Taubat di Bulan Ramadhan: Masih Ada Waktu Sedikit Lagi
loading...
A
A
A
DALAM kitab Thahârah al-Qulûb wa al-Khudlû’ li ‘Allâm al-Ghuyûb, di bab “fî al-Isti’ânah wa Dzikr Ramadhân”, Sayyid Abdul Aziz al-Darani (w. 697 H) menyebut bulan Ramadhan adalah saatnya inabah ( tobat ). "Wahai hamba-hamba yang lalai dari kebenaran, padahal telah dibukakan pintunya. Bersiaplah kalian untuk diterima, karena sekarang (Ramadhan) adalah waktunya pengijabahan (dikabulkan). Adam, ayah kalian, menangis karena satu dosa selama tiga ratus tahun (maka ambillah pelajaran wahai orang-orang yang mempunyai mata [QS. Al-Hasyr: 2]).”
“Wahai hamba-hamba yang melakukan dosa , waspadalah atas ketergelinciran. Sebab, (sebuah kesalahan) bisa membuat orang yang mencintai mengatakan: (inilah perpisahan antara aku dan kau [QS. Al-Kahf: 78]). Bencana terbesar adalah perjalanan kendaraan menuju negeri Sang Kekasih (Allah yang Maha Mencintai) sementara dalam perjalanan mereka telah menyia-nyiakan waktu.”
Wahai orang yang dahulu punya hati yang sehat lantas sakit. Ingatlah kesalahanmu! Dulu, alangkah bagusnya hatimu dan begitu jernihnya minumanmu, maka perbanyaklah kesedihan atas musibah. Tidak ada alasan lagi bagimu kini selain menetapi pintu dokter (penyembuh). Jika kau tidak dapat berobat, menangislah! Karena tangisan adalah modal manusia yang fakir.” (Baca Juga: Sambut Ramadhan, Bersihkan Diri dengan Salat Taubat, Begini Caranya
Sayyid Abdul Aziz al-Darani menyarankan untuk bergegas, jangan sampai penyia-nyian itu menghasilkan ungkapan dalam al-Qur’an (QS Al-Kahfi: 78), “hadza firâq bainî wa bainik—inilah perpisahan antara aku dan kau.”
Selanjutnya beliau mengingatkan bahwa manusia pada mulanya “fitrah” atau suci. Rasullullah bersabda, “kullu mauludin yuladu ‘ala al-fitrah—setiap kelahiran dilahirkan dalam keadaan suci.” Kemudian, dengan melakukan maksiat dan dosa, hati yang semula sehat berubah sakit.
Dengan sisa bulan Ramadhan yang tinggal beberapa hari lagi, masih belum terlambat untuk memulainya sekarang. Di bulan maghfirah (ampunan) dan ijabah (pengabulan) ini, akan sangat rugi jika kita hanya berdiam diri tanpa menuju atau berusaha untuk menggapai ampunan dan ridha-Nya. Dan tobat adalah tangga pertama untuk memulainya. Lalu, bagaimana cara dan ciri-ciri tobat yang benar?
Sayyid Abdul Aziz al-Darani menggambarkan tobat yang benar dengan kalimat sebagai berikut:
والتوبة الصادقة تقطع آثار الذنب, إذا صدق التائب أنسي الله تعالي الملائكة ذنوبه وأنسي بقاع الأرض عيوبه ومحا من أم الكتاب زلاته ويحاسبه يوم القيامة عليها
“Tobat yang benar adalah memutus bekas pengaruh-pengaruh dosa. Jika benar tobat seseorang, Allah akan membuat malaikat lupa akan dosa-dosanya dan membuat penduduk bumi lupa akan aib-aibnya. Allah akan menghapus kesalahan/dosa-dosanya dari umm al-kitab dan menghisabnya secara langsung di hari kiamat kelak.”
