Sepupu Umar Bin Khattab Ini Guru Spiritual Abu Bakar Sebelum Masa Kenabian
loading...
A
A
A
Dia adalah Zaid bin Amr bin Nufail . Sebelum masa kenabian Muhammad SAW , Zaid adalah guru spiritual Abu Bakar Ash-Shiddiq . Zaid dan beberapa orang Mekkah, termasuk Abu Bakar adalah orang yang menolak menyembah berhala.
Jalal ad-Din as-Suyuti dalam bukunya berjudul "Tarikh al-Khulafa" memaparkan Abu Bakar gelisah dengan budaya menyembah berhala kaum Qurasy itu. Sebagai pelarian dari kegelisahan hatinya, Abu Bakar seringkali secara diam-diam menemui tiga orang guri spiritulanya, salah satunya adalah Zaid bin Amr bin Nufail. Dua lainnya yang dianggap "orang suci" tersebut adalah Qus bin Saidah al-Iyyadi, dan Waraqah bin Naufal.
Ketiga guru Abu Bakar ini adalah penganut agama Ibrahim yang telah meninggalkan keramaian dunia dan hidup menyepi.
Suatu kali Zaid bin Amr bin Nufail bertanya kepada Abu Bakar, yang lala itu masih menyandang nama Atiq. “Manakah yang benar, apakah Tuhan yang satu, atau tuhan yang beribu-ribu? Apakah dapat dikatakan agama jika urusan terpecah semena-mena?”
Pertanyaan itu bertahan lama, hinggap di dalam pikirannya, dan karenanya Abu Bakar menderita. Dia begitu ingin mencari tahu kebenaran.
Di antara tiga manusia suci ini Zaid bin Amr bin Nufail suaranya paling keras menyerukan agama Ibrahim. Suatu waktu suaranya meninggi, akibatnya orang-orang Quraisy merasa terganggu, sehingga mereka menghasut salah seorang kerabatnya, yaitu Khattab bin Nufail, untuk menutup pintu rumahnya dan membiarkannya terpencil.
Dalam kesempatan lain, Zaid bin Amr bin Nufail yang sudah tua bersandar pada dinding Kakbah, dan dia menyeru, “Hai Kaum Quraisy! Demi Dzat yang nyawaku berada dalam tangan-Nya, tak seorang pun di antara kalian yang masih mengikuti agama Ibrahim dan Ismail sepeninggal mereka.
“Dan sungguh, aku sedang menunggu-nunggu kedatangan seorang Nabi keturunan Ismail, yang aku rasa, aku tak akan sempat bertemu dengannya.”
Kemudian tampak olehnya Amir bin Rabiah, maka dipanggilnya dia seraya berkata, “Hai Amir bin Rabiah, jika umurmu panjang sampaikanlah salamku kepadanya!”
Khalid Muhammad Khalid dalam bukunya berjudul "Mengenal Pola Kepemimpinan Umat dari Karakteristik Perihidup Khalifah Rasulullah" mengisahkan Zaid bin Amr bin Nufail kemudian menyeruak ke dalam barisan orang-orang yang sedang mengelilingi Kakbah, kemudian menyeru dengan suara yang lantang:
“Ya Rabbi! Aku terima kebenaran itu sebagai kebenaran. Aku beribadah dan memperhambakan diri hanya kepada-Mu. Aku berlindung kepada Dzat yang menjadi tempat berlindung Nabi Ibrahim.
Dan kuserahkan diriku kepada Dzat tempat bumi menyerahkan dirinya, yakni bumi yang dihamparkan-Nya dengan membawa bebatuan yang tak terkira jumlahnya, yang kemudian dijadikan-Nya gunung-gunung untuk mengukuhkan kedudukannya.
Dan kuserahkan diriku kepada Dzat tempat awan menyerahkan dirinya, yakni awan hitam yang membawa air, yang sejuk dan tawar rasanya.”
Melihatnya, Abu Bakar berkata di dalam hati, “Demi Tuhan Ibrahim, inilah sebenarnya yang hak! Tetapi bagaimana caranya? Serta bilakah masanya kita akan beroleh keyakinan terhadap-Nya?”
Sementara, Zaid sendiri, bukanlah seorang nabi, maka dia pun senantiasa berada di dalam pencariannya, berkata, “Ya Allah, sekiranya aku mengetahui cara yang lebih Engkau sukai dalam beribadah kepada-Mu, tentulah aku akan melakukannya. Tetapi bagaimana? Aku tidak mengetahuinya….”
