Sayyidah Hafshah, Istri Rasulullah yang Sempat Dapat Talak Satu

Senin, 18 Mei 2020 - 03:31 WIB
loading...
Sayyidah Hafshah, Istri Rasulullah yang Sempat Dapat Talak Satu
Sayyidah Hafshah meninggal pada usia 63 tahun, tepatnya pada masa pemerintahan Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu. Foto/Ilustrasi/Ist
A A A
SAYYIDAH Hafshah adalah putri dari sahabat Umar Bin Khatab Radhiallahu anhu (ra). Beliau memiliki kepribadian yang kuat seperti sang ayah. Selain itu, beliau juga seorang wanita yang pandai dalam hal membaca dan menulis, meskipun pada waktu itu kemampuan tersebut belum lazim dimiliki oleh kaum wanita.

Suaminya, Khunais bin Khudzafah As-Sahmi sahid pada Perang Badar , pada sekitar 2-3 Hijriyah. Sayyidah Hafshah disebut sebagai Shawwamah (wanita rajin puasa) dan qawwamah (wanita rajin salat malam). ( Baca juga: Mengenal 313 Pejuang Terbaik Ahlul Badar, Siapa Saja Mereka? )

Khunais ibn Hudzafah ibn Qais ibn ‘Adi as-Sahmi al-Qurasyi adalah sahabat Nabi yang mengalami dua kali hijrah, ke Habasyah dan Madinah, dan sahid dalam Perang Badar. ( )

Ia meninggalkan Sayyidah Hafshah menjadi janda muda yang bertakwa. Saat menjanda, Sayyidah Hafshah masih sangat belia, belum genap berusia delapan belas tahun.

Setelah Khunais meninggal dunia, Sayyidah Hafshah dipulangkan ke rumah bapaknya, Umar bin Khattab. Hal ini membuat Umar bin Khattab iba, susah, dan semakin menderita. Secara ekonomi, pada saat itu Umar bin Khattab dalam keadaan susah. Kehadiran Hafshah di rumahnya sudah barang tentu menambah beban beratnya. Sementara secara sosial, Umar bin Khattab sedih melihat putrinya hidup menjanda.

Setelah berpikir panjang, Umar memutuskan untuk mencarikan seorang suami yang akan menjadi penggugah keceriaan bagi putrinya sehingga putrinya itu bisa menemukan kembali kedamaian kembali seperti dulu.

Beberapa saat kemudian, Umar ibn Khaththab memutuskan untuk memilih Abu Bakar ash-Shiddiq , orang yang paling dicintai Rasulullah . Dengan sifat toleran, sederhana, dan teguh yang dimiliki, Abu Bakar cukup pantas untuk menjadi pelindung bagi Hafshah.

Umar ibn Khaththab tidak merasa ragu dengan pilihan yang diilhamkan oleh Allah. Saat itu juga, ia pun pergi menemui Abu Bakar ash-Shiddiq untuk bercerita tentang Hashah dan cobaan yang dialaminya menjadi seorang janda muda.
Abu Bakar ash-Shiddiq mendengar cerita Umar dengan penuh perasaan dan simpati. Oleh karena itu, Umar segera menawarkan putrinya untuk dinikahi Abu Bakar. Ia yakin bahwa Abu Bakar tidak akan ragu untuk menerima perempuan muda yang bertakwa.

Namun ternyata Abu Bakar hanya terdiam dan tidak menjawab sepatah kata pun. Alhasil, Umar ibn Khaththab pergi meninggalkan Abu Bakar dengan lunglai menghadapi kondisi yang terjadi. Ia hampir tidak percaya bahwa Abu Bakar menolak untuk menikahi Hafshah yang ditawarkan oleh ayahnya sendiri.