Sederhananya, tobat yang benar adalah usaha sungguh-sungguh dalam memutus rantai kesalahan sekaligus bekas-bekasnya, dan membersihkan pengaruh-pengaruh yang ditimbulkan dari kesalahan-kesalahan itu. Jika kesalahan itu berkaitan dengan orang lain, dia harus meminta maaf dengan sungguh-sungguh agar orang itu memaafkannya.
Inilah alasan kenapa dalam ciri-ciri benarnya tobat seseorang ditandai dengan “Allah menjadikan para malaikat lupa akan dosa-dosanya dan menjadikan penduduk bumi lupa akan aib-aibnya.” Sebab, jika seseorang sungguh-sungguh bertobat, dia akan menyelesaikan dua tanggungannya sekaligus. (Baca Juga: Kisah Tobat Pembunuh 100 Orang yang Bikin Malaikat Berselisih
Pertama, tanggungannya kepada Allah, dan kedua, tanggungannya kepada makhluk-makhluk Allah. Tanggungan kepada Allah relatif mudah dilakukan, karena ampunan Allah jauh lebih besar dari murkaNya. Pintu tobatnya selalu terbuka untuk hamba-hamba-Nya yang membutuhkan, bahkan yang telah bermaksiat berulang kali sekalipun.
Taubat Nasuha
Tobat yang diperintahkan agar dilakukan oleh kaum mu'minin adalah tobat nasuha (yang semurni-murninya) seperti disebut dalam Al Quran:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ تُوبُوٓا۟ إِلَى ٱللَّهِ تَوْبَةً نَّصُوحًا
"Hai orang-orang yang beriman, bertobatlah kepada Allah dengan tobat yang semurni-murninya." (QS at-Tahrim: 8)
Kemudian apa makna tobat nasuha itu? Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata dalam kitab tafsirnya: "artinya adalah, tobat yang sebenarnya dan sepenuh hati, akan menghapus keburukan-keburukan yang dilakukan sebelumnya, mengembalikan keaslian jiwa orang yang bertobat, serta menghapus keburukan-keburukan yang dilakukannya."
Sedangkan nasuha, menurut Syaikh Yusuf Qardhawy dalam at Tobat Ila Allah, adalah redaksi hiperbolik dari kata nashiih. Seperti kata syakuur dan shabuur, sebagai bentuk hiperbolik dari syakir dan shabir. Dan terma "n-sh-h" dalam bahasa Arab bermakna: bersih.
Dikatakan dalam bahasa Arab: "nashaha al 'asal" jika madu itu murni, tidak mengandung campuran. "Sedangkan kesungguhan dalam bertobat adalah seperti kesungguhan dalam beribadah," tuturnya.
Dan dalam bermusyawarah, an-nush itu bermakna: membersihkannya dari penipuan, kekurangan dan kerusakan, dan menjaganya dalam kondisi yang paling sempurna. An nush-h (asli) adalah lawan kata al-gisysy-(palsu).
Ibnu Jarir, Ibnu Katsir dan Ibnu Qayyim menyebutkan dari Umar, Ibnu Mas'ud serta Ubay bin Ka'b r.a. bahwa pengertian tobat nasuha: adalah seseorang yang bertobat dari dosanya dan ia tidak melakukan dosa itu lagi, seperti susu tidak kembali ke payudara hewan.
Allah menyukai orang-orang yang bertobat. Imam Nawawi al-Bantani dalam Nashaih al-Ibad, menuliskan sebuah hadis riwayat Abu Abbas. "Allah lebih senang pada tobatnya seorang hamba yang bertobat melebihi senangnya orang haus yang menemukan air, atau orang mandul yang memiliki anak, atau senangnya orang yang kehilangan barang lalu menemukannya. Maka, barang siapa yang bertobat kepada Allah dengan tobat nasuha, Allah akan membuat lupa para malaikat yang menjaganya, anggota tubuhnya, serta bumi yang dipijaknya atas dosa dan kesalahan yang telah dia lakukan."
