Tak Semua Musafir Dapat Meninggalkan Kewajiban Puasa Ramadhan

Rabu, 30 Maret 2022 - 16:24 WIB
loading...
Tak Semua Musafir Dapat Meninggalkan Kewajiban Puasa Ramadhan
Tak semua musafir dapat meninggalkan puasa. Foto/ilustrasi: Ist
A A A
Musafir yang melakukan perjalanan jauh mendapatkan keringanan untuk mengqoshor sholat, juga dibolehkan untuk tidak berpuasa di bulan Ramadhan .

Allah Ta’ala berfirman:

وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ[


Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” ( QS Al Baqarah : 185)



Musafir mendapatkan keringanan itu jika dalam kondisi berat untuk berpuasa. Dalil dari hal ini dapat kita lihat dalam hadits Jabir bin ‘Abdillah. Jabir mengatakan,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فِى سَفَرٍ ، فَرَأَى زِحَامًا ، وَرَجُلاً قَدْ ظُلِّلَ عَلَيْهِ ، فَقَالَ « مَا هَذَا » . فَقَالُوا صَائِمٌ . فَقَالَ « لَيْسَ مِنَ الْبِرِّ الصَّوْمُ فِى السَّفَرِ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika bersafar melihat orang yang berdesak-desakan. Lalu ada seseorang yang diberi naungan. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Siapa ini?” Orang-orang pun mengatakan, “Ini adalah orang yang sedang berpuasa.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukanlah suatu yang baik jika seseorang berpuasa ketika dia bersafar”

Dari Abu Darda’, beliau berkata,

خَرَجْنَا مَعَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فِى بَعْضِ أَسْفَارِهِ فِى يَوْمٍ حَارٍّ حَتَّى يَضَعَ الرَّجُلُ يَدَهُ عَلَى رَأْسِهِ مِنْ شِدَّةِ الْحَرِّ ، وَمَا فِينَا صَائِمٌ إِلاَّ مَا كَانَ مِنَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – وَابْنِ رَوَاحَةَ

“Kami pernah keluar bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di beberapa safarnya pada hari yang cukup terik. Sehingga ketika itu orang-orang meletakkan tangannya di kepalanya karena cuaca yang begitu panas. Di antara kami tidak ada yang berpuasa. Hanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja dan Ibnu Rowahah yang berpuasa ketika itu.”

Apabila tidak terlalu menyulitkan ketika safar, maka puasa itu lebih baik karena lebih cepat terlepasnya kewajiban. Begitu pula hal ini lebih mudah dilakukan karena berpuasa dengan orang banyak itu lebih menyenangkan daripada mengqodho’ puasa sendiri sedangkan orang-orang tidak berpuasa.



Kelompok Musafir
Hanya saja, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dalam kitabnya berjudul Fushul fi Shiyam membagi dua kelompok bagi musafir. Kelompok pertama, orang yang melakukan safar (perjalanan jauh) dengan tujuan supaya terlepas dari kewajiban melaksanakan puasa.

Menurut dia, orang tersebut tidak diperbolehkan meninggalkan puasa, karena telah melakukan tipu daya untuk menghindar dari kewajiban. Hal tersebut tidaklah menyebabkan kewajiban tersebut gugur.

Kelompok kedua, menurut Syaikh Utsaimin, orang yang melakukan safar bukan karena tujuan di atas. Kelompok ini mempunyai tiga keadaan. Keadaan pertama, puasa tersebut sangat memberatkan orang yang safar. Maka dalam keadaan ini haram hukumnya untuk melaksanakan puasa.

Ketika Nabi SAW dalam perang Fathu Makkah dalam keadaan berpuasa, datanglah berita bahwa para manusia merasa berat dalam berpuasa dan mereka menunggu apa yang akan Nabi SAW kerjakan.

Lalu beliau meminta dibawakan satu wadah berisi air. Setelah waktu ashar meminumnya, sedangkan saat itu para sahabat melihat beliau. Kemudian dikatakan kepada beliau: “Sesungguhnya sebagian manusia tetap berpuasa.”

Lalu beliau bersabda: “Mereka adalah orang-orang yang bermaksiat, mereka itu adalah orang-orang yang bermaksiat.” (HR. Muslim)

Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1643 seconds (0.1#10.140)