Begini Hukuman Bagi Suami Istri yang Jimak di Siang Ramadhan
loading...
A
A
A
SUATU ketika, Abu Hurairah ra duduk-duduk bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (SAW) sebagaimana kebiasaan mereka untuk belajar dan bergaul dengan Beliau. Dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba datang seseorang yang mengaku telah celaka dengan sebab dosa yang dilakukannya disertai keinginan untuk terbebas dari dosa tersebut, sembari berkata “Wahai Rasulullah, aku telah celaka”.
Rasulullah SAW pun bertanya sebabnya. Orang itupun menjawab, bahwa ia telah menggauli istrinya di siang hari bulan Ramadhan dalam keadaan puasa.
Rasulullah SAW tidak memarahinya karena ia datang untuk bertobat, ingin lepas dari perbuatan dosanya.
Kemudian Rasulullah SAW memberikan bimbingan dengan bertanya kepadanya, apakah ia bisa mendapatkan budak untuk dimerdekakan sebagai kafarat?
Laki-laki itu menjawab, tidak bisa. Kemudian beliau bertanya lagi, apakah ia mampu berpuasa dua bulan penuh berturut-turut?
Ia menjawab, tidak bisa juga.
Kemudian Rasulullah pindah ke marhalah (tingkatan) ketiga yang akhir dengan menyatakan, dapatkah ia memberi makan 60 orang miskin?
Orang itupun menjawab, tidak bisa juga. Kemudian ia duduk dan Nabi SAW berdiam diri, hingga datang seorang Anshar membawa sekeranjang berisi kurma. Lalu Nabi SAW menyatakan kepada orang tersebut, ambillah dan bershadaqahlah dengannya, sebagai kafarat (tebusan) yang wajib ia keluarkan.
Namun, karena kefakiran orang ini dan pengetahuannya tentang kedermawanan dan kecintaan Nabi SAW pada umatnya, orang tersebut malah menginginkannya sambil berkata: Adakah orang yang lebih fakir dariku? Dan ia bersumpah, bahwa di antara dua ujung Madinah, tidak ada keluarga yang lebih fakir dari keluarganya.
Kemudian Rasulullah SAW tertawa karena ta’ajub (heran) dengan keadaan orang ini yang datang dalam keadaan takut ingin lepas dari dosanya, lalu ketika mendapatkannya berbalik menginginkan harta tersebut. Lalu beliau mengizinkankanya untuk memberi makan keluarganya, karena memenuhi kebutuhan tersebut didahulukan dari kafarat.
Kisah tersebut disampaikan Syaikh Ibnu Utsaimin dalam menjelaskan hadis dari Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu yang berbunyi:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوسٌ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ جَاءَهُ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلَكْتُ قَالَ مَا لَكَ قَالَ وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِي وَأَنَا صَائِمٌ وَ فِيْ رِوَايَةٍ أَصَبْتُ أَهْلِيْ فِيْ رَمَضَانَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَلْ تَجِدُ رَقَبَةً تُعْتِقُهَا قَالَ لَا قَالَ فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ قَالَ لَا فَقَالَ فَهَلْ تَجِدُ إِطْعَامَ سِتِّينَ مِسْكِينًا قَالَ لَا قَالَ فَمَكَثَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَيْنَا نَحْنُ عَلَى ذَلِكَ أُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَقٍ فِيهَا تَمْرٌ- وَالْعَرَقُ الْمِكْتَلُ- قَالَ أَيْنَ السَّائِلُ فَقَالَ أَنَا قَالَ خُذْهَا فَتَصَدَّقْ بِهِ فَقَالَ الرَّجُلُ عَلَى أَفْقَرَ مِنِّي يَا رَسُولَ اللَّهِ فَوَاللَّهِ مَا بَيْنَ لَابَتَيْهَا -يُرِيدُ الْحَرَّتَيْنِ -أَهْلُ بَيْتٍ أَفْقَرُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِي فَضَحِكَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ ثُمَّ قَالَ أَطْعِمْهُ أَهْلَكَ
Hadis tersebut menjelaskan tentang besarnya dosa orang berpuasa yang melakukan hubungan suami istri di siang Ramadhan. Selain itu, juga membatalkan puasa. Hal ini juga ditunjukkan oleh firman Allah, yang artinya :
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu, mereka itu adalah pakaian, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasannya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam. “[ Al Baqarah : 187 ].
