Perang Irak di Era Khalifah Umar bin Khatab Bukan Perang Agama

Senin, 28 September 2020 - 06:24 WIB
loading...
Perang Irak di Era Khalifah Umar bin Khatab Bukan Perang Agama
Ilustrasi/Ist
A A A
MUSANNA bin Harisah mengeluarkan perintah kepada para perwira dan anak buahnya. Mereka berangkat melalui Sawad hingga sampai ke Sabat, yang dari Mada'in sudah terlihat. Pasukan Persia di depan berlarian lintang pukang. Pada gilirannya Musanna pun berangkat mengadakan serangan ke Khanafis dan Anbar pada hari pasar kedua kota itu. ( )

Muhammad Husain Haekal dalam bukunya berjudul " Umar bin Khattab " menceritakan di kedua tempat ini pasukannya mendapat rampasan yang tidak sedikit pula.

Pasukan Muslimin sampai juga di Tigris dan mengadakan serangan ke desa Bagdad sampai ke Tikrit. Setiap serangan itu mereka membunuh pasukan tentara, menawan keluarga mereka dan mengambil harta yang ada sehingga tak terhitung banyaknya. ( )

Dengan demikian barulah seluruh Irak mau tunduk sekali lagi. Hasil rampasan itu oleh Musanna dibagi-bagikan, dan penduduk negeri lebih diutamakan daripada semua kabilah. Seperempatnya diberikan untuk daerah Bajilah sesuai dengan pesan Khalifah Umar bin Khattab, dan yang tiga perempat dikirimkan kepada Amirulmukminin di Madinah.

Keadaan di bawah Musanna sudah stabil kembali seperti pada masa Khalid bin Walid. Kaum Muslimin yang tersebar di Sawad Irak juga ikut menikmati hasil rampasan perang itu. ( )

Selama tinggal di Hirah yang dipikirkan Musanna siapa saja dari anggota pasukan Muslimin yang gugur dalam pertempuran sengit itu, serta cara-cara untuk memperkuat pasukannya dengan orang yang akan menggantikannya. Barangkali belum perlu meminta bala bantuan cepat-cepat.

Pihak Persia sudah dalam ketakutan setelah malapetaka yang menimpa mereka di Buwaib, sehingga mereka membayangkan bahwa sesudah itu mereka tak akan mampu lagi mengadakan perlawanan. Malah akibatnya, perselisihan mereka di Mada'in akan makin keras, yang akan mengakibatkan pula berkecamuknya pemberontakan di seluruh Persia. Mereka akan makin lemah dan organisasi mereka pun akan goyan. ( )

Bukan Perang Agama
Haekal mengatakan dalam perang ini terdapat beberapa tanda, kita melihat kaum Nasrani Arab penduduk Irak berada dalam barisan Muslimin, bersama-sama memerangi pasukan Persia, dengan semangat yang sama seperti semangat Muslimin.

Kita menyaksikan Musanna berkata kepada Anas bin Hilal an-Namiri: "Anda orang Arab sekalipun tak seagama dengan kami. Kalau-Anda melihat saya sudah menyerang Mehran, ikutlah menyerang bersama saya."

Kemudian kata-kata yang sama dikatakannya juga kepada Ibn Mirda al-Fihri dari Banu Taglib.

Haekal menuturkan, bukankah ini sudah memastikan bahwa perang di Irak itu bukan perang salib, juga bukan perang Islam, karena bukan dibangkitkan oleh agama, melainkan oleh keinginan orang-orang Arab membebaskan golongannya dari kekuasaan asing yang sudah berabad-abad menjajah mereka, dan supaya masyarakat Arab mempunyai kesatuan politik, bagaimanapun, posisinya? ( )

“Saya rasa soalnya memang sudah jelas, tak perlu diragukan lagi. Segala pertimbangan yang membangkitkan perang di Irak sama dengan di Syam. Bahwa perang itu untuk menyebarkan Islam tak pernah terlintas, baik dalam pikiran Abu Bakar ataupun Umar. Pikiran yang ada pada mereka hanya supaya dakwah Islam bebas tanpa ada rintangan apa pun,” lanjut Haekal. ( )

Jadi jelas, bahwa ajakan kepada Islam dengan kekuatan senjata tidak sesuai dengan prinsip-prinsip Islam, dan tidak pula dibenarkan oleh Qur'an.

