Sepupu Umar Bin Khattab Ini Guru Spiritual Abu Bakar Sebelum Masa Kenabian

Selasa, 18 Januari 2022 - 11:16 WIB
loading...
A A A
Setelah Nufail meninggal Amr anaknya yang dari ibu lain kawin dengan istri ayahnya Jaida'. Pernikahan demikian biasa dilakukan di zaman jahiliyah. Dari perkawinan Amr dengan Jaida' ini lahirlah Zaid bin Amr, yang bagi Umar adalah saudara dan sekaligus kemenakan. Usia keduanya berdekatan.

Haekal berkisah, sore itu Umar bin Khattab tengah bercakap-cakap dengan koleganya di Pasar Ukaz. Samar-samar dilihatnya seorang penunggang kuda sedang memacu kudanya cepat-cepat. Umar berteriak: "Demi Lat dan Uzza, sungguh kagum aku melihat kepandaiannya menunggang kuda itu!"

Seorang rekannya yang duduk di dekatnya, tersenyum. "Semoga Uzza mengampuni sepupumu Zaid bin Amr yang berkata dalam syairnya:

"Tak ada Uzza maupun kedua putrinya yang kupercayai
Tak ada berhala-berhala Bani Tasm yang kuikuti
Adakah satu Tuhan yang kuanut ataukah seribu tuhan
Apabila masalahnya sudah terpilah-pilah?"

Mendengar itu wajah Umar berubah jadi masam, merengut. "Celaka dia!" katanya. "Dia sudah ingkar. Uzza tidak akan mengampuninya!”



Zaid tidak menyembah berhala dan tidak mau memakan makanan qurban untuk berhala itu, kepada masyarakatnya ia berkata:

"Allah menurunkan hujan dan menumbuhkan hasil bumi, menciptakan unta supaya kamu urus, lalu kamu sembelih untuk yang selain Allah? Selain aku, aku tidak tahu di muka bumi ini adakah orang yang berpegang pada agama Ibrahim?!"

Di saat bangsa Arab terkenal sebagai bangsa yang doyan membunuh bayi perempuan, Zaid bin Amr merupakan seorang yang membiarkan bayi perempuannya tetap hidup. Dan apabila ada orang yang ingin membunuh bayi perempuannya, maka ia berkata kepadanya:

“Janganlah engkau bunuh ia, berikan saja kepadaku, aku akan mengasuhnya.”

Dan apabila anak perempuan tersebut telah dewasa, maka ia berkata kepada orangtuanya, “Kalau engkau mau, ambillah ia. Dan apabila engkau mau, biarkan dia.”

Zaid berdakwah lewat syair-syairnya. Dalam hal ini banyak syair yang dikutip oleh penulis al-Agani (Abul-Faraj al-Asfahani) dihubungkan kepada Zaid bin Amr. Juga oleh Ibn Hisyam dalam as-Sirah dan yang lain. Dua bait sajaknya di antara sekian banyak sajaknya itu, yakni:

Kuserahkan diriku ke tempat awan menyerahkan dirinya
Yang membawa air sejuk dan lezat
Kuserahkan diriku ke tempat bumi menyerahkan diri
Yang membawa batu-batuan yang berat-berat
Diratakan dan ditancapkan gunung-gunung di alasnya



Berikut pula sebuah syair menjadi curahan jiwa Zaid bin ‘Amr bin Nufail:

Apakah Rabb yang Esa ataukah seribu tuhan
Yang ‘kan kusembah ketika engkau membagi-bagi jatah?
Kutinggalkan Lata dan ‘Uzza seluruhnya
Demikianlah yang dilakukan si orang yang amat sabar
Maka bukanlah ‘Uzza yang kusembah, tidak juga kedua putrinya
Tak pula dua berhala Bani ‘Amr yang ‘kan kuziarahi
Bukan pula Ghanam yang ‘kan kusembah padahal dia adalah rabb kita saat ini,
Karena akalku masih waras
Aku heran
Pada malam-malam terdapat perkara yang mengagumkan
Begitu pula siang hari,
Orang yang berakal pasti tahu
Bahwa sungguh Allah benar-benar membinasakan banyak orang
Itulah nasib manusia fajir
Dan tersisalah golongan lain, yaitu para pelaku kebajikan
Anak kecil tumbuh sehat
Seseorang yang pingsan dan sadar kembali,
Suatu hari ia menjelaskan kepada kita
Sebagaimana tingginya ranting pohon yang subur
Akan tetapi aku menyembah Ar-Rahman Rabb-ku
Agar Rabb-ku yang Maha Pengampun berkenan mengampuni dosaku
Maka takwa kepada Allah Rabb kalian,
Jagalah ketakwaan itu
Bilamana kalian menjaganya, kalian tak ‘kan binasa
Engkau melihat orang-orang yang berbuat kebajikan
Negeri mereka adalah taman-taman surga
Dan bagi orang-orang kafir tungku api yang menyala
Serta kehinaan hidup,
Adapun bila mereka mati,
Mereka berjumpa dengan sesuatu yang menyempitkan dada.



Pergi Berpencar
Dikisahkan dari Muhammad bin Ishaq bahwa sekelompok kaum Quraisy yang terdiri dari Zaid bin Amr, Waraqah bin Naufal, Utsman bin Khuwairits, dan Abdullah bin Jahsy menemui kaum Quraisy di saat perayaan penyembahan berhala.

Setelah semuanya berkumpul, keempat orang tersebut menyendiri dan berkata, “Salinglah percaya dan hendaknya satu sama lain saling menyembunyikan rahasia.”

Salah seorang di antara mereka berkata, “Sungguh kalian benar-benar telah mengetahui, demi Allah tidaklah kaum kalian itu mendapatkan sesuatu apapun. Mereka telah menyalahi agama Ibrahim dan menyeleweng darinya. Tidak mungkin berhala itu disembah, padahal ia tidak bisa memberikan bahaya ataupun manfaat. Maka carilah agama yang paling benar menurut kalian!”
Maka segeralah mereka keluar dari Mekkah, berpencar di penjuru bumi, mendalami agama Yahudi dan Nasrani serta seluruh agama lainnya untuk mencari agama Ibrahim yang lurus.
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.5020 seconds (0.1#10.140)