Wahsyi bin Harb: Budak Pembunuh Hamzah, Gagak Hitam yang Dibenci Kaum Muslim

Jum'at, 01 Oktober 2021 - 18:46 WIB
loading...
Wahsyi bin Harb: Budak Pembunuh Hamzah, Gagak Hitam yang Dibenci Kaum Muslim
Wahsyi bin Harb, budak yang membunuh paman Nabi SAW, Hamzah bin Abdul Muthalib, lukisan karya Dan Civa (1987). (Sumber: Art Majeur)
A A A
Wahsyi bin Harb adalah budak yang membunuh paman Nabi SAW, Hamzah bin Abdul Muthalib dalam perang Uhud. Wahsyi adalah budak milik Jubair bin Mutham.Pada hari-hari terakhir kehidupannya, Wahsyi merupakan gagak hitam yang selalu dibenci kaum Muslim; dia menjadi pemabuk dan dihukum dua kali karena minum khamar. Namanya dihapus dari daftar tentara.



Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury dalam Sirah Nabawiyah menjelaskan sewaktu Perang Badar , paman Jubair, yaitu Thuaimah bin Adi, tewas terbunuh. Jubair ingin membalas dendam, maka dia berkata kepada Wahsyi, “Jika engkau dapat membunuh Hamzah, paman Muhammad, sebagai pembalasan atas terbunuhnya pamanku, maka engkau menjadi merdeka.”

Wahsyi kemudian mereka bawa untuk dipertemukan dengan Hindun binti Utbah, istri dari Abu Sufyan, untuk digembleng, dididik, dan dihasut mentalnya.

Khalid Muhammad Khalid dalam bukunya berjudul "Karakteristik Perihidup 60 Sahabat Rasulullah" menjelaskan Hindun sendiri memiliki dendam kesumat terhadap Hamzah, sebab, sebagaimana disampaikan orang-orang kepadanya, bahwa ayah (Utbah bin Rabi’ah), paman (Syaibah bin Rabi’ah), saudara (al-Walid bin Utbah), dan putranya (tidak dijelaskan putranya yang mana) telah dibunuh oleh Hamzah dalam Perang Badar.

Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika Hindun sangat membenci Hamzah, dan di antara orang-orang Quraisy lainnya, tidak peduli dia lelaki atau perempuan, Hindun adalah yang paling giat dan keras untuk menghasut orang-orang agar mau berperang. Tujuannya semata adalah agar dapat membunuh Hamzah, berapapun harga yang mesti dia bayar.

Pada awalnya, Hindun meminta Wahsyi untuk membunuh salah satu dari tiga orang, yaitu Rasulullah , Hamzah, atau Ali bin Abi Thalib . Namun Wahsyi menjawabnya, “Aku sama sekali tak dapat mendekati Muhammad, karena para sahabatnya lebih dekat kepadanya ketimbang siapa pun lainnya, sementara Ali amat awas di medan pertempuran.

“Namun, Hamzah terlalu galak sehingga, sementara bertempur, dia tak memperhatikan ke sisi lain, dan mungkin aku dapat menjatuhkannya dengan suatu muslihat atau menyergapnya ketika lengah.”



Janji Hindun binti Utbah
Wahsyi yang merupakan mantan prajurit di negeri asalnya sudah mampu membuat analisis tentang kondisi lawan-lawannya nanti. Maka tercapailah suatu kesepakatan, bahwa yang akan dibunuhnya adalah Hamzah. Hindun sendiri menjanjikan kemerdekaan kepadanya jika misi ini dapat tercapai.

Berhari-hari lamanya Hindun kemudian tidak melakukan pekerjaan lain, kecuali menggembleng dan menghasut Wahsyi serta menumpahkan sumpah serapah dan kebenciannya kepada Hamzah, dan juga merencanakan peranan yang akan dimainkan oleh Wahsyi.

Selain menjanjikan kemerdekaan, dia juga menjanjikan akan memberinya kekayaan dan perhiasan yang paling berharga milik wanita seperti dirinya. Sementara dia berbicara, jari-jarinya yang penuh kebencian memegang anting-anting permata yang bernilai tinggi dan kalung emas yang terlilit pada lehernya.