Hukum ini telah menjadi kesepakatan dan ijma’ ulama kaum Muslimin sebagaimana dinukil oleh Ibnu Al Mundzir, Ibnu Qudamah, Ibnu Hazm dan Ibnu Taimiyyah.
Ibnu Hazm dalam Maratib Al Ijma’ menyatakan, kaum Muslimin sepakat (ijma’), bahwa minum dan jima’ (mengauli istri), jika dilakukan pada siang hari dengan sengaja dan ia ingat sedang berpuasa, maka puasanya batal.
Sedangkan bila menggauli istrinya dalam keadaan lupa, bahwa ia sedang berpuasa atau lupa di hari Ramadhan, maka ini tidak membatalkan puasa dan tidak terkena kafarat, sebagaimana pendapat jumhur ulama (mayoritas ulama). Pendapat ini berdalil kepada keumuman firman Allah:
رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَآإِن نَّسِينَآ أَوْ أَخْطَأْنَا “
"(Mereka berdoa): “Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami bersalah”. [Al Baqarah : 286].
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
إِنَّ اللَّهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ
“Sesungguhnya Allah mengampuni dari umatku, kesalahan, kelupaan dan keterpaksaan”. [HR Ibnu Majah].
Juga dengan hadis:
مَنْ أَفْطَرَ فِيْ شَهْرِ رَمَضَانَ نَاسِيًا فَلاَ قَضَاء عَلَيْهِ وَلاَ كَفَّارَة
“Siapa yang berbuka di bulan Ramadhan karena lupa, maka tidak ada kewajiban mengqadha dan tidak ada kewajiban kafarat”. [HR Ibnu Hibban; Ad Daraquthni, 2/178 dan Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya, no. 1990]
Menurut Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, sebagian ulama Syafi’iyah berpendapat tidak wajibnya mengqadha bagi orang yang berjima’ ini diambil dari keumuman sabda Rasulullah SAW dalam sebagian riwayat hadis berbunyi: مَنْ أَفْطَرَ فِيْ شَهْرِ رَمَضَانَ, karena berbuka lebih umum dari sekadar makan, minum atau jima’ saja.
Serta qiyas (analogi) pada hukum orang yang lupa makan dan minum pada siang Ramadhan. sebagaimana pandangan Ibnu Al Mulaqin.
Menurutnya, jima’ (berhubungan suami istri) pada siang hari pada bulan Ramadhan karena lupa, sama seperti makan karena lupa. Ini adalah pendapat para sahabat kami (madzhab Syafi’iyah).
Hal ini ditunjukkan oleh hadis di atas: Barangsiapa yang berbuka di bulan Ramadhan karena lupa, maka tidak ada kewajiban mengqadha dan tidak ada kewajiban kafarat. Karena, jika kita berpendapat puasanya sah, maka tidak ada kafarat.
Membayar Kafarat
Selanjutnya, dari hadis di atas ada kewajiban membayar kafarat bagi orang yang mempergauli istrinya pada siang hari bulan Ramadhan.
Imam An Nawawi dalam Syarhu Muslim menyatakan, mazhab kami dan mazhab para ulama menyatakan wajibnya kafarat atasnya, jika berjima’ dengan sengaja.
Begitu pula Imam Taqiyuddin Ibnu Daqiq Al ‘Id menyatakan, mayoritas umat Islam berpendapat wajibnya kafarat dengan sebab merusakkan puasa dengan jima’ secara sengaja, dan sebagian orang menukilkan pendapat, bahwa kafarat tidak wajib dan ini pendapat yang syadz (aneh).
