Hati Adalah Raja, Amalan Hati Lebih Penting Ketimbang Amal Badan

Minggu, 10 Mei 2020 - 17:15 WIB
loading...
Hati Adalah Raja, Amalan...
Ikatan iman yang paling kuat ialah berwala karena Allah, bermusuhan karena Allah, mencintai karena Allah, dan membenci karena Allah SWT. Ilustrasi/Ist
A A A
DI antara amalan yang sangat dianjurkan menurut pertimbangan agama ialah amalan batiniah yang dilakukan oleh hati manusia. Ia lebih diutamakan daripada amalan lahiriah yang dilakukan oleh anggota badan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menegaskan:

الأعمال الظاهرة لاتكون صالحة مقبولة إلا بواسط أعمال القلب، فإن القلب ملك واﻷعضاء جنوده، فإذا خبث الملك خبثت جنوده

“Amalan badan tidak akan diterima tanpa perantara amalan hati. Karena hati adalah raja, sedangkan anggota badan ibarat prajuritnya. Bila Sang Raja buruk, maka akan buruk pula seluruh prajuritnya. ” (Majmu’ Al Fatawa, 11/208).

Amalan hati memiliki kedudukan yang agung. Bisa dikatakan, pahala dari amalan hati lebih besar daripada amalan badan. Sebagaimana dosa hati lebih besar daripada dosa badan. Oleh karena itu kita dapati; dosa kufur dan kemunafikan lebih besar daripada dosa zina, riba, minum khamr, judi dst. ( )

Hati adalah standar kebaikan amalan badan. Rasulullah shallahu’alaihi wasallam bersabda:

أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ

“Ketahuilah, sesungguhnya di dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging. Jika ia baik, seluruh tubuh baik. Jika ia rusak, seluruh tubuh juga rusak. Ketahuilah (segumpal daging) itu ialah hati..” (HR. Muslim).

Nabi SAW menjelaskan bahwasanya hati merupakan titik pusat pandangan Allah, dan perbuatan yang dilakukan oleh hatilah yang diakui (dihargai/dinilai) oleh-Nya. Karenanya, Allah hanya melihat hati seseorang, bila bersih niat nya, maka Allah akan menerima amalnya: dan bila kotor hatinya (niatnya tidak benar), maka otomatis amalnya akan ditolak Allah. ( )

Pokok-pokok atau pondasi agama ini ada pada amalan hati. Seperti cinta kepada Allah dan RasulNya, tawakkal, rojaa‘ (rasa harap), khosyah (rasa takut disertai ilmu), ikhlas, sabar, syukur. (Lihat: Majmu’ Al Fatawa: 5/10). ( )

Dalam hadis Qudsi disebutkan, dimana Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam meriwayatkan dari Robb-nya, Allah ta’ala berfirman,

أنا أغني الشركاء عن الشرك, فمن عمل عملا أشرك فيه معي غيري تركته و شركه

“Aku paling tidak butuh pada sekutu. Barangsiapa mengerjakan suatu amalan dalam keadaan menyekutukan-Ku dengan selain-Ku, maka Aku tinggalkan dia bersam dengan sekutunya.” (HR Bukhari dan Muslim)

Hadis di atas sebagai dalil bahwa amalan hati lebih besar kedudukannya daripada amalan badan. Karena amalan badan tidak akan berguna bila seorang berlaku syirik , sebanyak apapun amalannya. Baik syirik kecil apalagi syirik besar. (Baca Juga: 17 Dosa Besar yang Harus Diketahui Umat Islam
Seperti seorang sedekah karena riya’ (dan riya ini letaknya di hati), maka akan sia-sialah pahala. Sebesar apapun nominal sedekah yang ia keluarkan. Atau membaca Al Qur’an supaya dipuji suaranya oleh orang-orang (sum’ah). Ini juga akan sia-sia pahalanya. Meski sebagus apapun lantunan suaranya.