Lalu dengan kedua matanya yang memancarkan semangat, dia berkata kepada Wahsyi, “Jika engkau dapat membunuh Hamzah, maka semua ini akan menjadi milikmu!”

Bagaimanapun Wahsyi juga menjadi tergiur karenanya, dan angan-angannya pun terbang melayang dipenuhi kerinduan ingin cepat bertemu dengan peperangan yang akan datang itu. Dia membayang-bayangkan bagaimana lembingnya dapat menembus tubuh Hamzah sehingga dia pun tidak menjadi budak lagi.

Begitu pula dia ingin segera memiliki perhiasan-perhiasan yang selama ini menghiasi leher dan jemari istri pemimpin dan putri tokoh Quraisy tersebut.

Hari demi hari terus berjalan, dan waktu peperangan semakin dekat, Washyi pun mempersiapkan dirinya untuk berangkat ke medan perang.



PengakuanWashyi
Di era Khalifah Muawiyah bin Abu Sufyan , Washyi berkisah tentang bagaimana ia membunuh Hamzah bin Abdul Muthalib kepada Ja’far bin Amr bin Umayyah Dhamri dan Abdullah bin Adi bin Khiyar.

Ja'far menyatakan bahwa ketika mereka berdua duduk di hadapan Wahsyi, mereka bertanya, “Kami datang ke sini agar engkau dapat menceritakan kepada kami bagaimana engkau dapat membunuh Hamzah.”

Dia menjawab dengan mengatakan:

Aku akan menceritakan kejadian itu kepada kalian karena aku telah menceritakannya kepada Rasulullah saat beliau bertanya kepadaku tentang hal itu.

Aku pernah menjadi budak Jubair bin Mutham, yang mana pamannya, Thuaimah bin Adi, terbunuh dalam Perang Badar. Ketika kaum Quraisy berangkat ke Uhud, Jubair berkata kepadaku, “Engkau akan menjadi orang bebas jika engkau berhasil membunuh Hamzah, paman Rasulullah, untuk membalas kematian pamanku.”

Aku adalah orang Ethiopia yang mampu melempar lembing dengan ketepatan orang-orang Ethiopia (yang pada waktu itu terkenal dengan kemahiran mereka dalam memainkan lembing). (Ketika melempar lembing) aku jarang meleset dari sasaran.

Oleh karena itu aku pergi dengan yang lain, dan ketika kami melawan Muslim dalam pertempuran aku bergegas untuk mencari Hamzah.

Aku mencari dia sampai akhirnya aku melihatnya di salah satu ujung pasukan. (Dengan tubuh kekar yang tertutup debu) dia tampak seperti unta coklat, menghantam orang-orang dengan pedangnya dengan sangat keras sehingga tidak ada yang bisa bertahan di hadapannya.

Demi Allah! Aku mempersiapkan diri dengan baik untuk menghadapinya dan menyembunyikan diriku di balik pohon atau batu sampai dia mendekat ke arahku. Namun, Siba bin Abdul Uzza mendahuluiku kepadanya.

Ketika Hamzah melihat Siba, dia menyerunya, “Kemarilah padaku, wahai putra wanita tukang sunat!” Hamzah kemudian menebas Siba dengan sangat kuat hingga kepalanya lepas seolah-olah jatuh begitu saja.

Aku kemudian menggoyang-goyangkan lembingku (mengambil ancang-ancang) sampai aku yakin (bahwa itu akan mengenai sasaran) dan kemudian melepaskannya untuk terbang. Lembing itu menghantamnya di bawah pusar dan menembus tubuhnya sampai keluar dari selangkangannya.

Dia mulai mendatangiku, tetapi jatuh pingsan. Aku kemudian membiarkan dia seperti itu sampai dia wafat. Aku kemudian kembali (ke jenazah Hamzah), mengambil lembingku, dan kembali ke kamp. Aku kemudian duduk di sana karena aku tidak memiliki urusan lain.

Aku telah membunuh Hamzah hanya untuk mendapatkan kebebasanku. Aku kemudian kembali ke Makkah dan dibebaskan.

Aku menetap di sana sampai Rasulullah menaklukkan Makkah, setelah itu aku melarikan diri ke Taif. Aku tinggal di sana sampai saat utusan dari Taif menemui Rasulullah untuk masuk Islam.