Kafarat (denda)nya adalah melakukan salah satu dari tiga jenis yang telah ditentukan tersebut, yaitu membebaskan budak, berpuasa dua bulan berturut-turut dan memberi makan enam puluh orang miskin.
Para ulama berselisih, apakah pilihannya harus urut ataukah tidak? Maksudnya pilihan pertama yaitu membebaskan budak. Bila tidak mampu, maka pilihan kedua puasa dua bulan berturut-turut. Dan kalau tidak mampu juga, kemudian pilihan ketiga, yaitu memberi makan enam puluh orang miskin, atau bebas memilih satu di antara tiga itu.
Ibnu Al Mulaqqin menyatakan, dalam hadis ini terdapat kewajiban membebaskan budak, kemudian berpuasa, kemudian memberi makan, secara tertib (berurutan) tidak diberi hak memilih salah satunya.
Ini merupakan pendapat mayoritas ulama, berbeda dengan yang ditulis dalam kitab Al Mudawanah. Menurut Ibnu Daqiqi Al ‘Id, dalil kewajiban tertib urut (dalam kafarat ini) adalah tertib urut dalam pertanyaan Nabi. Pernyataan Beliau pertama kali, apakah kamu bisa mendapati budak untuk dimerdekakan? Kemudian diurutkan dengan puasa setelah membebaskan budak, kemudian memberi makan setelah puasa.
Sedangkan Ibnu Hajar menyatakan, pendapat wajibnya tertib urut dikuatkan juga dengan kenyataan, jika hal ini lebih hati-hati, karena mengamalkannya (secara tertib) itu sah, baik kita berpendapat boleh memilih salah satunya atau tidak boleh.
Pendapat terakhir inilah yang dirajihkan (dikuatkan) oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin.
Lebih jauh lagi, hadis ini juga memberi pelajaran bagi kita tentang kemudahan syariat Islam yang memperhatikan keadaan mukallaf (orang yang sudah terkena beban syariat) dan tidak pernah membebani dengan sesuatu di luar kemampuannya.
Rasulullah SAW pun bertanya sebabnya. Orang itupun menjawab, bahwa ia telah menggauli istrinya di siang hari bulan Ramadhan dalam keadaan puasa.
Rasulullah SAW tidak memarahinya karena ia datang untuk bertobat, ingin lepas dari perbuatan dosanya.
Kemudian Rasulullah SAW memberikan bimbingan dengan bertanya kepadanya, apakah ia bisa mendapatkan budak untuk dimerdekakan sebagai kafarat?
Laki-laki itu menjawab, tidak bisa. Kemudian beliau bertanya lagi, apakah ia mampu berpuasa dua bulan penuh berturut-turut?
Ia menjawab, tidak bisa juga.
Kemudian Rasulullah pindah ke marhalah (tingkatan) ketiga yang akhir dengan menyatakan, dapatkah ia memberi makan 60 orang miskin?
Orang itupun menjawab, tidak bisa juga. Kemudian ia duduk dan Nabi SAW berdiam diri, hingga datang seorang Anshar membawa sekeranjang berisi kurma. Lalu Nabi SAW menyatakan kepada orang tersebut, ambillah dan bershadaqahlah dengannya, sebagai kafarat (tebusan) yang wajib ia keluarkan.
Namun, karena kefakiran orang ini dan pengetahuannya tentang kedermawanan dan kecintaan Nabi SAW pada umatnya, orang tersebut malah menginginkannya sambil berkata: Adakah orang yang lebih fakir dariku? Dan ia bersumpah, bahwa di antara dua ujung Madinah, tidak ada keluarga yang lebih fakir dari keluarganya.