Sepupu Umar bin Khattab
Muhammad Husain Haekal dalam bukunya berjudul "Umar bin Khattab" menjelaskan Zaid bin Amr adalah saudara sepupu Umar Bin Khattab atau keponakan Khattab, ayah Umar.
Nasab beliau adalah Zaid bin Amr bin Nufail bin Abdul Uzza bin Riyah bin Abdullah bin Qurth bin Razah bin ‘Adi bin Ka’ab bin Lu’ay.
Sedangkan Khattab bin Nufail pamannya dan sekaligus saudaranya dari pihak ibu, sebab perkawinan Nufail dengan Jaida' yang kemudian melahirkan Khattab.
Setelah Nufail meninggal Amr anaknya yang dari ibu lain kawin dengan istri ayahnya Jaida'. Pernikahan demikian biasa dilakukan di zaman jahiliyah. Dari perkawinan Amr dengan Jaida' ini lahirlah Zaid bin Amr, yang bagi Umar adalah saudara dan sekaligus kemenakan. Usia keduanya berdekatan.
Haekal berkisah, sore itu Umar bin Khattab tengah bercakap-cakap dengan koleganya di Pasar Ukaz. Samar-samar dilihatnya seorang penunggang kuda sedang memacu kudanya cepat-cepat. Umar berteriak: "Demi Lat dan Uzza, sungguh kagum aku melihat kepandaiannya menunggang kuda itu!"
Seorang rekannya yang duduk di dekatnya, tersenyum. "Semoga Uzza mengampuni sepupumu Zaid bin Amr yang berkata dalam syairnya:
"Tak ada Uzza maupun kedua putrinya yang kupercayai
Tak ada berhala-berhala Bani Tasm yang kuikuti
Adakah satu Tuhan yang kuanut ataukah seribu tuhan
Apabila masalahnya sudah terpilah-pilah?"
Mendengar itu wajah Umar berubah jadi masam, merengut. "Celaka dia!" katanya. "Dia sudah ingkar. Uzza tidak akan mengampuninya!”
Zaid tidak menyembah berhala dan tidak mau memakan makanan qurban untuk berhala itu, kepada masyarakatnya ia berkata:
"Allah menurunkan hujan dan menumbuhkan hasil bumi, menciptakan unta supaya kamu urus, lalu kamu sembelih untuk yang selain Allah? Selain aku, aku tidak tahu di muka bumi ini adakah orang yang berpegang pada agama Ibrahim?!"
Di saat bangsa Arab terkenal sebagai bangsa yang doyan membunuh bayi perempuan, Zaid bin Amr merupakan seorang yang membiarkan bayi perempuannya tetap hidup. Dan apabila ada orang yang ingin membunuh bayi perempuannya, maka ia berkata kepadanya:
“Janganlah engkau bunuh ia, berikan saja kepadaku, aku akan mengasuhnya.”
Dan apabila anak perempuan tersebut telah dewasa, maka ia berkata kepada orangtuanya, “Kalau engkau mau, ambillah ia. Dan apabila engkau mau, biarkan dia.”
Zaid berdakwah lewat syair-syairnya. Dalam hal ini banyak syair yang dikutip oleh penulis al-Agani (Abul-Faraj al-Asfahani) dihubungkan kepada Zaid bin Amr. Juga oleh Ibn Hisyam dalam as-Sirah dan yang lain. Dua bait sajaknya di antara sekian banyak sajaknya itu, yakni:
Kuserahkan diriku ke tempat awan menyerahkan dirinya
Yang membawa air sejuk dan lezat
Kuserahkan diriku ke tempat bumi menyerahkan diri
Yang membawa batu-batuan yang berat-berat
Diratakan dan ditancapkan gunung-gunung di alasnya
Berikut pula sebuah syair menjadi curahan jiwa Zaid bin ‘Amr bin Nufail:
Apakah Rabb yang Esa ataukah seribu tuhan
Yang ‘kan kusembah ketika engkau membagi-bagi jatah?
