Benarkah Nabi Muhammad Itu Al-Abtar?

Rabu, 25 November 2020 - 17:54 WIB
loading...
Benarkah Nabi Muhammad Itu Al-Abtar?
Ustaz Miftah el-Banjary, Dai yang juga pakar ilmu linguistik Arab dan Tafsir Al-Quran asal Banjar Kalimantan Selatan. Foto/Ist
A A A
Ustaz Miftah el-Banjary
Pakar Ilmu Linguistik Arab dan Tafsir Al-Qur'an

Dalam catatan sejarah dunia tak ada seorang tokoh dunia mana pun yang pernah mendapatkan celaan, hinaan, cacian, kebencian sepanjang masa sebagaimana dialami baginda Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم.

Sejak diangkat menjadi seorang Nabi dan Rasul , risalah Nabawiyyah yang beliau sampaikan hanya dalam rentang dari Tahun 610 hingga 632 Masehi atau tak kurang dari 23 tahun saja. Namun, warisan permusuhan serta dendam dari para musuh dan pembencinya terus eksis dari masa ke masa.

( )

Di masa hidupnya, tidak ada celaan, bullyan, hinaan serta sumpah serapah yang tidak dimuntahkan pada beliau, mulai dari Muhammad seorang penyair, penyihir, sinting, gila, haus kekuasaan, pembuat kegaduhan, perusak persatuan dan kesatuan dan lain sebagainya, bahkan tak sampai di situ gangguan fisik pun mulai dilakukan.

Hinaan dan cercaan yang paling menyakitkan beliau terima di saat beberapa kali putra beliau wafat pada usia dini dalam masa beberapa tahun sejak dilahirkan. Di antaranya, Abdullah dan Qasim yang kemudian Nabi dikenal juga sebagai Abu Thahir dan Abu Qasim.

Memang, dalam tradisi orang Arab pada masa Jahiliyyah dikenal bahwa anak laki-laki merupakan suatu kebanggaan. Seseorang hanya diakui memiliki keturunan jika melahirkan seorang anak laki-laki saja. Sebaliknya, anak perempuan tidak pernah memperoleh tempat di dalam keluarga. Bahkan, keberadaannya boleh jadi menjadi aib bagi keluarga dan masyarakat Arab Jahiliyyah.

Sehingga pembunuhan bayi perempuan secara hidup-hidup tidak dianggap sebagai suatu kejahatan dan kezhaliman, melainkan sebuah kelaziman demi sebuah kehormatan. Nah, manakala wafatnya putra-puta Nabi Muhammad di masa kecil menjadikan beliau hanya seorang ayah yang memiliki putri-putri dari hasil perkawinan beliau dengan Ummina Sayyidah Khadijah ra, diantaranya: Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum, dan Fathimah.

Di saat Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم mulai mensyiarkan ajaran Tauhid dan menyatakan pertentangan dengan kebiasaan penyembahan terhadap berhala serta kebiasaan tradisi Jahiliyyah, maka mulailah bibit kebencian serta permusuhan mulai ditunjukkan oleh para elit musyrikin Makkah.

Sebenarnya memang tidak mudah bagi mereka mencari kesalahan serta cacat aib kekurangan bagi track record kepribadian diri Muhammmad Al-Amin . Sebab, gelar "Al-Amin" sendiri, justru identitas sosial yang mereka diberikan oleh pengakuan jujur bahwa sosok Muhammad merupakan manusia terpercaya yang pernah mereka kenal di tengah masyarakat yang menjadikan kebohongan dan kelicikan sebagai sebuah kelaziman.

Berbagai celah aib dan kekurangan itu sulit sekali ditemukan, maka satu-satunya fakta sosial yang mereka anggap sebagai sebuah cacat dan keiaban bagi standar sosial pada masyarakat era Jahiliyyah pada masa itu ya soal Nabi Muhammad tak punya keturunan.

Tak punya keturunan bukan dalam pengertian mandul, namun tak memiliki pewaris keturunan putra yang dianggap sebagai sebuah kebanggaan sekaligus sebagai sebuah kehormatan bagi seorang pria di masa itu. Tanpa ada seorang putra, keturunannya dianggap terputus.

Di antara mereka Abu Lahab, Abu Jahal Cs mengatakan bahwa engkau ya Muhammad seorang "Abtar" atau terputus garis nasab dan keturunanmu. Mereka menjadikan ungkapan itu sebagai bahan olok-olokkan dan tertawaan.