Lantas, apa yang dimaksud dengan tobat nasuha? Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur'an al-'Azhim menjelaskan, tobat nasuha, yaitu tobat yang jujur, yang didasari atas tekad yang kuat, yang menghapus kejelekan-kejelekan di masa silam, yang menghimpun dan mengentaskan pelakunya dari kehinaan. (Baca Juga: 3 Syarat Agar Tobat Diterima Allah Ta'ala
Dalam kitab Riyadh as-Shalihin dijelaskan, jika kemaksiatan itu menyangkut urusan seorang hamba dengan Allah saja, tidak ada hubungannya dengan hak manusia, tobatnya harus memenuhi tiga syarat.
Pertama, hendaklah berhenti melakukan maksiat.
Kedua, menyesal karena telah melakukan kemaksiatan.
Ketiga, berniat tidak akan kembali mengulangi perbuatan maksiat itu untuk selama-lamanya.
Apabila tobatnya berkenaan dengan hubungan sesama manusia, tiga syarat tersebut ditambah satu lagi. Orang yang bertobat itu harus meminta kehalalan dari orang yang diambil hak-haknya atau dizalimi.
Rasulullah mengajarkan kita mengiringi keburukan dengan kebaikan, niscaya dengan kebaikan itu akan gugur tiap-tiap keburukan. Karena, seperti sabda Nabi dari Abdullah bin Umar, "Sesungguhnya Allah menerima tobat hamba selama ruhnya belum sampai di kerongkongan."
Manusia tak akan pernah bisa lepas dari cahaya Allah, segelap apa pun lakon hidupnya. Dalam bahasa Chairil Anwar, dia terlafaz, Tuhanku/di pintu-Mu aku mengetuk/aku tak bisa berpaling.
Tobat Menurut Al Ghazali
Tobat seperti dijelaskan oleh Imam Ghazali dalam kitabnya "Ihya ulumuddin" adalah sebuah makna yang terdiri dari tiga unsur: ilmu, hal dan amal. Ilmu adalah unsur yang pertama, kemudian yang kedua hal, dan ketiga amal. ( )
Ia berkata: yang pertama mewajibkan yang kedua, dan yang kedua mewajibkan yang ketiga. Berlangsung sesuai dengan hukum (ketentuan) Allah SWT yang berlangsung dalam kerajaan dan malakut-Nya.
Sedangkan ilmu adalah, mengetahui besarnya bahaya dosa, dan ia adalah penghalang antara hamba dan seluruh yang ia senangi. Jika ia telah mengetahui itu dengan yakin dan sepenuh hati, pengetahuannya itu akan berpengaruh dalam hatinya dan ia merasakan kepedihan karena kehilangan yang dia cintai. Karena hati, ketika ia merasakan hilangnya yang dia cintai, ia akan merasakan kepedihan, dan jika kehilangan itu diakibatkan oleh perbuatannya, niscaya ia akan menyesali perbuatannya itu. Dan perasaan pedih kehilangan yang dia cintai itu dinamakan penyesalan.
Menurut Al-Ghazali, jika perasaan pedih itu demikian kuat berpengaruh dalam hatinya dan menguasai hatinya, maka perasaan itu akan mendorong timbulnya perasaan lain, yaitu tekad dan kemauan untuk mengerjakan apa yang seharusnya pada saat ini, kemarin dan akan datang.
Tindakan yang ia lakukan saat ini adalah meninggalkan dosa yang menyelimutinya, dan terhadap masa depannya adalah dengan bertekad untuk meninggalkan dosa yang mengakibatkannya kehilangan yang dia cintai hingga sepanjang masa. Sedangkan masa lalunya adalah dengan menebus apa yang ia lakukan sebelumnya, jika dapat ditebus, atau menggantinya.
