Cari Duit Lewat Jabatan: Ketika Takhta Dijadikan Sebagai Ilah

Kamis, 28 Januari 2021 - 13:36 WIB
loading...
Cari Duit Lewat Jabatan: Ketika Takhta Dijadikan Sebagai Ilah
Ilustrasi/Ist
A A A
Muhammad Imaduddin Abdulrahim (1931-2008) menyebut " tuhan tandingan " kedua yang paling populer ialah pangkat atau takhta , karena pangkat ini erat sekali hubungannya dengan duit, terutama di negeri-negeri yang sedang berkembang.

Pangkat atau takhta bisa dengan mudah dipakai sebagai alat untuk mendapat duit atau harta, terutama di negeri-negeri di mana kebanyakan rakyatnya masih berwatak "nrimo", karena belum terdidik dan belum cerdas. "Apalagi, kalau di negeri itu kadar kebebasan mengeluarkan pendapat, baik secara lisan maupun tulisan, masih rendah," tuturnya dalam buku Kuliah Tauhid yang diterbitkan oleh Pustaka-Perpustakaan Salman ITB (1980).

Di negeri-negeri yang rakyatnya sudah cerdas, dan kebebasan mengeluarkan pendapat terjamin penuh oleh undang-undang, memang peranan pangkat dan kedudukan tidak mudah, bahkan tidak mungkin dipakai untuk mendapatkan duit/harta.

Oleh karena itu, orang-orang yang ikut aktif di dalam perebutan kedudukan yang bersifat politis di negeri- negeri yang sudah maju ini biasanya orang-orang yang sudah kaya lebih dahulu.

Imaduddin mencontohkan mendiang presiden Kennedy, yang menolak pembayaran gajinya sebagai presiden yang jumlahnya ketika itu 125 ribu dollar setahun, karena ia sudah jutawan sebelum jadi presiden. Ia merebut kedudukan kepresidenan dengan mengalahkan Nixon, ketika itu, karena dorongan rasa patriotiknya, atau mungkin juga demi menjunjung tinggi nama dan kehormatan keluarganya, namun bukan karena menginginkan kekayaan yang mungkin diperoleh dari kepresidenan itu.

Jadi, nyata benar bedanya dengan bekas presiden Marcos dan isterinya Imelda, umpamanya, yang telah menjadi kaya raya akibat kedudukannya, karena itu mereka telah bersikeras terus mempertahankan kedudukan itu, walaupun rakyat sudah menyatakan ketidak-senangan mereka kepadanya.

Hal ini bisa terjadi di negeri Marcos, karena kecerdasan dan kebebasan rakyatnya masih jauh di bawah kecerdasan dan kebebasan rakyat Amerika Serikat.

Contoh-contoh seperti Marcos dan Imelda ini banyak sekali terjadi di negeri-negeri yang sedang berkembang, seperti Tahiti dengan Duvalier-nya, Iran dengan mendiang Syah-nya, dan lain-lain.

Suatu hal yang sangat menarik, menurut Imaduddin, karena berhubungan dengan masalah ini, ialah, bahwa Al-Qur'an sudah mengajarkan kepada para Muslim yang benar-benar bertauhid (beriman) agar mereka memilih pemimpin, selain Allah dan Rasul-Nya, hanyalah "orang-orang yang beriman, yang mendirikan salat dan membayarkan zakat seraya tundak hanya kepada Allah."

Ayat selengkapnya berbunyi:

إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ

"Sungguh, pemimpinmu (yang sejati) hanyalah Allah dan Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan membayarkan zakat, seraya tunduk (patuh kepada Allah)." (QS Maidah :55)

Bukankah yang diwajibkan membayar zakat ini ialah orang yang kaya, atau paling tidak orang yang sudah berkecukupan. Orang yang miskin, dan karena itu tidak mampu membayarkan zakat, walaupun sudah ta'at melakukan sembahyang, belum memenuhi syarat untuk dipilih sebagai pemimpin.

Akan terlalu berat baginya mengatasi keinginan melepaskan diri dari tekanan kemiskinan itu, sehingga mungkin ia akan lebih mudah tergoda untuk memperkaya dirinya dahulu, sebelum atau sambil menjalankan tugasnya sebagai pemimpin itu.

"Sungguh, sangat tinggi hikmah yang terkandung di dalam ayat ini, terutama mengenai masalah memilih atau menentukan pemimpin. Sangat sayang, bahwa kebanyakan ummat Islam pada saat ini belum sempat mencapai tingkat kecerdasan yang memadai untuk memahami dan menghayati kandungan ayat suci ini," tutur Imaduddin.

Oleh karena itu, katanya lagi, ummat ini belum juga berhasil memilih pemimpin mereka sesuai dengan kandungan ajaran Allah ini. Akibatnya, ummat Islam belum mampu mencapai tingkat kemerdekaan (tauhid) yang minimal menurut standar yang dikehendaki al-Qur'an.

"Benar juga kiranya, jika ada yang mengatakan, bahwa al-Qur'an masih terlalu tinggi bagi kebanyakan ummat Islam pada masa ini," ujarnya.

Dengan perkataan lain, ummat Islam pada masa ini masih terlalu rendah mutunya, sehingga belum pantas untuk menerima al-Qur'an yang mulia itu.

Oleh karena itu, Imaduddin mengatakan, kita tak perlu heran jika nilai-nilai dasar dan pokok yang diajarkan di dalam al-Qur'an masih lebih mudah terlihat dipraktikkan di negeri-negeri, yang justru mayoritas penduduknya resmi belum beragama Islam. (Bersambung)

(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2940 seconds (0.1#10.140)