Semua jalan kemudian tertutup untukku dan aku berpikir, “Haruskah aku pergi ke Syam, ke Yaman, atau tempat lain?”

Demi Allah! Aku masih terpaku dengan pemikiran ini, ketika seseorang berkata kepadaku, “Betapa bodohnya engkau! (Apakah engkau masih belum tahu bahwa) Muhammad tidak pernah membunuh siapapun yang masuk ke agamanya dan mengucapkan kebenaran syahadat?”

Aku kemudian berangkat sampai aku menemui Rasulullah di Madinah. (Rasulullah tidak tahu tentang kedatanganku dan) tidak ada yang memberitahunya tentang kehadiranku sementara aku berdiri di hadapannya mengucapkan kebenaran syahadat.

Ketika beliau melihatku, Rasulullah bertanya, “Apakah engkau Wahsyi?”

“Ya, wahai Rasulullah,” jawabku.

Beliau kemudian berkata kepadaku, “Duduklah dan katakan kepadaku bagaimana engkau dapat membunuh Hamzah.”

Aku kemudian menceritakan kejadian itu kepada Rasulullah sebagaimana aku telah menceritakannya kepada kalian.

Setelah aku menyelesaikan kisahnya, Rasulullah berkata kepadaku, “Sembunyikan wajahmu dariku agar aku tidak harus melihatmu (jangan biarkan aku melihatmu karena itu mengingatkanku pada kematian pamanku).”

Aku kemudian terus menghindari tempat-tempat di mana Rasulullah berada sehingga beliau tidak perlu melihatku. Aku terus melakukan hal itu sampai Allah mencabut nyawa Rasulullah.

Ketika kaum Muslim berbaris untuk melawan Musailamah al-Kazzab (si pembohong besar) dari Yamamah, aku pergi bersama mereka. Aku membawa serta lembing yang sama yang aku gunakan untuk membunuh Hamzah.

Pertempuran kemudian dimulai. Meskipun aku (sebelumnya) tidak pernah mengenalnya, aku mengetahui Musailamah yang sedang berdiri dengan pedang di tangan. Saat aku bersiap untuk membunuhnya, seseorang dari Ansar juga bersiap untuk membunuhnya dari arah lain.

Aku kemudian menggoyang-goyangkan lembingku (mengambil ancang-ancang) sampai aku yakin (bahwa itu akan mengenai sasaran) dan kemudian melepaskannya untuk terbang. Saat lembingku menghantamnya, orang Ansar itu menyerangnya dan menebasnya dengan pedangnya.

Hanya Rabb-mu yang tahu siapa di antara kami yang telah membunuhnya. Jika aku yang telah membunuhnya, maka meskipun aku telah membunuh manusia terbaik setelah Rasulullah (yaitu Hamzah), aku juga telah membunuh manusia terburuk (yaitu Musailamah).



Undangan Rasulullah
Di sisi lain ada juga riwayat lain yang menyatakan bahwa Wahsyi bin Harb masuk Islam atas undangan Rasulullah SAW. Hal ini didasarkan pernyataan Abdullah bin Abbas.

Abdullah bin Abbas meriyatkan: Rasulullah mengirim utusan untuk mengundang masuk Islam Wahsyi bin Harb, orang yang bertanggung jawab atas pembunuhan Hamzah (paman Rasulullah).

Utusan itu kembali dengan pesan dari Wahsyi yang menyatakan, “Wahai Muhammad! Bagaimana engkau dapat mengajakku masuk Islam ketika engkau mengatakan bahwa seorang pembunuh, seorang musyrik, dan pezina akan menghadapi hukuman berat, dan hukuman ini akan berlipat ganda bagi mereka di Hari Qiyamah di mana mereka akan tetap direndahkan di dalamnya selamanya?

Aku telah melakukan semua kejahatan ini, jadi apakah ada kesempatan untukku?”