Umar ibn Khaththab kemudian pergi menuju kediaman Utsman ibn Affan yang istrinya, Ruqayyah binti Muhammad, juga telah meninggal dunia karena menderita penyakit campak setelah kaum Mukminin mendapat kemenangan gemilang dalam Perang Badar.( )

Umar ibn Khaththab bercerita mengenai keadaanya kepada Utsman ibn Affan sebelum menawarkan putrinya, Hafshah, dengan perasaan yang masih teriris oleh penolakan Abu Bakar untuk menikahi putrinya itu.

Utsman meminta untuk diberi waktu dalam beberapa hari. Lalu beberapa hari kemudian, Utsman mendatangi Umar dan berkata, “Saat ini aku belum ingin menikah.”

Duka dan kesedihan Umar semakin mendalam karena penolakan Utsman. Umar tertekan karena ditolak kedua sahabatnya itu. Padahal keduanya adalah sahabat karib yang sama-sama mengetahui kedudukan Umar. Oleh karena itu, Umar merasa sedih dan terpukul kemudian pergi menghadap kepada Rasulullah untuk mengadukan nasibnya dan bagaimana sikap Abu Bakar dan Utsman ibn Affan terhadap tawarannya untuk menikahi putrinya.

Rasulullah tersenyum kemudian bersabda, “Hafshah akan menikah dengan orang yang lebih baik daripada Abu Bakar dan Utsman sementara Utsman akan menikah dengan wanita yang lebih baik daripada Hafshah.”

Dengan hati yang dicekam oleh perasaan kaget, Umar ibn Khathab mengulang-ulang sabda Nabi Muhammad SAW, “Hafshah akan menikah dengan orang yang lebih baik daripada Utsman.”



Akankah Nabi menikahi putriku, Hafshah? tanya Umar di dalam hatinya. Sejatinya penolakan tak selalu berakhir kepedihan. Allah selalu menyediakan jawaban yang lebih baik.

Wajah Umar menjadi ceria karena kehormatan besar itu. Kesedihan yang dirasakan pun mendadak hilang.
Ia bergegas pulang untuk menyampaikan kabar gembira itu kepada siapa saja yang ia inginkan. Abu Bakar adalah orang pertama yang ia temui. Begitu melihat wajah Umar, Abu Bakar segera mengetahui mengapa Umar begitu riang dan bahagia.

Abu Bakar mengulurkan tangan untuk mengucapkan selamat sekaligus meminta maaf. Ia berkata, “Janganlah engkau marah kepadaku wahai Umar karena Rasulullah pernah menyebut Hafshah, tetapi aku tidak mau menyebarkan rahasia Rasulullah. Andai beliau meninggalkan Hafshah, aku pasti menikahinya."

Pada bulan Sya’ban tahun ke-3 H seluruh kota Madinah memberkahi pernikahan Nabi dengan Hafshah binti Umar ibn Khaththab. (Baca Juga: Masya Allah, Mahar Nabi Kepada Khadijah Ternyata Rp1,3 Miliar
Dalam Bilik-bilik Cinta Muhammad (Nizar Abazhah dalam, 2018) dan Membaca Sirah Nabi Muhammad SAW (M Quraish Shihab, 2018) disebutkan bahwa alasan Nabi Muhammad menikahi Sayyidah Hafshah adalah untuk memperhatikan keluarga sahabatnya, baik Umar bin Khattab maupun Khunais bi Hudzafah yang gugur di medan perang.

Demikianlah, Sayyidah Hafshah bergabung dengan para istri Rasulullah dan Ummahatul Mukminin yang suci.
Beberapa istri Rasulullah yang tinggal dalam rumah beliau saat itu adalah Sayyidah Saudah dan Sayyidah Aisyah. Ketika madu-madu berdatangan ke rumah Rasulullah,

Sayyidah Hafshah berkelompok dengan Aisyah karena ia memandang Aisyah sebagai madu yang paling dekat dengan dirinya dan yang paling layak untuk bergabung bersamanya sambil selalu mengikuti ucapan sang ayah, Umar ibn Khaththab kepadanya: “Apa artinya dirimu dibandingan dengan Aisyah dan apa artinya ayahmu dibandingkan dengan ayah Aisyah.”(Baca Juga: Ibu Kaum Mukmin, Gus Baha: Kita Berutang Banyak kepada Sayyidah Aisyah
Suatu hari Umar ibn Kaththab mendengar bahwa putrinya membantah Rasulullah hingga beliau lewati sepanjang hari dengan sangat marah. Saat itu juga ia segera pergi ke kediaman Rasulullah untuk menemui Hafshah dan menanyakan kebenaran kabar yang ia dengar itu.