Kutinggalkan Lata dan ‘Uzza seluruhnya
Demikianlah yang dilakukan si orang yang amat sabar
Maka bukanlah ‘Uzza yang kusembah, tidak juga kedua putrinya
Tak pula dua berhala Bani ‘Amr yang ‘kan kuziarahi
Bukan pula Ghanam yang ‘kan kusembah padahal dia adalah rabb kita saat ini,
Karena akalku masih waras
Aku heran
Pada malam-malam terdapat perkara yang mengagumkan
Begitu pula siang hari,
Orang yang berakal pasti tahu
Bahwa sungguh Allah benar-benar membinasakan banyak orang
Itulah nasib manusia fajir
Dan tersisalah golongan lain, yaitu para pelaku kebajikan
Anak kecil tumbuh sehat
Seseorang yang pingsan dan sadar kembali,
Suatu hari ia menjelaskan kepada kita
Sebagaimana tingginya ranting pohon yang subur
Akan tetapi aku menyembah Ar-Rahman Rabb-ku
Agar Rabb-ku yang Maha Pengampun berkenan mengampuni dosaku
Maka takwa kepada Allah Rabb kalian,
Jagalah ketakwaan itu
Bilamana kalian menjaganya, kalian tak ‘kan binasa
Engkau melihat orang-orang yang berbuat kebajikan
Negeri mereka adalah taman-taman surga
Dan bagi orang-orang kafir tungku api yang menyala
Serta kehinaan hidup,
Adapun bila mereka mati,
Mereka berjumpa dengan sesuatu yang menyempitkan dada.
Pergi Berpencar
Dikisahkan dari Muhammad bin Ishaq bahwa sekelompok kaum Quraisy yang terdiri dari Zaid bin Amr, Waraqah bin Naufal, Utsman bin Khuwairits, dan Abdullah bin Jahsy menemui kaum Quraisy di saat perayaan penyembahan berhala.
Setelah semuanya berkumpul, keempat orang tersebut menyendiri dan berkata, “Salinglah percaya dan hendaknya satu sama lain saling menyembunyikan rahasia.”
Salah seorang di antara mereka berkata, “Sungguh kalian benar-benar telah mengetahui, demi Allah tidaklah kaum kalian itu mendapatkan sesuatu apapun. Mereka telah menyalahi agama Ibrahim dan menyeleweng darinya. Tidak mungkin berhala itu disembah, padahal ia tidak bisa memberikan bahaya ataupun manfaat. Maka carilah agama yang paling benar menurut kalian!”
Maka segeralah mereka keluar dari Mekkah, berpencar di penjuru bumi, mendalami agama Yahudi dan Nasrani serta seluruh agama lainnya untuk mencari agama Ibrahim yang lurus.
Adapun Waraqah bin Naufal, ia masuk agama Nasrani dan mendalaminya, meneliti kitab-kitab mereka, sehingga ia mendapatkan pengetahuan yang luas dari Ahlul Kitab. Dan tidaklah dari keempat orang tersebut yang paling baik keadaannya selain Zaid bin Amr.
Ia meninggalkan penyembahan berhala dan seluruh agama baik itu Yahudi, Nasrani maupun agama-agama lainnya dan hanya beragama sesuai agama Ibrahim. Ia mengesakan Allah dan mencampakkan selain-Nya. Dan ia tidak memakan hewan-hewan sembelihan kaumnya.
Ia menampakkan secara terang-terangan kepada kaumnya atas keengganannya untuk mengikuti apa yang mereka lakukan. Karena keyakinannya itu, Khattab memusuhi Zaid.
Didorong pula oleh masyarakat Quraisy yang akhirnya mengeluarkannya dari Mekkah dan tidak diperbolehkan memasuki Mekkah lagi.
Lantaran sering mendapat siksaan dari Khattab, Zaid keluar dari Mekkah. Khattab menugaskan beberapa pemuda Quraisy untuk menjaganya dan tidak membiarkannya kembali ke Mekkah.
Zaid bin Amr tidak pernah masuk ke Mekkah kecuali dengan cara sembunyi-sembunyi.
Zaman Munculnya Nabi
Dari Ibn Ishaq, Zaid bin Amr telah berketetapan untuk keluar dari Mekkah, mengembara untuk mencari Agama Ibrahim. Istrinya, Shafiyyah, setiap kali melihat Zaid bangkit dan ingin keluar, ia akan menyeru kepada Khattab untuk memberitahunya. Maka keluarlah Zaid menuju Syam, mencari agama Ibrahim.