Yang pertama adalah ilmu. Al-Ghazali menyebut, dialah pangkal pertama seluruh kebaikan ini. "Yang aku maksudkan dengan ilmu ini adalah keimanan dan keyakinan. Karena iman bermakna pembenaran bahwa dosa adalah racun yang menghancurkan. Sedangkan yakin adalah penegasan pembenaran ini, tidak meragukannya serta memenuhi hatinya. Maka cahaya iman dalam hati ini ketika bersinar akan membuahkan api penyesalan, sehingga hati merasakan kepedihan.
Karena dengan cahaya iman itu ia dapat melihat bahwa saat ini, karena dosanya itu, ia terhalang dari yang dia cintai. Seperti orang yang diterangi cahaya matahari, ketika ia berada dalam kegelapan, maka cahaya itu menghilangkan penghalang penglihatannya sehingga ia dapat melihat yang dia cintai. Dan ketika ia menyadari ia hampir binasa, maka cahaya cinta dalam hatinya bergejolak, dan api ini membangkitkan kekuatannya untuk menyelamatkan dirinya serta mengejar yang dia cintai itu".
Al-Ghazali menjelaskan, ilmu dan penyesalan, serta tekad untuk meninggalkan perbuatan dosa saat ini dan masa akan datang, serta berusaha menutupi perbuatan masa lalu mempunyai tiga makna yang berkaitan dengan pencapaiannya itu. Secara keseluruhan dinamakan tobat.
"Banyak pula tobat itu disebut dengan makna penyesalan saja. Ilmu akan dosa itu dijadikan sebagai permulaan, sedangkan meninggalkan perbuatan dosa itu sebagai buah dan konsekwensi dari ilmu itu," tuturnya.
Dari itu dapat dipahami sabda Rasulullah Saw: "Penyesalan adalah tobat" (Hafizh al 'Iraqi dalam takhrij hadits-hadits Ihya Ulumuddin berkata: hadis ini ditakhrijkan oleh Ibnu Majah, Ibnu Hibban, dan al Hakim. Serta ia mensahihkan sanadnya dari hadits Ibnu Mas'ud. Dan diriwayakan pula oleh Ibnu Hibban dan Al Hakim dari hadits Anas r.a. dan ia berkata: hadis ini sahih atas syarat Bukhari dan Muslim), karena penyesalan itu dapat terjadi dari ilmu yang mewajibkan serta membuahkan penyesalan itu, dan tekad untuk meninggalkan dosa sebagai konsekwensinya. Maka penyesalan itu dipelihara dengan dua cabangnya, yaitu buahnya dan apa yang membuahkannya."
“Wahai hamba-hamba yang melakukan dosa , waspadalah atas ketergelinciran. Sebab, (sebuah kesalahan) bisa membuat orang yang mencintai mengatakan: (inilah perpisahan antara aku dan kau [QS. Al-Kahf: 78]). Bencana terbesar adalah perjalanan kendaraan menuju negeri Sang Kekasih (Allah yang Maha Mencintai) sementara dalam perjalanan mereka telah menyia-nyiakan waktu.”
Wahai orang yang dahulu punya hati yang sehat lantas sakit. Ingatlah kesalahanmu! Dulu, alangkah bagusnya hatimu dan begitu jernihnya minumanmu, maka perbanyaklah kesedihan atas musibah. Tidak ada alasan lagi bagimu kini selain menetapi pintu dokter (penyembuh). Jika kau tidak dapat berobat, menangislah! Karena tangisan adalah modal manusia yang fakir.” (Baca Juga: Sambut Ramadhan, Bersihkan Diri dengan Salat Taubat, Begini Caranya
Sayyid Abdul Aziz al-Darani menyarankan untuk bergegas, jangan sampai penyia-nyian itu menghasilkan ungkapan dalam al-Qur’an (QS Al-Kahfi: 78), “hadza firâq bainî wa bainik—inilah perpisahan antara aku dan kau.”
Selanjutnya beliau mengingatkan bahwa manusia pada mulanya “fitrah” atau suci. Rasullullah bersabda, “kullu mauludin yuladu ‘ala al-fitrah—setiap kelahiran dilahirkan dalam keadaan suci.” Kemudian, dengan melakukan maksiat dan dosa, hati yang semula sehat berubah sakit.