Kemudian Rasulullah SAW tertawa karena ta’ajub (heran) dengan keadaan orang ini yang datang dalam keadaan takut ingin lepas dari dosanya, lalu ketika mendapatkannya berbalik menginginkan harta tersebut. Lalu beliau mengizinkankanya untuk memberi makan keluarganya, karena memenuhi kebutuhan tersebut didahulukan dari kafarat.
Kisah tersebut disampaikan Syaikh Ibnu Utsaimin dalam menjelaskan hadis dari Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu yang berbunyi:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوسٌ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ جَاءَهُ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلَكْتُ قَالَ مَا لَكَ قَالَ وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِي وَأَنَا صَائِمٌ وَ فِيْ رِوَايَةٍ أَصَبْتُ أَهْلِيْ فِيْ رَمَضَانَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَلْ تَجِدُ رَقَبَةً تُعْتِقُهَا قَالَ لَا قَالَ فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ قَالَ لَا فَقَالَ فَهَلْ تَجِدُ إِطْعَامَ سِتِّينَ مِسْكِينًا قَالَ لَا قَالَ فَمَكَثَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَيْنَا نَحْنُ عَلَى ذَلِكَ أُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَقٍ فِيهَا تَمْرٌ- وَالْعَرَقُ الْمِكْتَلُ- قَالَ أَيْنَ السَّائِلُ فَقَالَ أَنَا قَالَ خُذْهَا فَتَصَدَّقْ بِهِ فَقَالَ الرَّجُلُ عَلَى أَفْقَرَ مِنِّي يَا رَسُولَ اللَّهِ فَوَاللَّهِ مَا بَيْنَ لَابَتَيْهَا -يُرِيدُ الْحَرَّتَيْنِ -أَهْلُ بَيْتٍ أَفْقَرُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِي فَضَحِكَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ ثُمَّ قَالَ أَطْعِمْهُ أَهْلَكَ
Hadis tersebut menjelaskan tentang besarnya dosa orang berpuasa yang melakukan hubungan suami istri di siang Ramadhan. Selain itu, juga membatalkan puasa. Hal ini juga ditunjukkan oleh firman Allah, yang artinya :
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu, mereka itu adalah pakaian, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasannya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam. “[ Al Baqarah : 187 ].
Hukum ini telah menjadi kesepakatan dan ijma’ ulama kaum Muslimin sebagaimana dinukil oleh Ibnu Al Mundzir, Ibnu Qudamah, Ibnu Hazm dan Ibnu Taimiyyah.
Ibnu Hazm dalam Maratib Al Ijma’ menyatakan, kaum Muslimin sepakat (ijma’), bahwa minum dan jima’ (mengauli istri), jika dilakukan pada siang hari dengan sengaja dan ia ingat sedang berpuasa, maka puasanya batal.
Sedangkan bila menggauli istrinya dalam keadaan lupa, bahwa ia sedang berpuasa atau lupa di hari Ramadhan, maka ini tidak membatalkan puasa dan tidak terkena kafarat, sebagaimana pendapat jumhur ulama (mayoritas ulama). Pendapat ini berdalil kepada keumuman firman Allah:
رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَآإِن نَّسِينَآ أَوْ أَخْطَأْنَا “
"(Mereka berdoa): “Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami bersalah”. [Al Baqarah : 286].
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
إِنَّ اللَّهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ
“Sesungguhnya Allah mengampuni dari umatku, kesalahan, kelupaan dan keterpaksaan”. [HR Ibnu Majah].
Juga dengan hadis:
مَنْ أَفْطَرَ فِيْ شَهْرِ رَمَضَانَ نَاسِيًا فَلاَ قَضَاء عَلَيْهِ وَلاَ كَفَّارَة
“Siapa yang berbuka di bulan Ramadhan karena lupa, maka tidak ada kewajiban mengqadha dan tidak ada kewajiban kafarat”. [HR Ibnu Hibban; Ad Daraquthni, 2/178 dan Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya, no. 1990]
Menurut Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, sebagian ulama Syafi’iyah berpendapat tidak wajibnya mengqadha bagi orang yang berjima’ ini diambil dari keumuman sabda Rasulullah SAW dalam sebagian riwayat hadis berbunyi: مَنْ أَفْطَرَ فِيْ شَهْرِ رَمَضَانَ, karena berbuka lebih umum dari sekadar makan, minum atau jima’ saja.
