Kelompok Terbaik dalam Menghadapi Masalah Syubhat, Menurut Syaikh Al-Qardhawi

Minggu, 27 Oktober 2024 - 17:20 WIB
loading...
Kelompok Terbaik dalam...
Syaikh Yusuf Al-Qardhawi. Foto/Ilustrasi: MEE
A A A
Syaikh Yusuf al-Qardhawi mengatakan perkara-perkara syubhat yang tidak jelas apakah itu halal atau haram , karena banyak orang yang tidak mengetahui hukumnya, sebagaimana dikatakan oleh Nabi SAW kadang-kadang kelihatan jelas oleh sebagian orang bahwa ia halal atau haram sebab dia memiliki ilmu yang lebih.

Sedangkan sabda Nabi SAW menunjukkan bahwa ada perkara-perkara syubhat yang diketahui hukumnya oleh sebagian manusia, tetapi banyak orang yang tidak mengetahuinya.

Dalam buku "Fiqh Prioritas, Sebuah Kajian Baru Berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah" (Robbani Press, 1996), Syaikh Yusuf Al Qardhawi mengatakan untuk kategori orang yang tidak mengetahuinya, terbagi menjadi dua:

Pertama, orang yang mendiamkan masalah ini dan tidak mengambil tindakan apa-apa karena ini adalah masalah syubhat.



Kedua, orang yang berkeyakinan bahwa ada orang lain yang mengetahui hukumnya. Yakni mengetahui apakah masalah ini dihalalkan atau diharamkan.

Ini menunjukkan bahwa untuk masalah yang masih diperselisihkan halal haramnya adalah sama di sisi Allah, sedangkan orang yang lainnya tidak mengetahuinya.

Artinya, orang lain itu tidak dapat mencapai hukum yang sebenarnya telah ditetapkan oleh Allah SWT walaupun dia berkeyakinan bahwa pendapatnya mengenai masalah syubhat itu sudah benar.

Orang seperti ini tetap diberi satu pahala oleh Allah SWT karena ijtihad yang dilakukannya, dan dia diampuni atas kesalahan yang telah dilakukannya.

"Barang siapa yang menjauhi perkara-perkara yang syubhat maka berarti telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Dan barang siapa yang telah terjerumus dalam syubhat, maka dia telah terjerumus ke dalam sesuatu yang haram"



Hadis ini membagi manusia dalam masalah syubhat, menjadi dua bagian; yakni bagi orang yang tidak mengetahui hukumnya.

Adapun orang yang mengetahui hukumnya, dan mengikuti petunjuk ilmu pengetahuan yang dimilikinya, maka dia termasuk pada kelompok ketiga, yang tidak disebutkan di sini karena hukumnya sudah jelas.

Inilah kelompok terbaik dalam tiga kelompok yang menghadapi masalah syubhat, karena ia mengetahui hukum Allah dalam perkara-perkara syubhat yang dihadapi oleh manusia, dan dia mengambil tindakan sesuai dengan ilmu pengetahuan yang dimilikinya.

Sedangkan kelompok yang tidak mengetahui hukum Allah terbagi menjadi dua:

Pertama, orang yang menjauhi syubhat tersebut. Kelompok ini dianggap telah menyelamatkan (istabra'a) agama dan kehormatannya. Makna istabra'a di sini ialah mencari keselamatan untuk agama dan kehormatannya, agar terhindar dari kekurangan dan keburukan.

Hal ini menunjukkan bahwa mencari keselamatan untuk kehormatan diri adalah terpuji, seperti halnya mencari kehormatan untuk agamanya. Oleh sebab itu, ada ungkapan: "Sesungguhnya sesuatu yang dipergunakan oleh seseorang untuk menjaga kehormatan dirinya termasuk sedekah."



Kedua, orang yang terjerumus ke dalam syubhat padahal dia tahu bahwa perkara itu syubhat baginya.

Sedangkan orang yang melakukan sesuatu yang menurut pandangan orang syubhat, tetapi menurut pandangan dirinya sendiri bukan syubhat, karena dia tahu bahwa perkara itu halal, maka tidak ada dosa baginya di sisi Allah SWT.

Akan tetapi, kalau dia khawatir bahwa orang-orang akan mengecam dirinya karena melakukan hal itu, maka meninggalkan perkara itu dianggap sebagai penyelamatan terhadap kehormatan dirinya. Dan ini lebih baik.

Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Nabi SAW kepada orang yang sedang melihatnya berdiri bersama Shafiyah; yakni Shafiyah binti Huyai. (HR Bukhari (2035): Muslim (2175): Abu Dawud (2470): dan Ahmad 6:337 dari hadits Shafiyyah).

Anas keluar untuk salat Jumat, kemudian dia melihat orang-orang telah salat dan kembali, kemudian dia merasa malu, lalu dia masuk ke sebuah tempat yang tidak tampak oleh orang banyak, kemudian dia berkata, "Barang siapa yang tidak malu kepada orang, berarti dia tidak malu kepada Allah."

Kalau seseorang melakukan suatu perkara dengan keyakinan bahwa perkara itu halal, dengan ijtihad yang telah diketahui oleh orang banyak, atau dengan taklid yang telah dilakukan oleh orang banyak, kemudian ternyata keyakinannya salah, maka hukum perkara yang dilakukannya adalah mengikut hukum ketika dia melakukannya.



Akan tetapi kalau ijtihadnya lemah, dan taklidnya tidak begitu terkenal di kalangan orang banyak, kemudian dia melakukan hal itu hanya sekadar mengikuti hawa nafsu, maka perkara yang dia lakukan dihukumi sebagai orang yang melakukan syubhat.

Dan orang yang melakukan perkara syubhat padahal dia mengetahui bahwa perkara itu masih syubhat, maka orang seperti ini adalah sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi SAW bahwa dia termasuk orang yang terjerumus dalam sesuatu yang haram.

Menurut Al-Qardhawi, pernyataan ini dapat ditafsirkan ke dalam dua hal:

Pertama, syubhat yang dilakukan tersebut --dengan keyakinan bahwa apa yang dilakukan adalah syubhat-- merupakan penyebab baginya untuk melakukan sesuatu yang haram --yang diyakini bahwa perkara itu adalah haram.

Dalam riwayat as-Shahihain untuk hadis ini disebutkan,

"Barangsiapa yang berani melakukan sesuatu yang masih diragukan bahwa sesuatu itu berdosa, maka dia tidak diragukan lagi telah terjerumus dalam sesuatu yang jelas berdosa." [Diriwayatkan oleh Bukhari saja (2051)]



Kedua, sesungguhnya orang yang memberanikan diri untuk melakukan sesuatu yang masih syubhat baginya, dan dia tidak mengetahui apakah perkara itu halal ataukah haram; maka tidak dijamin bahwa dia telah aman dari sesuatu yang haram. Dan oleh karena itu dia dianggap telah melakukan sesuatu yang haram walaupun dia tidak mengetahui bahwa hal itu haram.
(mhy)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1982 seconds (0.1#10.140)