Dengan sisa bulan Ramadhan yang tinggal beberapa hari lagi, masih belum terlambat untuk memulainya sekarang. Di bulan maghfirah (ampunan) dan ijabah (pengabulan) ini, akan sangat rugi jika kita hanya berdiam diri tanpa menuju atau berusaha untuk menggapai ampunan dan ridha-Nya. Dan tobat adalah tangga pertama untuk memulainya. Lalu, bagaimana cara dan ciri-ciri tobat yang benar?
Sayyid Abdul Aziz al-Darani menggambarkan tobat yang benar dengan kalimat sebagai berikut:
والتوبة الصادقة تقطع آثار الذنب, إذا صدق التائب أنسي الله تعالي الملائكة ذنوبه وأنسي بقاع الأرض عيوبه ومحا من أم الكتاب زلاته ويحاسبه يوم القيامة عليها
“Tobat yang benar adalah memutus bekas pengaruh-pengaruh dosa. Jika benar tobat seseorang, Allah akan membuat malaikat lupa akan dosa-dosanya dan membuat penduduk bumi lupa akan aib-aibnya. Allah akan menghapus kesalahan/dosa-dosanya dari umm al-kitab dan menghisabnya secara langsung di hari kiamat kelak.”
Sederhananya, tobat yang benar adalah usaha sungguh-sungguh dalam memutus rantai kesalahan sekaligus bekas-bekasnya, dan membersihkan pengaruh-pengaruh yang ditimbulkan dari kesalahan-kesalahan itu. Jika kesalahan itu berkaitan dengan orang lain, dia harus meminta maaf dengan sungguh-sungguh agar orang itu memaafkannya.
Inilah alasan kenapa dalam ciri-ciri benarnya tobat seseorang ditandai dengan “Allah menjadikan para malaikat lupa akan dosa-dosanya dan menjadikan penduduk bumi lupa akan aib-aibnya.” Sebab, jika seseorang sungguh-sungguh bertobat, dia akan menyelesaikan dua tanggungannya sekaligus. (Baca Juga: Kisah Tobat Pembunuh 100 Orang yang Bikin Malaikat Berselisih
Pertama, tanggungannya kepada Allah, dan kedua, tanggungannya kepada makhluk-makhluk Allah. Tanggungan kepada Allah relatif mudah dilakukan, karena ampunan Allah jauh lebih besar dari murkaNya. Pintu tobatnya selalu terbuka untuk hamba-hamba-Nya yang membutuhkan, bahkan yang telah bermaksiat berulang kali sekalipun.
Taubat Nasuha
Tobat yang diperintahkan agar dilakukan oleh kaum mu'minin adalah tobat nasuha (yang semurni-murninya) seperti disebut dalam Al Quran:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ تُوبُوٓا۟ إِلَى ٱللَّهِ تَوْبَةً نَّصُوحًا
"Hai orang-orang yang beriman, bertobatlah kepada Allah dengan tobat yang semurni-murninya." (QS at-Tahrim: 8)
Kemudian apa makna tobat nasuha itu? Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata dalam kitab tafsirnya: "artinya adalah, tobat yang sebenarnya dan sepenuh hati, akan menghapus keburukan-keburukan yang dilakukan sebelumnya, mengembalikan keaslian jiwa orang yang bertobat, serta menghapus keburukan-keburukan yang dilakukannya."
Sedangkan nasuha, menurut Syaikh Yusuf Qardhawy dalam at Tobat Ila Allah, adalah redaksi hiperbolik dari kata nashiih. Seperti kata syakuur dan shabuur, sebagai bentuk hiperbolik dari syakir dan shabir. Dan terma "n-sh-h" dalam bahasa Arab bermakna: bersih.