Begitulah seterusnya hingga ia mendatangi Mosul dan Jazirah Arab seluruhnya. Kemudian ia kembali ke Syam dan menetap di sana. Hingga datanglah seorang Rahib dari Negeri Balqa. Seluruh ilmu yang berkenaan dengan Nasrani terkumpul padanya.
Sang Rahib berkata pada Zaid, “Sesungguhnya engkau bertanya tentang agama yang engkau tidak akan mendapati seorangpun dapat membawamu kepadanya pada saat ini. Telah meninggal orang yang mengetahuinya, akan tetapi engkau dinaungi zaman munculnya seorang nabi, dan inilah zamannya.”
Diriwayatkan dari ‘Amir bin Rabi’ah, berkata, “Aku mendengar Zaid bin Amr berkata, ‘Aku menunggu seorang nabi dari keturunan Ismail, tepatnya dari Bani Muthalib. Dan aku merasa aku tidak akan dapat bertemu dengannya. Aku beriman dan mempercayainya dan aku bersaksi bahwa ia adalah seorang nabi."
"Bila umurmu panjang dan engkau dapat berjumpa dengannya, maka sampaikan salamku kepadanya, dan aku akan memberitahumu tentang sifat-sifatnya, sehingga tidak meragukan bagimu'. Aku pun menyilakannya.
Zaid menjelaskan bahwa, ‘ia orang yang tidak tinggi tidak pula pendek, rambutnya tidak lebat tidak pula tipis, warna merah tidak pernah terpisah dari matanya, tanda kenabian terletak antara kedua pundaknya, namanya adalah Ahmad, negeri ini (Mekkah) adalah tempat kelahirannya dan tempat ia diutus menjadi nabi, kemudian kaumnya mengusirnya dan menentang agama yang ia bawa, hingga ia berhijrah menuju Yatsrib (sekarang Madinah) dan berkembanglah agamanya.
Maka berhati-hatilah engkau, jangan sampai engkau terpedaya hingga tak mengikuti ajarannya. Sesungguhnya aku telah mengelilingi seluruh negeri untuk mencari agama Ibrahim, dan setiap orang yang aku tanyai dari kaum Yahudi, Nasrani dan Majusi berkata bahwa agama itu ada di belakangku.
Dan mereka mengemukakan sifat-sifatnya sebagaimana yang aku jelaskan kepadamu. Dan mereka juga berkata tidak ada lagi nabi selainnya.’”
‘Amir bin Rabi’ah berkata, “Ketika aku masuk Islam, aku memberitahu Rasulullah tentang perkataan Zaid bin Amr dan menyampaikan salam darinya, maka Rasulullah menjawab salam tersebut dan mendoakan semoga Allah memberi rahmat dan ampunan kepadanya.”
Dari Aisyah meriwayatkan, Rasulullah bersabda, “Aku masuk surga dan melihat dua tenda besar milik Zaid bin Amr.”
Keadaan Zaid disebutkan dalam sebuah hadits yang juga menyebutkan tempat kembali Waraqah bin Naufal, Khadijah binti Khuwailid, dan Abu Thalib.
Dari Jabir bin ‘Abdillah bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang Waraqah bin Naufal. Maka beliau bersabda, “Sungguh aku telah melihatnya. Aku melihatnya mengenakan pakaian putih; dia berada di antara dua bagian dalam surga dan dia memakai kain sutra tipis.”
Beliau ditanya tentang Zaid bin ‘Amr bin Nufail. Maka beliau bersabda, “Dia dibangkitkan pada hari kiamat sebagai umat seorang diri.”
Beliau ditanya tentang Abu Thalib . Maka beliau bersabda, “Aku mengeluarkannya dari kesengsaraan Jahannam menuju bagian yang lebih ringan darinya.”
Beliau ditanya tentang Khadijah, sebab dia meninggal sebelum turun ayat tentang hukum-hukum dan kewajiban dalam Al-Qur'an dan dijadikan sumber keputusan.
Maka beliau bersabda, “Aku melihatnya berada di sungai di surga, di sebuah rumah yang terbuat dari benang emas dan perak. Tak ada hiruk-pikuk di sana, tidak pula keletihan.” (Hadits hasan; lihat Shahih As-Sirah An-Nabawiyyah, 1:94)
Jalal ad-Din as-Suyuti dalam bukunya berjudul "Tarikh al-Khulafa" memaparkan Abu Bakar gelisah dengan budaya menyembah berhala kaum Qurasy itu. Sebagai pelarian dari kegelisahan hatinya, Abu Bakar seringkali secara diam-diam menemui tiga orang guri spiritulanya, salah satunya adalah Zaid bin Amr bin Nufail. Dua lainnya yang dianggap "orang suci" tersebut adalah Qus bin Saidah al-Iyyadi, dan Waraqah bin Naufal.