Hafshah menjawab bahwa kabar itu memang benar maka Umar pun menegurnya, “Kamu tahu bahwa aku telah mengingatkanmu terhadap siksa Allah dan kemarahan Rasul-Nya. Wahai putriku, janganlah engkau tertipu oleh seseorang yang kecantikannya lebih dikagumi dan dicintai oleh Rasulullah. Demi Allah, engkau sudah tau bahwa Rasulullah tidaklah mencintaimu dan andai bukan karena aku, pastilah beliau sudah menceraikanmu.”

Sayyidah Hafshah adalah perempuan yang percaya diri dan berani. Ia melihat bahwa tidak satu pun dari para madunya yang bisa menandingi kedudukannya. Demikian pula suaminya, Rasulullah tidak akan merasa sakit dengan sikapnya yang sesekali menentang.

Dalam hadis al-Hudaibiyah dan Bai’at ar-Ridhwan, Ibnu Sa’d meriwayatkan bahwa Rasulullah—di sisi Hafshah r.a.—mengingat para sahabat yang membai’atnya di bawah pohon Hudaibiyah.

Rasulullah bersabda, “Insya Allah, tidak akan masuk neraka para ashab asy-syajarah yang berbai’at di bawahnya.” Hafshah menyahut, “Benar wahai Rasulullah.” Rasulullah pun membentaknya kemudian turunlah ayat Alquran yang mulia:

وَإِنْ مِنْكُمْ إِلَّا وَارِدُهَا ۚ كَانَ عَلَىٰ رَبِّكَ حَتْمًا مَقْضِيًّا

Dan tidak ada seorangpun dari padamu, melainkan mendatangi neraka itu. Hal itu bagi Tuhanmu adalah suatu kemestian yang sudah ditetapkan. (Surat Maryam Ayat 71)

Rasulullah s.a.w. menjawab, “Allah SWT telah berfirman,

ثُمَّ نُنَجِّي الَّذِينَ اتَّقَوْا وَنَذَرُ الظَّالِمِينَ فِيهَا جِثِيًّا

Kemudian Kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertakwa dan membiarkan orang-orang yang zalim di dalam neraka dalam keadaan berlutut. (Surat Maryam Ayat 72)

Rasulullah berusaha menolong Hafshah sedapat mungkin. Bagi beliau, sikap yang ditunjukkan oleh Hafshah itu tidak lain sifat seorang perempuan yang menuntut kasih sayang dan sifat turunan dari sang ayah, yakni sahabat termulia Umar ibn Khaththab.

Talak Satu
Pada suatu hari Rasulullah berdua di rumah Sayyidah Hafshah dengan Mariyah Al-Qibtiyah. Mariyah atau Maria adalah seorang wanita asal Mesir yang dihadiahkan oleh Muqauqis, penguasa Mesir, kepada Rasulullah tahun 7 H. Setelah dimerdekakan lalu dinikahi oleh Rasulullah dan mendapat seorang putra bernama Ibrahim. ( )

Hal ini rupanya membuat Sayyidah Hafshah cemburu berat. Ketika Mariyah pergi, Sayyidah Hafshah menemui Rasulullah dan berkata, “Aku telah melihat siapa orang yang bersamaku. Sungguh engkau telah menghardikku dan engkau tidak akan melakukan hal itu andai bukan karena rendahnya diriku bagimu!”