Para ulama juga menjelaskan, bahwa besar kecilnya pahala, berkaitan erat dengan keadaan niat dalam hati seseorang. Ini juga bukti bahwa amalan hati memiliki kedudukan yang tinggi. Bisa jadi amalan kecil menjadi besar nilai pahalanya disebabkan oleh niat. Bisa jadi pula amalan besar menjdi kecil pahalanya disebabkan oleh niat. Sebagaimana dijelaskan oleh Abdullah bin Mubaarak:

رب عمل صغير تعظمه النية، ورب عمل كبير تصغره النية

“Boleh jadi amalan kecil, namun pahalanya menjadi besar karena faktor niat (keikhlasan). Dan bisa jadi amalan besar menjadi kecil nilai pahalanya disebabkan oleh niat.” ( )

Niat yang murni untuk Allah SWT. Dia tidak akan menerima amalan seseorang kecuali amalan itu murni untuk-Nya; sebagaimana difirmankan-Nya:

وَمَآ أُمِرُوٓا۟ إِلَّا لِيَعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ حُنَفَآءَ وَيُقِيمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤْتُوا۟ ٱلزَّكَوٰةَ ۚ وَذَٰلِكَ دِينُ ٱلْقَيِّمَةِ

"Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus..." (QS al-Bayyinah: 5)

Rasulullah saw bersabda, "Sesungguhnya Allah tidak menerima amalan kecuali yang murni, yang dilakukan hanya untuk-Nya."

Al-Qur'an menjelaskan bahwasanya keselamatan di akhirat kelak, dan perolehan surga di sana, hanya dapat dicapai oleh orang yang hatinya bersih dari kemusyrikan, kemunafikan dan penyakit-penyakit hati yang menghancurkan. Yaitu orang yang hanya menggantungkan diri kepada Allah SWT, sebagaimana yang Dia firmankan melalui lidah nabi-Nya, Ibrahim al-Khalil a.s.

وَلَا تُخْزِنِى يَوْمَ يُبْعَثُونَ
يَوْمَ لَا يَنفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ
إِلَّا مَنْ أَتَى ٱللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ

"Dan janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan. (Yaitu) di hari harta dan anak-anak tidak berguna. Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih." (QS as-Syu'ara': 87-89)

Allah berfirman:

وَأُزْلِفَتِ الْجَنَةُ لِلْمُتَّقِينَ غَيْرَ بَعِيدٍ
هَٰذَا مَا تُوعَدُونَ لِكُلِّ أَوَّابٍ حَفِيظٍ
مَنْ خَشِيَ الرَّحْمَٰنَ بِالْغَيْبِ وَجَاءَ بِقَلْبٍ مُنِيبٍ

Dan didekatkanlah surga itu kepada orang-orang yang bertakwa pada tempat yang tiada jauh (dari mereka).
Inilah yang dijanjikan kepadamu, (yaitu) kepada setiap hamba yang selalu kembali (kepada Allah) lagi memelihara (semua peraturan-peraturan-Nya).
(Yaitu) orang yang takut kepada Tuhan Yang Maha Pemurah sedang Dia tidak kelihatan (olehnya) dan dia datang dengan hati yang bertaubat. (QS Qaf: 31-33)

Keselamatan dari kehinaan pada hari kiamat kelak hanya diberikan kepada orang yang datang kepada Allah SWT dengan hati yang bersih. Dan surga hanya diberikan kepada orang yang datang kepada Tuhannya dengan hati yang pasrah.

Cendekiawan Muslim, Syaikh Yusuf Qardhawy, dalam "Fiqh Prioritas, Sebuah Kajian Baru Berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah" menjelaskan takwa kepada Allah --yang merupakan wasiat bagi orang-orang terdahulu dan yang terkemudian, merupakan dasar perbuatan yang utama, kebajikan, kebaikan di dunia dan akhirat-- pada hakikat dan intinya merupakan persoalan hati.

Oleh karena itu Nabi saw bersabda, "Taqwa itu ada di sini," sambil menunjuk ke dadanya sebanyak tiga kali. Beliau mengatakannya sebanyak tiga kali sambil memberikan isyarat dengan tangannya ke dadanya agar dapat dipahami oleh akal dan jiwa manusia. ( )

Sehubungan dengan hal ini, al-Qur'an memberi isyarat bahwa ketakwaan itu dilakukan oleh hati manusia:

ذَٰلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ شَعَٰٓئِرَ ٱللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى ٱلْقُلُوبِ

"Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketaqwaan hati." (QS al-Hajj:32)

Menurut Syaikh Qardhawy, semua tingkah laku dan perbuatan yang mulia, serta tingkatan amalan rabbaniyah yang menjadi perhatian para ahli suluk dan tasawuf , serta para penganjur pendidikan ruhaniah, merupakan perkara-perkara yang berkaitan dengan hati; seperti menjauhi dunia, memberi perhatian yang lebih kepada akhirat, keikhlasan kepada Allah, kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya, tawakkal kepada Allah, mengharapkan rahmat-Nya, takut kepada siksaan-Nya, mensyukuri nikmatNya, bersabar atas bencana, ridha terhadap ketentuan-Nya, selalu mengingat-Nya, mengawasi diri sendiri... dan lain-lain.