Rasulullah dan para penggantinya selalu ingat firman Allah: Ajaklah mereka ke jalan Tuhanmu dengan bijaksana dan pesan yang baik; dan berbantahlah dengan mereka dengan cara yang lebih baik. (Qur'an, 16: 125). Dan firman-Nya lagi: Tolaklah (kejahatan) dengan yang lebih baik; maka akan ternyata permusuhan yang ada antara Anda dengan dia akan menjadi seperti teman dekat. (QS Qur'an, 41: 34).

Menurut Haekal, Islam tersebar sejalan dengan meluasnya daerah-daerah yang dibebaskan, sebab penduduk daerah-daerah itu melihat dasar-dasar agama yang benar ini, maka mereka sangat mengagumi, sangat menghormatinya, lalu mereka pun menganutnya, kadang dengan pembuktian dan pemikiran, kadang dengan melihat orang-orang yang datang dengan segala cara yang menakjubkan dalam usaha pembebasan dan cara menjalankan kekuasaan. Kalau dengan alasan itu dapat dibenarkan mengaitkan tersebarnya Islam dengan perluasan daerah-daerah yang dibebaskan itu, maka tidaklah benar untuk mengatakan bahwa tujuan pembebasan itu untuk menyebarkan Islam dengan kekuatan pedang. ( )

Arab-Persia
Menurut Haekal, inilah beberapa indikasi terjadinya Perang Buwaib. Juga ini merupakan suatu indikasi bahwa permusuhan Arab-Persia itu sudah sampai di puncaknya dan sudah menghilangkan segala harapan akan ada perdamaian atau perletakan senjata. Perang Buwaib itu terjadi sesudah Pertempuran Jembatan yang membuat pasukan Muslimin mengalami kekalahan telak. Kebalikannya kejadian di Buwaib telah menghapus dampak kekalahan itu dan mengangkat martabat pasukan Muslimin; dalam hati pihak Persia timbul rasa takut, dan semangat mereka sangat menurun. ( )

Sungguhpun begitu, setelah Pertempuran Jembatan itu tidak terpikir oleh pasukan Muslimin akan menyerah atau mengajak damai.

Demikian juga setelah Perang Buwaib tidak terpikir oleh pasukan Persia akan menyerah atau mengajak damai. Jadi tak ada jalan lain perang harus berlanjut sehingga salah satu pihak ada yang menyerah tanpa syarat. Itu sebabnya tatkala trauma Perang Buwaib hilang dari pihak Persia, kembali mereka beipikir-pikir tentang nasib apa yang akan menimpa mereka jika masih terus dalam peipecahan, masih terbagi-bagi. ( )

Terbayang oleh mereka bahwa pasukan Arab itu akan memasuki ibu kota kerajaan mereka, akan merobohkan semua benteng pertahanan mereka dan putra-putra Kisra akan tunduk di bawah kekuasaan musuh. Kecuali jika terjadi suatu mukjizat, mereka mau bersatu menghadapi kaum penyerang dan mengusirnya dari bumi mereka.

Tetapi bagaimana mereka akan bersatu sementara Rustum dan Fairuzan saling berebut kekuasaan, para pembesar dan para petinggi terbagi-bagi, yang satu mendukung satu kelompok, yang lain menjadi pendukung kelompok yang lain. Oleh karena itu para pemuka Persia menemui kedua pihak dengan mengingatkan akibat perselisihan itu akan menjerumuskan Persia ke dalam kehancuran. ( )

"Sesudah Bagdad, Sabat dan Tikrit, kini hanya tinggal Mada'in!" Mereka mengancam keduanya dengan mengatakan: "Kalian bersatu atau kami sendirilah yang akan bertindak, sebelum kita disoraki orang!"
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1664 seconds (0.1#10.140)