Dikatakan dalam bahasa Arab: "nashaha al 'asal" jika madu itu murni, tidak mengandung campuran. "Sedangkan kesungguhan dalam bertobat adalah seperti kesungguhan dalam beribadah," tuturnya.
Dan dalam bermusyawarah, an-nush itu bermakna: membersihkannya dari penipuan, kekurangan dan kerusakan, dan menjaganya dalam kondisi yang paling sempurna. An nush-h (asli) adalah lawan kata al-gisysy-(palsu).
Ibnu Jarir, Ibnu Katsir dan Ibnu Qayyim menyebutkan dari Umar, Ibnu Mas'ud serta Ubay bin Ka'b r.a. bahwa pengertian tobat nasuha: adalah seseorang yang bertobat dari dosanya dan ia tidak melakukan dosa itu lagi, seperti susu tidak kembali ke payudara hewan.
Allah menyukai orang-orang yang bertobat. Imam Nawawi al-Bantani dalam Nashaih al-Ibad, menuliskan sebuah hadis riwayat Abu Abbas. "Allah lebih senang pada tobatnya seorang hamba yang bertobat melebihi senangnya orang haus yang menemukan air, atau orang mandul yang memiliki anak, atau senangnya orang yang kehilangan barang lalu menemukannya. Maka, barang siapa yang bertobat kepada Allah dengan tobat nasuha, Allah akan membuat lupa para malaikat yang menjaganya, anggota tubuhnya, serta bumi yang dipijaknya atas dosa dan kesalahan yang telah dia lakukan."
Lantas, apa yang dimaksud dengan tobat nasuha? Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur'an al-'Azhim menjelaskan, tobat nasuha, yaitu tobat yang jujur, yang didasari atas tekad yang kuat, yang menghapus kejelekan-kejelekan di masa silam, yang menghimpun dan mengentaskan pelakunya dari kehinaan. (Baca Juga: 3 Syarat Agar Tobat Diterima Allah Ta'ala
Dalam kitab Riyadh as-Shalihin dijelaskan, jika kemaksiatan itu menyangkut urusan seorang hamba dengan Allah saja, tidak ada hubungannya dengan hak manusia, tobatnya harus memenuhi tiga syarat.
Pertama, hendaklah berhenti melakukan maksiat.
Kedua, menyesal karena telah melakukan kemaksiatan.
Ketiga, berniat tidak akan kembali mengulangi perbuatan maksiat itu untuk selama-lamanya.
Apabila tobatnya berkenaan dengan hubungan sesama manusia, tiga syarat tersebut ditambah satu lagi. Orang yang bertobat itu harus meminta kehalalan dari orang yang diambil hak-haknya atau dizalimi.
Rasulullah mengajarkan kita mengiringi keburukan dengan kebaikan, niscaya dengan kebaikan itu akan gugur tiap-tiap keburukan. Karena, seperti sabda Nabi dari Abdullah bin Umar, "Sesungguhnya Allah menerima tobat hamba selama ruhnya belum sampai di kerongkongan."
Manusia tak akan pernah bisa lepas dari cahaya Allah, segelap apa pun lakon hidupnya. Dalam bahasa Chairil Anwar, dia terlafaz, Tuhanku/di pintu-Mu aku mengetuk/aku tak bisa berpaling.
Tobat Menurut Al Ghazali
Tobat seperti dijelaskan oleh Imam Ghazali dalam kitabnya "Ihya ulumuddin" adalah sebuah makna yang terdiri dari tiga unsur: ilmu, hal dan amal. Ilmu adalah unsur yang pertama, kemudian yang kedua hal, dan ketiga amal. ( )
Ia berkata: yang pertama mewajibkan yang kedua, dan yang kedua mewajibkan yang ketiga. Berlangsung sesuai dengan hukum (ketentuan) Allah SWT yang berlangsung dalam kerajaan dan malakut-Nya.