Ketiga guru Abu Bakar ini adalah penganut agama Ibrahim yang telah meninggalkan keramaian dunia dan hidup menyepi.
Suatu kali Zaid bin Amr bin Nufail bertanya kepada Abu Bakar, yang lala itu masih menyandang nama Atiq. “Manakah yang benar, apakah Tuhan yang satu, atau tuhan yang beribu-ribu? Apakah dapat dikatakan agama jika urusan terpecah semena-mena?”
Pertanyaan itu bertahan lama, hinggap di dalam pikirannya, dan karenanya Abu Bakar menderita. Dia begitu ingin mencari tahu kebenaran.
Di antara tiga manusia suci ini Zaid bin Amr bin Nufail suaranya paling keras menyerukan agama Ibrahim. Suatu waktu suaranya meninggi, akibatnya orang-orang Quraisy merasa terganggu, sehingga mereka menghasut salah seorang kerabatnya, yaitu Khattab bin Nufail, untuk menutup pintu rumahnya dan membiarkannya terpencil.
Dalam kesempatan lain, Zaid bin Amr bin Nufail yang sudah tua bersandar pada dinding Kakbah, dan dia menyeru, “Hai Kaum Quraisy! Demi Dzat yang nyawaku berada dalam tangan-Nya, tak seorang pun di antara kalian yang masih mengikuti agama Ibrahim dan Ismail sepeninggal mereka.
“Dan sungguh, aku sedang menunggu-nunggu kedatangan seorang Nabi keturunan Ismail, yang aku rasa, aku tak akan sempat bertemu dengannya.”
Kemudian tampak olehnya Amir bin Rabiah, maka dipanggilnya dia seraya berkata, “Hai Amir bin Rabiah, jika umurmu panjang sampaikanlah salamku kepadanya!”
Khalid Muhammad Khalid dalam bukunya berjudul "Mengenal Pola Kepemimpinan Umat dari Karakteristik Perihidup Khalifah Rasulullah" mengisahkan Zaid bin Amr bin Nufail kemudian menyeruak ke dalam barisan orang-orang yang sedang mengelilingi Kakbah, kemudian menyeru dengan suara yang lantang:
“Ya Rabbi! Aku terima kebenaran itu sebagai kebenaran. Aku beribadah dan memperhambakan diri hanya kepada-Mu. Aku berlindung kepada Dzat yang menjadi tempat berlindung Nabi Ibrahim.
Dan kuserahkan diriku kepada Dzat tempat bumi menyerahkan dirinya, yakni bumi yang dihamparkan-Nya dengan membawa bebatuan yang tak terkira jumlahnya, yang kemudian dijadikan-Nya gunung-gunung untuk mengukuhkan kedudukannya.
Dan kuserahkan diriku kepada Dzat tempat awan menyerahkan dirinya, yakni awan hitam yang membawa air, yang sejuk dan tawar rasanya.”
Melihatnya, Abu Bakar berkata di dalam hati, “Demi Tuhan Ibrahim, inilah sebenarnya yang hak! Tetapi bagaimana caranya? Serta bilakah masanya kita akan beroleh keyakinan terhadap-Nya?”
Sementara, Zaid sendiri, bukanlah seorang nabi, maka dia pun senantiasa berada di dalam pencariannya, berkata, “Ya Allah, sekiranya aku mengetahui cara yang lebih Engkau sukai dalam beribadah kepada-Mu, tentulah aku akan melakukannya. Tetapi bagaimana? Aku tidak mengetahuinya….”
Sepupu Umar bin Khattab
Muhammad Husain Haekal dalam bukunya berjudul "Umar bin Khattab" menjelaskan Zaid bin Amr adalah saudara sepupu Umar Bin Khattab atau keponakan Khattab, ayah Umar.
Nasab beliau adalah Zaid bin Amr bin Nufail bin Abdul Uzza bin Riyah bin Abdullah bin Qurth bin Razah bin ‘Adi bin Ka’ab bin Lu’ay.
