapan antara guru dan murid yang memenuhi periode persiapan: ( )

Cara Kompromi
Sejumlah calon murid pada satu hari mendatangi Nashruddin dan memintanya untuk memberikan pelajaran kepada mereka, "Baiklah," ucap Nashruddin, "Ikuti aku ke ruang pertemuan!"
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2150 seconds (0.1#10.140)