Sedangkan ilmu adalah, mengetahui besarnya bahaya dosa, dan ia adalah penghalang antara hamba dan seluruh yang ia senangi. Jika ia telah mengetahui itu dengan yakin dan sepenuh hati, pengetahuannya itu akan berpengaruh dalam hatinya dan ia merasakan kepedihan karena kehilangan yang dia cintai. Karena hati, ketika ia merasakan hilangnya yang dia cintai, ia akan merasakan kepedihan, dan jika kehilangan itu diakibatkan oleh perbuatannya, niscaya ia akan menyesali perbuatannya itu. Dan perasaan pedih kehilangan yang dia cintai itu dinamakan penyesalan.
Menurut Al-Ghazali, jika perasaan pedih itu demikian kuat berpengaruh dalam hatinya dan menguasai hatinya, maka perasaan itu akan mendorong timbulnya perasaan lain, yaitu tekad dan kemauan untuk mengerjakan apa yang seharusnya pada saat ini, kemarin dan akan datang.
Tindakan yang ia lakukan saat ini adalah meninggalkan dosa yang menyelimutinya, dan terhadap masa depannya adalah dengan bertekad untuk meninggalkan dosa yang mengakibatkannya kehilangan yang dia cintai hingga sepanjang masa. Sedangkan masa lalunya adalah dengan menebus apa yang ia lakukan sebelumnya, jika dapat ditebus, atau menggantinya.
Yang pertama adalah ilmu. Al-Ghazali menyebut, dialah pangkal pertama seluruh kebaikan ini. "Yang aku maksudkan dengan ilmu ini adalah keimanan dan keyakinan. Karena iman bermakna pembenaran bahwa dosa adalah racun yang menghancurkan. Sedangkan yakin adalah penegasan pembenaran ini, tidak meragukannya serta memenuhi hatinya. Maka cahaya iman dalam hati ini ketika bersinar akan membuahkan api penyesalan, sehingga hati merasakan kepedihan.
Karena dengan cahaya iman itu ia dapat melihat bahwa saat ini, karena dosanya itu, ia terhalang dari yang dia cintai. Seperti orang yang diterangi cahaya matahari, ketika ia berada dalam kegelapan, maka cahaya itu menghilangkan penghalang penglihatannya sehingga ia dapat melihat yang dia cintai. Dan ketika ia menyadari ia hampir binasa, maka cahaya cinta dalam hatinya bergejolak, dan api ini membangkitkan kekuatannya untuk menyelamatkan dirinya serta mengejar yang dia cintai itu".
Al-Ghazali menjelaskan, ilmu dan penyesalan, serta tekad untuk meninggalkan perbuatan dosa saat ini dan masa akan datang, serta berusaha menutupi perbuatan masa lalu mempunyai tiga makna yang berkaitan dengan pencapaiannya itu. Secara keseluruhan dinamakan tobat.
"Banyak pula tobat itu disebut dengan makna penyesalan saja. Ilmu akan dosa itu dijadikan sebagai permulaan, sedangkan meninggalkan perbuatan dosa itu sebagai buah dan konsekwensi dari ilmu itu," tuturnya.
Dari itu dapat dipahami sabda Rasulullah Saw: "Penyesalan adalah tobat" (Hafizh al 'Iraqi dalam takhrij hadits-hadits Ihya Ulumuddin berkata: hadis ini ditakhrijkan oleh Ibnu Majah, Ibnu Hibban, dan al Hakim. Serta ia mensahihkan sanadnya dari hadits Ibnu Mas'ud. Dan diriwayakan pula oleh Ibnu Hibban dan Al Hakim dari hadits Anas r.a. dan ia berkata: hadis ini sahih atas syarat Bukhari dan Muslim), karena penyesalan itu dapat terjadi dari ilmu yang mewajibkan serta membuahkan penyesalan itu, dan tekad untuk meninggalkan dosa sebagai konsekwensinya. Maka penyesalan itu dipelihara dengan dua cabangnya, yaitu buahnya dan apa yang membuahkannya."
(mhy)