Allah kemudian mewahyukan ayat ini:

“(Hukuman Jahanam adalah untuk semua pembunuh, musyrikin, dan pezina) kecuali orang-orang yang (secara ikhlas) bertaubat, beriman, dan mengerjakan amal saleh; maka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS al-Furqan : 70)

Menjawab ayat ini, Wahsyi berkata, “Wahai Muhammad! Syarat dalam ayat ini tanpa kompromi, yang menyatakan, ‘Kecuali orang-orang yang (secara ikhlas) bertobat, beriman, dan mengerjakan amal saleh.’ Bagaimana jika aku tidak memiliki kesempatan untuk memenuhinya?”

Allah kemudian mewahyukan ayat ini:

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS an-Nisa : 48)

Terhadap ini, Wahsyi menjawab, “Pengampunan ini tergantung kepada kehendak Allah. Aku tidak tahu apakah aku akan diampuni atau tidak. Apakah ada kesempatan lain untukku?”

Allah kemudian mewahyukan ayat ini:

“Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah engkau berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS az-Zumar : 53)

Mendengar hal ini, Wahsyi berkata, “Ya, ini sudah sesuai.” Dia kemudian masuk Islam.

Muslim lainnya bertanya, “Wahai Rasulullah! Kami juga telah melakukan dosa-dosa yang dilakukan Wahsyi (apakah ayat ini juga berlaku untuk kami?)”

Rasulullah menjawab, “Itu berlaku untuk semua Muslim secara keseluruhan.” [Tabrani dan Haithami menyatakan bahwa salah satu periwayat hadis ini, yang bernama Abyan bin Sufyan, dikategorikan sebagai periwayat yang lemah oleh Imam Dhahabi)

Dengan demikian terdapat dua versi hadis tentang masuk Islamnya Wahsyi, meski demikian, terhadap hadis yang terakhir ini, sejarawan Islam al-Dhahabi menyatakan bahwa salah satu periwayat dalam sanad hadis ini dikategorikan lemah.



Hari-Hari Terakhir Kehidupan Wahsyi
Sementara itu, dalam kitab Sirah Ibn Hisyam (Vol 2, hlm 69-72), dalam Ja’far Subhani,Ar-Risalah: Sejarah Kehidupan Rasulullah SAW, digambarkan hari-hari terakhir kehidupan Wahsyi. Dia meriwayatkan:

Pada hari-hari terakhir kehidupannya, Wahsyi merupakan gagak hitam yang selalu dibenci kaum Muslim; dia menjadi pemabuk dan dihukum dua kali karena minum khamar. Namanya dihapus dari daftar tentara.

Umar bin Khattab biasa mengatakan, “Pembunuh Hamzah tak pantas diberi ampun di dunia dan akhirat.”

Mengenai kebiasaan Wahsyi dalam menenggak khamar, juga dibenarkan oleh sejarawan Islam lainnya, al-Waqidi. Dia melaporkan penyaksian dari Ubaidillah bin Adi bin Khiyar yang menemui Wahsyi dan memintanya menceritakan bagaimana dia dapat membunuh Hamzah.

Ubaidillah bin Adi bin Khiyar meriwayatkan:

Di zaman kekhalifahan ketiga Utsman bin Affan kami berperang di Suriah. Dan kami melewati kota Hims. Kami mampir dan menanyakan keberadaan Wahsyi – pembunuh Hamzah – dan orang mengatakan, “Kamu tidak akan dapat menyangka. Dia setiap hari minum minuman keras sampai pagi.”

Kelompok kami terdiri dari 70 orang. Setelah salat subuh kami ke rumahnya. Tiba-tiba tampak seorang tua besar duduk di atas permadani, sekadar tempat duduknya.

Kami menanyakan kepadanya, “Ceritakan kepada kami tentang pembunuhan Hamzah dan Musailamah,” tetapi dia menolak.

Kami berkata, “Kami tidak akan menginap malam ini kecuali karena engkau." [Lihat Al-Waqidi dalam O. Hashem,Muhammad Sang Nabi: Penelusuran Sejarah Nabi Muhammad Secara Detail(Ufuk Press: Jakarta, 2007)]

Kelanjutan dari riwayat ini pada akhirnya Wahsyi bersedia menceritakan kepada mereka dengan redaksi yang mirip dengan riwayat pertama, kecuali dengan penambahan beberapa detail ketika Hindun binti Utbah memberikan perhiasan-perhiasannya untuknya setelah dia berhasil membunuh Hamzah.

(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3287 seconds (0.1#10.140)