Serta qiyas (analogi) pada hukum orang yang lupa makan dan minum pada siang Ramadhan. sebagaimana pandangan Ibnu Al Mulaqin.
Menurutnya, jima’ (berhubungan suami istri) pada siang hari pada bulan Ramadhan karena lupa, sama seperti makan karena lupa. Ini adalah pendapat para sahabat kami (madzhab Syafi’iyah).
Hal ini ditunjukkan oleh hadis di atas: Barangsiapa yang berbuka di bulan Ramadhan karena lupa, maka tidak ada kewajiban mengqadha dan tidak ada kewajiban kafarat. Karena, jika kita berpendapat puasanya sah, maka tidak ada kafarat.
Membayar Kafarat
Selanjutnya, dari hadis di atas ada kewajiban membayar kafarat bagi orang yang mempergauli istrinya pada siang hari bulan Ramadhan.
Imam An Nawawi dalam Syarhu Muslim menyatakan, mazhab kami dan mazhab para ulama menyatakan wajibnya kafarat atasnya, jika berjima’ dengan sengaja.
Begitu pula Imam Taqiyuddin Ibnu Daqiq Al ‘Id menyatakan, mayoritas umat Islam berpendapat wajibnya kafarat dengan sebab merusakkan puasa dengan jima’ secara sengaja, dan sebagian orang menukilkan pendapat, bahwa kafarat tidak wajib dan ini pendapat yang syadz (aneh).
Kafarat (denda)nya adalah melakukan salah satu dari tiga jenis yang telah ditentukan tersebut, yaitu membebaskan budak, berpuasa dua bulan berturut-turut dan memberi makan enam puluh orang miskin.
Para ulama berselisih, apakah pilihannya harus urut ataukah tidak? Maksudnya pilihan pertama yaitu membebaskan budak. Bila tidak mampu, maka pilihan kedua puasa dua bulan berturut-turut. Dan kalau tidak mampu juga, kemudian pilihan ketiga, yaitu memberi makan enam puluh orang miskin, atau bebas memilih satu di antara tiga itu.
Ibnu Al Mulaqqin menyatakan, dalam hadis ini terdapat kewajiban membebaskan budak, kemudian berpuasa, kemudian memberi makan, secara tertib (berurutan) tidak diberi hak memilih salah satunya.
Ini merupakan pendapat mayoritas ulama, berbeda dengan yang ditulis dalam kitab Al Mudawanah. Menurut Ibnu Daqiqi Al ‘Id, dalil kewajiban tertib urut (dalam kafarat ini) adalah tertib urut dalam pertanyaan Nabi. Pernyataan Beliau pertama kali, apakah kamu bisa mendapati budak untuk dimerdekakan? Kemudian diurutkan dengan puasa setelah membebaskan budak, kemudian memberi makan setelah puasa.
Sedangkan Ibnu Hajar menyatakan, pendapat wajibnya tertib urut dikuatkan juga dengan kenyataan, jika hal ini lebih hati-hati, karena mengamalkannya (secara tertib) itu sah, baik kita berpendapat boleh memilih salah satunya atau tidak boleh.
Pendapat terakhir inilah yang dirajihkan (dikuatkan) oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin.
Lebih jauh lagi, hadis ini juga memberi pelajaran bagi kita tentang kemudahan syariat Islam yang memperhatikan keadaan mukallaf (orang yang sudah terkena beban syariat) dan tidak pernah membebani dengan sesuatu di luar kemampuannya.
(mhy)