Konflik Khilafah: Kisah Suram Putra Ketiga Ali bin Abi Thalib

Jum'at, 04 September 2020 - 15:24 WIB
loading...
Konflik Khilafah: Kisah Suram Putra Ketiga Ali bin Abi Thalib
Ilustrasi/Ist
A A A
TATKALA Khilafah jatuh ke tangan Abdul Malik bin Marwan dari tangan Bani Umayah, perpecahan kembali pecah di tubuh kaum muslimin. Khalifah baru ini dibai’at oleh muslimin penduduk Syam. Namun penduduk Hijaz dan Irak lebih memilih berbai’at kepada Abdullah bin Zubair. ( )

Keduanya menyerukan kepada rakyatnya agar berbai’at kepadanya. Masing-masing mengaku dirinyalah yang lebih patut menjadi khalifah daripada lawannya. Sehingga kaum muslimin pecah lagi menjadi dua kelompok. ( )

Dr. Abdurrahman Ra’fat Basya dalam “ Mereka Adalah Para Tabi’in ” menulis ketika itu, Abdullah bin Zubair meminta kepada Muhammad Al-Hanafiyah bin Ali bin Abu Thalib agar melakukan bai’at beserta segenap penduduk Hijaz.

Namun Muhammad mengetahui bahwa bai’at akan menjadikan dia terikat kepada yang dibaiat. Dia harus selalu membantunya, termasuk menghunus pedang terhadap siapa saja yang menentangnya. Padahal yang menentangnya adalah sesama muslimin yang memilih untuk berbaiat kepada pihak lain. ( )

Masih terngiang dalam ingatan Muhammad Al-Hanafiyah ketika peristiwa Shiffin. Bertahun-tahun telah dilalui, namun dia tidak mampu menepis suara yang lantang dan mengharukan itu.

Terngiang-ngiang suaranya, “Wahai saudara-saudara muslimin…ingat Allah…Allah…wahai saudara muslimin untuk siapa lagikah wanita dan anak-anak kita? Untuk siapa agama dan kehormatan ini? Siapakah nanti yang akan menghadapi Romawi dan golongan orang Dailam?” beliau benar-benar tak mampu melakukan hal itu. ( )

Tak Ingin Berbaiat
Beliau berkata kepada Abdullah bin Zubair, “Engkau tahu benar bahwa aku tidak ingin melakukan hal itu. Kedudukanku hanyalah seorang muslim. Bila seluruh muslimin telah bersepakat atas salah satu dari kalian, maka aku tidak keberatan untuk berbai’at kepada engkau maupun dia. Untuk sementara saya belum ingin berbai’at baik kepadamu maupun kepadanya.”

Namun Abdullah bin Zubair terus membujuknya, terkadang dengan halus dan sebentar dengan kasar. Dalam waktu yang tak terlalu lama banyak orang yang tergabung dengan Muhammad Al-Hanafiyah karena sependapat dengannya. ( )

Mereka menyerahkan kepemimpinan kepada Muhammad, jumlah mereka mencapai tujuh ribu orang. Mereka lebih mengutamakan menjauhi fitnah dan ingin menjauhkan diri dari api neraka . Semakin bertambah pengikut Ibnu Al-Hanafiyah, makin marahlah Abdullah bin Zubair dan makin keras memaksa untuk berbai’at kepadanya.

Setelah merasa gagal menundukkan Bani Hasyim dan pengikutnya, Ibnu Zubair melarang mereka keluar dari Makkah dan mereka memerintahkan pengawasnya untuk menjaga mereka.

Ibnu Zubair berkata kepada mereka, “Demi Allah, kalian harus berbai’at atau kami akan membakar kalian.” Dia mengurung muslimin di rumah-rumah dan menata kayu-kayu bakar di sekelilingnya sampai sama tinggi dengan dinding-dinding rumah. Seandainya disulut sebatang kayu saja akan terbakarlah semuanya.

Dalam kondisi demikian, beberapa orang dari pengikut Ibnu Al-Hanafiyah berkata, “Izinkanlah kami untuk membunuh Ibnu Zubair dan membebaskan orang-orang dari tekanannya.”

Tetapi Muhammad ibn Ali Al-Hanafiyah melarang mereka sembari berkata, “Apakah kita akan menyalakan api fitnah padahal kita menjauhkan diri darinya, lalu membunuh salah satu sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan putra-putranya?! Tidak. Demi Allah kita akan melakukan sesuatu yang dimurkai Allah dan rasul-Nya.

Mengungsi ke Syam
Berita tentang tekanan Abdullah bin Zubair terhadap Muhammad Al-Hanafiyah dan sahabat-sahabatnya sampai ke telinga Abdul Malik bin Marwan. Kondisi tersebut dianggapnya sebagai peluang bagus untuk menarik simpati mereka agar mau bergabung di pihaknya.

Dia mengirim surat melalui utusan yang seandainya dia mengirim surat kepada salah satu putranya pun tentu tidak lebih lembut dan halus daripada itu. Di antara isi surat itu adalah sebagai berikut:

“Telah sampai berita kepada kami bahwa Ibnu Zubair telah menekan Anda beserta pengikut-pengikut Anda dan tidak lagi menghargai hak-hak Anda. Oleh karena itu, negeri Syam terbuka bagi kalian semua. Kami menyambut kedatangan Anda dengan dada dan tangan terbuka. Anda boleh tinggal di bagian mana saja yang Anda kehendaki sebagai sesama keluarga dan tetangga yang terhormat. Dan Anda semua akan mendapati kami sebagai orang-orang yang tahu menjaga hak, tidak melupakan kebijaksanaan dan menghubungkan silaturrahmi dengan baik, insya Allah…”

Muhammad Al-Hanafiyah beserta pengikutnya berangkat menuju Syam. Mereka kemudian menetap di kota Ailah. Para penduduk di kota itu menyambut mereka dengan hangat dan menjadi tetangga mereka yang baik.

Mereka menyayangi dan menghormati Muhammad Al-Hanafiyah setelah melihat ketekunannya beribadah dan kezuhudannya terhadap duniawi. Dia senantiasa menyampaikan amar ma’ruf nahi mungkar. Menegakkan syiar Islam, mendamaikan segala pertentangan di antara mereka dan tidak membiarkan seorangpun menzhalimi orang lain.

Berita tentang keadaannya sampai ke telinga khalifah Abdul Malik. Beliau pun bingung dalam menentukan sikap. Dia mengumpulkan para pejabatnya untuk bermusyawarah, lalu mereka berkata, “Tidak layak Anda mengizinkan dia berada dalam kekuasaan Anda sedangkan dia sebagaimana Anda ketahui. Sebaiknya Anda tawarkan kepadanya untuk berbai’at kepada Anda atau kembali ke tempat asalnya.”

Keputusan diambil, Abdul Malik menulis surat kepada Muhammad Al-Hanafiyah sebagai berikut, “Anda menetap di daerah kami, sedangkan pertikaian masih berlangsung antara saya dan Abdullah bin Zubair. Anda adalah seorang yang terpandang di kalangan kaum muslimin. Oleh sebab itu saya memandang perlunya Anda berbai’at kepada saya, apabila Anda ingin tinggal di wilayah kekuasaan saya."
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3544 seconds (0.1#10.140)