Begini Hukuman Bagi Suami Istri yang Jimak di Siang Ramadhan

Senin, 04 April 2022 - 13:16 WIB
loading...
A A A
"(Mereka berdoa): “Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami bersalah”. [Al Baqarah : 286].

Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

إِنَّ اللَّهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ

“Sesungguhnya Allah mengampuni dari umatku, kesalahan, kelupaan dan keterpaksaan”. [HR Ibnu Majah].

Juga dengan hadis:

مَنْ أَفْطَرَ فِيْ شَهْرِ رَمَضَانَ نَاسِيًا فَلاَ قَضَاء عَلَيْهِ وَلاَ كَفَّارَة

“Siapa yang berbuka di bulan Ramadhan karena lupa, maka tidak ada kewajiban mengqadha dan tidak ada kewajiban kafarat”. [HR Ibnu Hibban; Ad Daraquthni, 2/178 dan Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya, no. 1990]

Menurut Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, sebagian ulama Syafi’iyah berpendapat tidak wajibnya mengqadha bagi orang yang berjima’ ini diambil dari keumuman sabda Rasulullah SAW dalam sebagian riwayat hadis berbunyi: مَنْ أَفْطَرَ فِيْ شَهْرِ رَمَضَانَ, karena berbuka lebih umum dari sekadar makan, minum atau jima’ saja.

Serta qiyas (analogi) pada hukum orang yang lupa makan dan minum pada siang Ramadhan. sebagaimana pandangan Ibnu Al Mulaqin.

Menurutnya, jima’ (berhubungan suami istri) pada siang hari pada bulan Ramadhan karena lupa, sama seperti makan karena lupa. Ini adalah pendapat para sahabat kami (madzhab Syafi’iyah).

Hal ini ditunjukkan oleh hadis di atas: Barangsiapa yang berbuka di bulan Ramadhan karena lupa, maka tidak ada kewajiban mengqadha dan tidak ada kewajiban kafarat. Karena, jika kita berpendapat puasanya sah, maka tidak ada kafarat.



Membayar Kafarat
Selanjutnya, dari hadis di atas ada kewajiban membayar kafarat bagi orang yang mempergauli istrinya pada siang hari bulan Ramadhan.

Imam An Nawawi dalam Syarhu Muslim menyatakan, mazhab kami dan mazhab para ulama menyatakan wajibnya kafarat atasnya, jika berjima’ dengan sengaja.

Begitu pula Imam Taqiyuddin Ibnu Daqiq Al ‘Id menyatakan, mayoritas umat Islam berpendapat wajibnya kafarat dengan sebab merusakkan puasa dengan jima’ secara sengaja, dan sebagian orang menukilkan pendapat, bahwa kafarat tidak wajib dan ini pendapat yang syadz (aneh).

Kafarat (denda)nya adalah melakukan salah satu dari tiga jenis yang telah ditentukan tersebut, yaitu membebaskan budak, berpuasa dua bulan berturut-turut dan memberi makan enam puluh orang miskin.

Para ulama berselisih, apakah pilihannya harus urut ataukah tidak? Maksudnya pilihan pertama yaitu membebaskan budak. Bila tidak mampu, maka pilihan kedua puasa dua bulan berturut-turut. Dan kalau tidak mampu juga, kemudian pilihan ketiga, yaitu memberi makan enam puluh orang miskin, atau bebas memilih satu di antara tiga itu.

Ibnu Al Mulaqqin menyatakan, dalam hadis ini terdapat kewajiban membebaskan budak, kemudian berpuasa, kemudian memberi makan, secara tertib (berurutan) tidak diberi hak memilih salah satunya.

Ini merupakan pendapat mayoritas ulama, berbeda dengan yang ditulis dalam kitab Al Mudawanah. Menurut Ibnu Daqiqi Al ‘Id, dalil kewajiban tertib urut (dalam kafarat ini) adalah tertib urut dalam pertanyaan Nabi. Pernyataan Beliau pertama kali, apakah kamu bisa mendapati budak untuk dimerdekakan? Kemudian diurutkan dengan puasa setelah membebaskan budak, kemudian memberi makan setelah puasa.

Sedangkan Ibnu Hajar menyatakan, pendapat wajibnya tertib urut dikuatkan juga dengan kenyataan, jika hal ini lebih hati-hati, karena mengamalkannya (secara tertib) itu sah, baik kita berpendapat boleh memilih salah satunya atau tidak boleh.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2619 seconds (0.1#10.140)