Sedangkan Khattab bin Nufail pamannya dan sekaligus saudaranya dari pihak ibu, sebab perkawinan Nufail dengan Jaida' yang kemudian melahirkan Khattab.
Setelah Nufail meninggal Amr anaknya yang dari ibu lain kawin dengan istri ayahnya Jaida'. Pernikahan demikian biasa dilakukan di zaman jahiliyah. Dari perkawinan Amr dengan Jaida' ini lahirlah Zaid bin Amr, yang bagi Umar adalah saudara dan sekaligus kemenakan. Usia keduanya berdekatan.
Haekal berkisah, sore itu Umar bin Khattab tengah bercakap-cakap dengan koleganya di Pasar Ukaz. Samar-samar dilihatnya seorang penunggang kuda sedang memacu kudanya cepat-cepat. Umar berteriak: "Demi Lat dan Uzza, sungguh kagum aku melihat kepandaiannya menunggang kuda itu!"
Seorang rekannya yang duduk di dekatnya, tersenyum. "Semoga Uzza mengampuni sepupumu Zaid bin Amr yang berkata dalam syairnya:
"Tak ada Uzza maupun kedua putrinya yang kupercayai
Tak ada berhala-berhala Bani Tasm yang kuikuti
Adakah satu Tuhan yang kuanut ataukah seribu tuhan
Apabila masalahnya sudah terpilah-pilah?"
Mendengar itu wajah Umar berubah jadi masam, merengut. "Celaka dia!" katanya. "Dia sudah ingkar. Uzza tidak akan mengampuninya!”
Zaid tidak menyembah berhala dan tidak mau memakan makanan qurban untuk berhala itu, kepada masyarakatnya ia berkata:
"Allah menurunkan hujan dan menumbuhkan hasil bumi, menciptakan unta supaya kamu urus, lalu kamu sembelih untuk yang selain Allah? Selain aku, aku tidak tahu di muka bumi ini adakah orang yang berpegang pada agama Ibrahim?!"
Di saat bangsa Arab terkenal sebagai bangsa yang doyan membunuh bayi perempuan, Zaid bin Amr merupakan seorang yang membiarkan bayi perempuannya tetap hidup. Dan apabila ada orang yang ingin membunuh bayi perempuannya, maka ia berkata kepadanya:
“Janganlah engkau bunuh ia, berikan saja kepadaku, aku akan mengasuhnya.”
Dan apabila anak perempuan tersebut telah dewasa, maka ia berkata kepada orangtuanya, “Kalau engkau mau, ambillah ia. Dan apabila engkau mau, biarkan dia.”
Zaid berdakwah lewat syair-syairnya. Dalam hal ini banyak syair yang dikutip oleh penulis al-Agani (Abul-Faraj al-Asfahani) dihubungkan kepada Zaid bin Amr. Juga oleh Ibn Hisyam dalam as-Sirah dan yang lain. Dua bait sajaknya di antara sekian banyak sajaknya itu, yakni:
Kuserahkan diriku ke tempat awan menyerahkan dirinya
Yang membawa air sejuk dan lezat
Kuserahkan diriku ke tempat bumi menyerahkan diri
Yang membawa batu-batuan yang berat-berat
Diratakan dan ditancapkan gunung-gunung di alasnya
Berikut pula sebuah syair menjadi curahan jiwa Zaid bin ‘Amr bin Nufail:
Apakah Rabb yang Esa ataukah seribu tuhan
Yang ‘kan kusembah ketika engkau membagi-bagi jatah?
Kutinggalkan Lata dan ‘Uzza seluruhnya
Demikianlah yang dilakukan si orang yang amat sabar
Maka bukanlah ‘Uzza yang kusembah, tidak juga kedua putrinya
Tak pula dua berhala Bani ‘Amr yang ‘kan kuziarahi
Bukan pula Ghanam yang ‘kan kusembah padahal dia adalah rabb kita saat ini,
Karena akalku masih waras
Aku heran
Pada malam-malam terdapat perkara yang mengagumkan
Begitu pula siang hari,
Orang yang berakal pasti tahu
Bahwa sungguh Allah benar-benar membinasakan banyak orang
Itulah nasib manusia fajir
Dan tersisalah golongan lain, yaitu para pelaku kebajikan
Anak kecil tumbuh sehat
Seseorang yang pingsan dan sadar kembali,
Suatu hari ia menjelaskan kepada kita
Sebagaimana tingginya ranting pohon yang subur
Akan tetapi aku menyembah Ar-Rahman Rabb-ku
Agar Rabb-ku yang Maha Pengampun berkenan mengampuni dosaku
Maka takwa kepada Allah Rabb kalian,
Jagalah ketakwaan itu
Bilamana kalian menjaganya, kalian tak ‘kan binasa
Engkau melihat orang-orang yang berbuat kebajikan
Negeri mereka adalah taman-taman surga
Dan bagi orang-orang kafir tungku api yang menyala
Serta kehinaan hidup,
Adapun bila mereka mati,
Mereka berjumpa dengan sesuatu yang menyempitkan dada.
