Pengakuan Umar Bin Khattab Tentang Kisah Dirinya Masuk Islam

Kamis, 04 Juni 2020 - 12:52 WIB
loading...
A A A
Adakah kejadian itu tiba-tiba begitu saja? Sudah begitu jauhkah Umar menjauhi dan memusuhi Islam sampai dia tidak mau lagi memikirkan dan merenungkannya, kemudian Allah menanamkan iman ke dalam hatinya melalui kitab yang dibacakan Khabbab kepada adiknya atau Qur'an yang dibaca Rasulullah dalam salatnya, oleh Yang Mahakuasa dijadikan jalan untuk memberi petunjuk kepada orang yang paling keras memusuhi agama-Nya itu?

Ataukah tidak demikian adanya, Umar sudah pernah mendengar pembacaan Qur'an sebelum yang dibacakan dalam kitab Khabbab, dan sebelum bersembunyi di balik kain Ka'bah lalu mendengarkannya dari Rasulullah, dan bahwa dia mengkaji kembali antara dirinya dengan Rasulullah, kemudian ia berbalik pikir tentang diri lalu merenungkan keadaan dirinya dengan Nabi Muhammad dan pengikut-pengikutnya, lalu dengan lama merenungkan itu lelah mengantarkannya kepada Islam, dengan izin Allah?

Yang biasanya diceritakan menurut sumber yang masyhur, bahwa Umar keluar hendak membunuh Nabi Muhammad saat ia dan sahabat- sahabatnya sedang berada di Safa kalau tidak karena Allah telah memberi petunjuk kepadanya waktu ia membaca kitab yang dibacakan Khabbab kepada ipar dan adiknya.



Menurut Haekal tak masuk akal bahwa dengan pedangnya Umar bermaksud membunuh Nabi Muhammad yang sedang di tengah-tengah empat puluh orang sahabatnya, di antaranya ada Hamzah bin Abdul-Muttalib dan Abu Ubaidah bin al-Jarrah serta pahlawan-pahlawan Makkah lainnya, apalagi mau beranggapan bahwa ia mampu melaksanakan maksudnya itu.

Dapat saja ia memutuskan ingin bebas dari Rasulullah dengan jalan membunuhnya, dan sedang memikirkan cara-cara pelaksanaannya, tetapi sementara ia membaca Qur'an itu dan melihat isinya yang begitu indah ia surut dari niatnya dan kemudian masuk Islam.

“Tetapi bahwa dia akan membunuhnya dengan cara seperti yang dilukiskan oleh cerita yang sudah terkenal tentang Islamnya Umar itu, adalah hal yang tak masuk akal, dan saya cenderung demikian. Yang lebih dapat diterima, ialah sumber kedua dari penuturan Umar sendiri dan yang diperkuat oleh Ibn Hanbal dalam Musnad-nya,” tulis Haekal.

Baca Juga: Biografi Umar Bin Khattab, Khalifah Kedua yang Menaklukkan Romawi dan Persia
Hal ini dapat diterima karena lebih sesuai dengan apa yang sudah umum diketahui tentang pribadi dan psikologi Umar. Dia asli dari masyarakatnya sendiri, sangat fanatik terhadap mereka, ingin sekali melihat ketertiban dan kedudukan kota mereka yang kuat. Di samping itu ia laki-laki yang praktis, suka bekerja.

Nilai pikiran baginya ialah dampaknya yang nyata dalam kehidupan. Tetapi merenung hanya untuk merenung, berpikir semata-mata hanya untuk berpikir dan berlama-lama menimang-nimang untuk mencari kebenaran di balik itu, kendati untuk kebenaran dan pemikiran itu tak memberi kesan yang berpengaruh dalam kehidupan mereka, maka tidaklah dia sendiri akan tertarik atau akan dapat melepaskan diri dari kebiasaan masyarakatnya.

Itulah pandangannya sekitar masalah-masalah duniawi secara keseluruhan, bahkan yang berhubungan dengan masalah-masalah rasa simpati itu sendiri. Ia tidak senang melihat pemuda yang menghabiskan waktunya hanya untuk bercumbu dengan perempuan atau mendendangkan kecantikannya, dengan maksud hendak menggodanya. Baginya, yang demikian hanya memperlihatkan kelemahan, yang tak patut bagi seorang laki-laki yang sudah cukup dewasa. Karenanya, ia tak pernah bersimpati kepada orang-orang yang bercinta-cinta dengan jalan menyanyi-nyanyikan nyanyian rindu asmara sebagai profesinya.



Mengenai pandangannya tentang keyakinannya itu, terlihat dari keberangannya yang luar biasa terhadap saudara sepupunya, Zaid bin Amr, sebab dia meninggalkan agama masyarakatnya, dan pergi mencari agama benar itu dari yang lain.

Buat Umar semua itu khayal belaka yang tak ada artinya dalam hidup, dan tidak sesuai dengan wataknya yang ingin melihat ketertiban umum serta kedudukan Makkah yang kuat di mata semua orang Arab.

Kecenderungan berpikir demikian memang sejalan dengan sosok Umar — bertubuh kuat dan kekar. Oleh karena itu ia percaya kepada kekuatan dalam segala sikapnya. Kepercayaannya kepada kekuatan yang paling menonjol tampak pada permulaan kerasulan Nabi, saat ia sedang berada di puncak keperkasaannya dengan segala kekerasan watak dan semangatnya sebagai pemuda yang belum merasakan asam garamnya kehidupan.



Itu pula sebabnya ia menyiksa siapa saja pengikut Nabi yang dapat disiksanya, supaya keluar dari agamanya. Kalau ia mampu memerangi mereka semua, niscaya akan diperanginya. Tetapi dia tahu bahwa kabilah-kabilah Quraisy melarang yang demikian, dan kabilahnya sendiri — Banu Adi — tidak sependapat dengan dia.

Itu sebabnya, seperti yang dilakukan oleh orang-orang Quraisy lainnya, kemampuannya terbatas hanya sampai pada penyiksaan kaum dhuafa atau orang-orang yang lemah, tanpa dapat melakukan kekerasan terhadap Abu Bakar, Usman bin Affan, Abu Ubaidah bin al-Jarrah dan yang lain, yang akan dilindungi oleh kabilah-kabilah mereka. Tetapi yang masih dapat dilakukannya, mengadakan pemboikotan dan menyakiti siapa saja yang dapat dijangkaunya.

Sungguhpun begitu, di samping semua itu sebenarnya Umar orang yang berhati lembut, berperasaan halus dalam arti keadilan.

Salah satu bukti kelembutan hatinya tatkala adiknya hendak melindungi suaminya dipukulnya sekeras-kerasnya. Setelah dilihatnya adiknya sampai berdarah, ia menyesal dan menyadari kesalahannya sendiri.

Baca juga
: Kisah Syahidnya Umar bin Khattab dan Kenaikan Pajak
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1268 seconds (0.1#10.140)