Tentu saja, sebagai seorang manusia yang juga memiliki perasaan, olok-olokan dan bullyaan itu sangat menyakitkan. Betapa tidak, hal ini juga menyangkut perasaan sedih yang dirasakan oleh istri beliau Sayyidah Khadijah radhiyallahu 'anha. Siapa juga yang menghendaki putra-putra beliau wafat lebih dahulu?

Allah Ta'ala mengetahui kesedihan hati kekasih-Nya. Demi menghibur hati kekasih-Nya itu, Allah menurunkan ayat penghibur pada Surah Al-Kautsar.

اِنَّآ اَعْطَيْنٰكَ الْكَوْثَرَ
1. Sungguh, Kami telah memberimu (Muhammad) nikmat yang banyak.

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
2. Maka laksanakanlah shalat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah (sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah).

اِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْاَبْتَرُ
3. Sungguh, orang-orang yang membencimu dialah yang terputus (dari rahmat Allah).

Para mufassir menanggapi tafsiran ayat di atas dengan beragam komentar. Di antaranya, ada yang menafsirkan kata "Al-Kautsar" sebagai nama telaga khusus yang kelak diberikan terhadap umat Nabi Muhammad di surga kelak atau boleh jadi sebelum mereka memasuki surga.

"Telaga itu panjangnya dari Kota Makkah ini hingga ke Omman. Jumlah gelasnya sebanyak bintang di langit. Warna airnya lebih putih dari susu dan rasanya lebih manis dari madu. Siapa yang meminumnya tidak akan pernah merasakan haus lagi selamanya." Demikian hadits Nabi terkait telaga Al-Kautsar itu.

Sementara itu, ada lagi para ulama tafsir yang menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan kata "Al-Kautsar" di sana adalah keturunan yang banyak. Tafsiran tampaknya lebih tepat jika dikorelasikan dengan konteks akhir ayat yang berbicara tentang kasus "Al-Abtar" sebagai sebuah bantahan dan pembelaan langsung dari Allah terhadap kekasih-Nya Muhammad صلى الله عليه وسلم.

Seakan ayat ini sedemikian cepat dan tegasnya menjawab tuduhan keji orang-orang Musyrikin Makkah dengan menyatakan bahwa Sungguh Allah telah memberikan kamu anak keturunan dzuriat yang banyak lagi tidak terputus hingga hari kiamat kelak.

[ ]

Fakta sejarahnya yang tercatat saja bahwa pernikahan antara putri Rasulullah صلى الله عليه وسلم dengan Sayyidina Ali bin Abi Thalib kemudian melahirkan Sayyidina Hasan dan Husein. Dari Sayyidina Hasan melahirkan jutaan anak keturunan yang kemudian dikenal dengan gelar "Sayyid" atau "Syarif" atau cukup dikenal dengan gelar "Al-Hasani" saja.

Begitu juga dari keturunan Sayyidina Husein pun melahirkan jutaan anak keturunan yang juga biasa dipanggil "As-Sayyid", atau di Indonesia lebih akrab dijuluki "Habib". Para Habaib (jamak dari Habib) keturunan Nabi ini biasanya bermarga Alaydrus, Asseqaf, Al-Athas, Al-Habsyi, As-Shihab, Jamalullail, Al-Jufry, Baraqwan dan masih banyak lainnya. Mereka datang dari Yaman (Hadhramaut).

Kembali ke ayat terakhir, justru bukan sekadar bantahan atas celaan dan tuduhan tidak adil itu, bahkan sekaligus sebagai ancaman bahwa bagi siapa pun itu, baik bagi mereka yang hidup pada masa hidup Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم atau sesudah wafatnya, kini hingga hari kiamat, jika ada yang mengatakan Nabi Muhammad terputus keturunannya atau ungkapan yang menarasikan tidak ada lagi keturunan Nabi Muhammad, maka jelas dialah yang termasuk yang dikecam dalam ayat ini.

Bagi kelompok pembenci Habaib atau keturunan Rasulullah -dengan alasan apa pun itu- yang menyatakan Dzurriyah Rasulullah itu tidak ada lagi atau mereka perlu melakukan pembuktian DNA demi membuktikan keabsahan pengakuan mereka, patut disayangkan. Jangan sampai Allah memutuskan rahmat-Nya karena kebencian terhadap para Dzurriyah Nabi. Semoga Allah memberi taufik kepada kita agar senantiasa memuliakan para Dzurriyah Nabi dan ulama.

(Baca Juga: Gelar Habib dan Sejarahnya di Indonesia)
(rhs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3860 seconds (0.1#10.140)