Kata-kata Hafshah ini sangat menyakitkan bagi Rasulullah. Namun, dengan sifat pemaaf dan logikanya, Rasulullah mendekat dan meminta ridha Sayyidah Hafshah sambil mengatakan, dengan suara lirih, bahwa Mariyah adalah haram untuk Nabi.

Setelah itu, Rasulullah berpesan agar Hafshah tidak menceritakan kepada siapa pun tentang hal yang terjadi tersebut dan menganggapnya tidak pernah terjadi.

Sementara Muhammad Husain Haekal dalam buku “Sejarah Hidup Muhammad” dalam menceritakan kasus ini menyebut ketika peristiwa itu terjadi Sayyidah Hafshah sedang pergi mengunjungi ayahnya dan bercakap-cakap di sana, Maria datang kepada Nabi tatkala ia sedang di rumah Hafshah dan agak lama.

Bila kemudian Sayyidah Hafshah kembali pulang dan mengetahui ada Maria di rumahnya, ia menunggu keluarnya Maria dengan rasa cemburu yang sudah meluap. Makin lama ia menunggu, cemburunya pun makin menjadi. Bilamana kemudian Maria keluar, Hafshah masuk menjumpai Nabi.

"Saya sudah melihat siapa yang dengan kau tadi," kata Hafshah. "Engkau sungguh telah menghinaku. Engkau tidak akan berbuat begitu kalau tidak kedudukanku yang rendah dalam pandanganmu."

Rasulullah segera menyadari bahwa rasa cemburulah yang telah mendorong Hafshah menyatakan apa yang telah disaksikannya itu serta membicarakannya kembali dengan Aisyah atau isteri-isterinya yang lain.

Dengan maksud hendak menyenangkan perasaan Sayyidah Hafshah, ia bermaksud hendak bersumpah mengharamkan Maria buat dirinya kalau Hafshah tidak akan menceritakan apa yang telah disaksikannya itu.

Sayyidah Hafshah berjanji akan melaksanakan. Tetapi rasa cemburu sudah begitu berkecamuk dalam hati, sehingga dia tidak lagi sanggup menyimpan apa yang ada dalam hatinya, dan ia pun menceritakan lagi hal itu kepada Sayyidah Aisyah.

Sayyidah Aisyah memberi kesan kepada Nabi bahwa Sayyidah Hafshah tidak lagi dapat menyimpan rahasia. Barangkali masalahnya tidak hanya terhenti pada Sayyidah Hafshah dan pada Sayyidah Aisyah saja dari kalangan isteri Nabi. Barangkali mereka semua - yang sudah melihat bagaimana Nabi mengangkat kedudukan Maria - telah pula mengikuti Hafshah dan Aisyah ketika kedua mereka ini berterang-terang kepada Nabi sehubungan dengan Maria ini, meskipun cerita demikian sebenarnya tidak lebih daripada suatu kejadian biasa antara seorang suami dengan isterinya, atau antara seorang laki-laki dengan hamba sahaya yang sudah dihalalkan.

Akhirnya, Allah menurunkan ayat-ayat Alquran,

إِنْ تَتُوبَا إِلَى اللَّهِ فَقَدْ صَغَتْ قُلُوبُكُمَا ۖ وَإِنْ تَظَاهَرَا عَلَيْهِ فَإِنَّ اللَّهَ هُوَ مَوْلَاهُ وَجِبْرِيلُ وَصَالِحُ الْمُؤْمِنِينَ ۖ وَالْمَلَائِكَةُ بَعْدَ ذَٰلِكَ ظَهِيرٌ

Jika kamu berdua bertaubat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan); dan jika kamu berdua bantu-membantu menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah Pelindungnya dan (begitu pula) Jibril dan orang-orang mukmin yang baik; dan selain dari itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula. (Surat At-Tahrim Ayat 4)

Cerita tentang pengharaman Nabi terhadap Mariyah atas diri beliau sendiri dan bagaimana Sayyidah Hafshah membuka rahasia itu kepada Sayyidah Aisyah lalu mereka berdua memprotes Rasulullah adalah sesuatu perkara yang banyak dibicarakan dalam kitab-kitab fikih dan tafsir tentang sebab turunnya surat At-Tahrim.