Pergi Berpencar
Dikisahkan dari Muhammad bin Ishaq bahwa sekelompok kaum Quraisy yang terdiri dari Zaid bin Amr, Waraqah bin Naufal, Utsman bin Khuwairits, dan Abdullah bin Jahsy menemui kaum Quraisy di saat perayaan penyembahan berhala.
Setelah semuanya berkumpul, keempat orang tersebut menyendiri dan berkata, “Salinglah percaya dan hendaknya satu sama lain saling menyembunyikan rahasia.”
Salah seorang di antara mereka berkata, “Sungguh kalian benar-benar telah mengetahui, demi Allah tidaklah kaum kalian itu mendapatkan sesuatu apapun. Mereka telah menyalahi agama Ibrahim dan menyeleweng darinya. Tidak mungkin berhala itu disembah, padahal ia tidak bisa memberikan bahaya ataupun manfaat. Maka carilah agama yang paling benar menurut kalian!”
Maka segeralah mereka keluar dari Mekkah, berpencar di penjuru bumi, mendalami agama Yahudi dan Nasrani serta seluruh agama lainnya untuk mencari agama Ibrahim yang lurus.
Adapun Waraqah bin Naufal, ia masuk agama Nasrani dan mendalaminya, meneliti kitab-kitab mereka, sehingga ia mendapatkan pengetahuan yang luas dari Ahlul Kitab. Dan tidaklah dari keempat orang tersebut yang paling baik keadaannya selain Zaid bin Amr.
Ia meninggalkan penyembahan berhala dan seluruh agama baik itu Yahudi, Nasrani maupun agama-agama lainnya dan hanya beragama sesuai agama Ibrahim. Ia mengesakan Allah dan mencampakkan selain-Nya. Dan ia tidak memakan hewan-hewan sembelihan kaumnya.
Ia menampakkan secara terang-terangan kepada kaumnya atas keengganannya untuk mengikuti apa yang mereka lakukan. Karena keyakinannya itu, Khattab memusuhi Zaid.
Didorong pula oleh masyarakat Quraisy yang akhirnya mengeluarkannya dari Mekkah dan tidak diperbolehkan memasuki Mekkah lagi.
Lantaran sering mendapat siksaan dari Khattab, Zaid keluar dari Mekkah. Khattab menugaskan beberapa pemuda Quraisy untuk menjaganya dan tidak membiarkannya kembali ke Mekkah.
Zaid bin Amr tidak pernah masuk ke Mekkah kecuali dengan cara sembunyi-sembunyi.
Zaman Munculnya Nabi
Dari Ibn Ishaq, Zaid bin Amr telah berketetapan untuk keluar dari Mekkah, mengembara untuk mencari Agama Ibrahim. Istrinya, Shafiyyah, setiap kali melihat Zaid bangkit dan ingin keluar, ia akan menyeru kepada Khattab untuk memberitahunya. Maka keluarlah Zaid menuju Syam, mencari agama Ibrahim.
Begitulah seterusnya hingga ia mendatangi Mosul dan Jazirah Arab seluruhnya. Kemudian ia kembali ke Syam dan menetap di sana. Hingga datanglah seorang Rahib dari Negeri Balqa. Seluruh ilmu yang berkenaan dengan Nasrani terkumpul padanya.
Sang Rahib berkata pada Zaid, “Sesungguhnya engkau bertanya tentang agama yang engkau tidak akan mendapati seorangpun dapat membawamu kepadanya pada saat ini. Telah meninggal orang yang mengetahuinya, akan tetapi engkau dinaungi zaman munculnya seorang nabi, dan inilah zamannya.”