Perkara-perkara ini, menurutnya, merupakan inti dan ruh agama, sehingga barangsiapa yang tidak memiliki perhatian sama sekali terhadapnya maka dia akan merugi sendiri, dan juga rugi dari segi agamanya.

Siapa yang menyia-nyiakan umurnya, maka dia tidak akan mendapatkan apa-apa. Anas meriwayatkan dari Nabi saw, "Tiga hal yang bila siapapun berada di dalamnya, maka dia dapat menemukan manisnya rasa iman. Hendaknya Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada yang lain; hendaknya ia mencintai seseorang yang ia tidak mencintainya kecuali karena Allah; dan hendaknya ia benci untuk kembali kepada kekafiran sebagaimana dia benci untuk dilemparkan ke dalam api neraka." (Muttafaq 'Alaih [al-Lu'lu'wa al-Marjan, 26])

( )

Diriwayatkan dari Anas bahwa ada seorang lelaki yang bertanya kepada Nabi saw, "Kapankah kiamat terjadi wahai Rasulullah?"

Beliau balik bertanya: "Apakah yang telah engkau persiapkan?"

Dia menjawab, "Aku tidak mempersiapkan banyak salat dan puasa, serta sedekah , tetapi aku mencintai Allah dan Rasul-Nya."

Rasulullah saw kemudian bersabda, "Engkau akan bersama orang yang engkau cintai." (Muttafaq 'Alaih dari Anas (al-Lu'lu' wa al-Marjan, 1693)

Hadis ini dikuatkan oleh hadis Abu Musa bahwa ada seseorang berkata kepada Nabi saw, "Ada seseorang yang mencintai kaum Muslimin, tetapi dia tidak termasuk mereka."

Nabi saw menjawab, "Seseorang akan bersama dengan orang yang dia cintai." (Muttafaq 'Alaih dari Anas [al-Lu'lu' wa al- Marjan, 1694])

( )

Hadis-hadis tersebut menunjukkan bahwa cinta kepada Allah SWT dan Rasulullah, serta cinta kepada hamba-hamba-Nya yang saleh merupakan cara pendekatan yang paling baik kepada Allah SWT; walaupun tidak disertai dengan tambahan salat, puasa dan sedekah. "Hal ini tidak lain adalah karena cinta yang murni merupakan salah satu amalan hati, yang memiliki kedudukan tinggi di sisi Allah SWT," tutur Syaikh Qardawy.

Atas dasar itulah beberapa ulama besar berkata, "Aku cinta kepada orang-orang saleh walaupun aku tidak termasuk golongan mereka."

"Aku berharap bahwa aku bisa mendapatkan syafaat (ilmu, dan kebaikan) dari mereka."

"Aku tidak suka terhadap barang-barang maksiat, walaupun aku sama maksiatnya dengan barang-barang itu."

Cinta kepada Allah, benci karena Allah merupakan salah satu bagian dari iman, dan keduanya merupakan amalan hati manusia.

Dalam sebuah hadis disebutkan, "Barang siapa mencintai karena Allah, marah karena Allah, memberi karena Allah, menahan pemberian karena Allah, maka dia termasuk orang yang sempurna imannya." (HR Abu Dawud dalam kitab al-Sunnah dari Abu Umamah (4681), dan dalam al-Jami' as-Shaghir riwayat ini dinisbatkan kepada Dhiya' (Shahih al-Jami' as-Shaghir, 5965)

"Ikatan iman yang paling kuat ialah berwala' karena Allah, bermusuhan karena Allah, mencintai karena Allah, dan membenci karena Allah SWT." (HR al-Thayalisi, Hakim, dan Thabrani dalam al-Kabir, dan al-Awsath dari Ibn Mas'ud, Ahmad, dan Ibn Abi Syaibah dari Barra" dan juga diriwayatkan oleh Thabrani dari Ibn ,Abbas (Shahih al-Jami' as-Shaghir, 2539). Wallahu'alam. ( )
(mhy)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2980 seconds (0.1#10.140)