Perbuatan yang dilakukan oleh Sayyidah Hafshah ini telah menyalakan api dalam sekam tanpa disadari dan di luar kemampuannya. Hal itulah yang telah mendorong Rasulullah untuk menceraikan Sayyidah Hafshah dengan talak satu sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Hajar, tetapi beliau kemudian merujuk Sayyidah Hafshah kembali.

Hal itu beliau lakukan sebagai bentuk kasih sayang kepada Umar ibn Khathab yang beliau pernah menumpahkan debu di kepalanya sambil bersabda, “Setelah ini, semoga Allah tidak memberatkan Umar dan putrinya.”

Malaikat Jibril juga turun kepada Rasulullah dan mengatakan, “Sesungguhnya, Allah memerintahkanmu untuk merujuk Hafshah sebagai kasih sayang kepada Umar r.a.”

Dalam beberapa riwayat yang lain juga disebutkan bahwa Jibril turun kepada Muhammad dan mengatakan, “Rujuklah Hafshah karena ia adalah wanita yang ahli puasa dan qiyamullail. Ia dalah istrimu di surga.”

Setelah itu, Sayyidah Hafshah menyadari betapa buruk perbuatan yang meyebabkan kemuraman dan kepedihan di hati Rasulullah karena ia telah menyebarkan rahasia beliau.

Namun hati Sayyidah Hafshah kembali damai, tenang, dan tentram setelah Rasulullah memaafkannya. Selanjutnya, ia kembali hidup dengan sang suami yang mulia sebagai istri yang baik di hadapan suaminya.

Dalam kitab Al-Ishabah, Ibnu Hajar, menuturkan bahwa Umar ibn Khaththab r.a. menemui putrinya yang sedang menangis kemudian berkata, “Apakah Rasulullah telah menceraikanmu? Sungguh beliau telah menceraikanmu satu kali lalu merujukmu kembali karena aku. Jika beliau menceraikanmu lagi, aku tidak akan berbicara kepadamu selamanya.”

Ketika Rasulullah berpulang ke rahmatullah dan digantikan oleh Abu Bakar ash-Shiddiq sebagai khalifah selanjutnya, Hafshah-lah yang dipilih di antara semua Ummahatul Mukminin—padahal, di antara mereka ada Aisyah r.a.—untuk menyimpan mushaf al-Qur’an al-Karim yang dikumpulkan dari para sahabat r.a. Ini menunjukkan tingginya derajat Hafshah.

Keputusan Abu Bakar ini tepat sebab Sayyidah Hafshah telah ditetapkan Allah sebagai penulis pertama dan satu-satunya naskah Al-Qur’an di bawah pengawasan langsung Nabi Muhammad. Atas dasar itulah, Sayyidah Hafshah diberi gelar ‘Penjaga Al-Qur’an.’

Dia menuliskan naskah Al-Qur’an pada sejumlah media, di antaranya batu, tulang, kulit, papan, pelepah kurma, dan lainnya. Naskah Hafshah ini tersimpan dengan baik dan rapi. Hingga suatu ketika, ada upaya pengodifikasi Al-Qur’an pada masa kekhalifahan Abu Bakar. Naskah Al-Qur’an Hafshah tersebut kemudian diminta. Zaid bin Tsabit yang saat itu ditugaskan sebagai pantia kodifikasi Al-Qur’an mengonfrontasi hafalan para sahabat dengan naskah Hafshah.

Hafshah menjalani kehidupan rumah tangga bersama Rasulullah SAW selama 8 tahun. Ketika usianya menginjak 29 tahun, Rasulullah wafat.

Hafshah meninggal pada usia 63 tahun, tepatnya pada masa pemerintahan Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu, yaitu tahun 45 H di Madinah, dan jenazahnya dimakamkan di Baqi’. ( )
(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1361 seconds (0.1#10.140)