Diriwayatkan dari ‘Amir bin Rabi’ah, berkata, “Aku mendengar Zaid bin Amr berkata, ‘Aku menunggu seorang nabi dari keturunan Ismail, tepatnya dari Bani Muthalib. Dan aku merasa aku tidak akan dapat bertemu dengannya. Aku beriman dan mempercayainya dan aku bersaksi bahwa ia adalah seorang nabi."
"Bila umurmu panjang dan engkau dapat berjumpa dengannya, maka sampaikan salamku kepadanya, dan aku akan memberitahumu tentang sifat-sifatnya, sehingga tidak meragukan bagimu'. Aku pun menyilakannya.
Zaid menjelaskan bahwa, ‘ia orang yang tidak tinggi tidak pula pendek, rambutnya tidak lebat tidak pula tipis, warna merah tidak pernah terpisah dari matanya, tanda kenabian terletak antara kedua pundaknya, namanya adalah Ahmad, negeri ini (Mekkah) adalah tempat kelahirannya dan tempat ia diutus menjadi nabi, kemudian kaumnya mengusirnya dan menentang agama yang ia bawa, hingga ia berhijrah menuju Yatsrib (sekarang Madinah) dan berkembanglah agamanya.
Maka berhati-hatilah engkau, jangan sampai engkau terpedaya hingga tak mengikuti ajarannya. Sesungguhnya aku telah mengelilingi seluruh negeri untuk mencari agama Ibrahim, dan setiap orang yang aku tanyai dari kaum Yahudi, Nasrani dan Majusi berkata bahwa agama itu ada di belakangku.
Dan mereka mengemukakan sifat-sifatnya sebagaimana yang aku jelaskan kepadamu. Dan mereka juga berkata tidak ada lagi nabi selainnya.’”
‘Amir bin Rabi’ah berkata, “Ketika aku masuk Islam, aku memberitahu Rasulullah tentang perkataan Zaid bin Amr dan menyampaikan salam darinya, maka Rasulullah menjawab salam tersebut dan mendoakan semoga Allah memberi rahmat dan ampunan kepadanya.”
Dari Aisyah meriwayatkan, Rasulullah bersabda, “Aku masuk surga dan melihat dua tenda besar milik Zaid bin Amr.”
Keadaan Zaid disebutkan dalam sebuah hadits yang juga menyebutkan tempat kembali Waraqah bin Naufal, Khadijah binti Khuwailid, dan Abu Thalib.
عن جابر بن عبد الله : أن رسول الله صلى الله عليه وسلم سئل عن ورقة بن نوفل ؟ فقال : ( قد رأيته فرأيت عليه ثياب بياض أبصرته في بطنان الجنة وعليه السندس ) وسئل عن زيد بن عمرو بن نفيل ؟ فقال : ( يبعث يوم القيامة أمة وحده ) وسئل عن أبي طالب ؟ فقال : ( أخرجته من غمرة من جهنم إلى ضحضاح منها ) وسئل عن خديجة لأنها ماتت قبل الفرائض وأحكام القرآن ؟ فقال : ( أبصرتها على نهر في الجنة في بيت من قصب لا صخب فيه ولا نصب
Dari Jabir bin ‘Abdillah bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang Waraqah bin Naufal. Maka beliau bersabda, “Sungguh aku telah melihatnya. Aku melihatnya mengenakan pakaian putih; dia berada di antara dua bagian dalam surga dan dia memakai kain sutra tipis.”
Beliau ditanya tentang Zaid bin ‘Amr bin Nufail. Maka beliau bersabda, “Dia dibangkitkan pada hari kiamat sebagai umat seorang diri.”
Beliau ditanya tentang Abu Thalib . Maka beliau bersabda, “Aku mengeluarkannya dari kesengsaraan Jahannam menuju bagian yang lebih ringan darinya.”
Beliau ditanya tentang Khadijah, sebab dia meninggal sebelum turun ayat tentang hukum-hukum dan kewajiban dalam Al-Qur'an dan dijadikan sumber keputusan.
Maka beliau bersabda, “Aku melihatnya berada di sungai di surga, di sebuah rumah yang terbuat dari benang emas dan perak. Tak ada hiruk-pikuk di sana, tidak pula keletihan.” (Hadits hasan; lihat Shahih As-Sirah An-Nabawiyyah, 1:94)
(mhy)