Akhlak Umar bin Khattab dan Kesedihannya Ketika Nabi Wafat

Kamis, 18 Juni 2020 - 18:57 WIB
loading...
A A A


Menyusul Abu Ubaidah memberikan ikrar dengan mengatakan: "Andalah di kalangan Muslimin yang paling mulia dan yang kedua dari dua orang dalam gua, menggantikan Rasulullah dalam salat, sesuatu yang paling mulia dan utama dalam agama kita. Siapa lagi yang lebih pantas dari Anda untuk ditampilkan dan memegang pimpinan kita!"

Setelah itu berturut-turut jemaah Saqifah membaiat Abu Bakar secara aklamasi, tak ada ketinggalan kecuali Sa'ad bin Ubadah. Selesai membaiat mereka kembali ke Masjid menanti-nantikan berita dari rumah Aisyah mengenai persiapan jenazah Rasulullah.



Keesokan harinya sementara Abu Bakar sedang di Masjid, Umar tampil di depan kaum Muslimin meminta maaf mengenai pernyataannya bahwa Nabi tidak wafat. "Kepada Saudara-saudara kemarin saya mengucapkan kata-kata yang tidak terdapat dalam Qur'an, ataupun suatu pesan yang tak pernah disampaikan Rasulullah kepada saya. Tetapi ketika itu saya berpendapat bahwa Rasulullah akan mengemudikan segala urusan kita dan akan tetap demikian sampai akhir hidup kita. Yang tetap ditinggalkan untuk kita oleh Allah ialah Kitab-Nya, yang dengan itu telah membimbing Rasul-Nya. Kalau kita berpegang teguh pada Kitabullah, kita akan mendapat bimbingan Allah, yang juga dengan itu Allah telah membimbing Rasul-Nya. Allah telah memutuskan segala persoalan kita demi kebaikan kita, sahabat Rasulullah Sallallahu 'alaihi wa sallam dan yang kedua dari dua orang ketika di dalam gua, maka marilah kita baiat."



Semua orang kemudian sama-sama memberikan baiat (ikrar) yang dikenal sebagai Baiat Umum setelah Baiat Saqifah.

Haekal mengatakan inilah sikap Umar yang pertama sepeninggal Rasulullah. Seperti sudah kita saksikan, ini merupakan sikapnya yang sangat bijaksana, berpandangan jauh ke depan dan strategi politik yang baik sekali.

Ini jugalah sikapnya dalam mencalonkan pimpinan umat. Kemampuannya membuktikan ia dapat mengemudikan negara yang baru tumbuh ini, dengan tidak menghiraukan kepentingan pribadinya, dan segala pemikirannya hanya ditujukan untuk kepentingan umat dan kedisiplinan yang tinggi. ( ).

Menurut Haekal, karena tak dapat menahan duka dengan wafatnya Rasulullah yang dirasakannya sangat tiba-tiba, Umar tidak percaya bahwa yang demikian dapat terjadi. Sesudah kemudian yakin bahwa Rasulullah sudah wafat, pikiran sehatnya kini dapat menguasai perasaannya, kesedihannya tak sampai mempengaruhinya untuk berbicara dengan Abu Ubaidah dalam menghadapi bahaya yang sedang mengancam umat Islam: bagaimana mengendalikan mereka serta mengarahkan strategi politik umat.

la tidak ingin berkuasa untuk dirinya, walaupun ia mampu untuk itu. Bahkan apa yang dipikirkannya itu bersih dari segala nafsu dan kepentingan pribadi. Oleh karena itu cepat-cepat ia membaiat Abu Ubaidah. ( )

Tetapi tatkala orang kepercayaan umat ini mengingatkannya bahwa dalam soal ini Abu Bakarlah yang lebih tepat dan lebih berhak dari semua orang, tanpa ragu pendapatnya langsung disetujuinya. Tak lama ketika diketahuinya ada pertemuan di Saqifah, ia pun memanggil Abu Bakar untuk menghadapi kaum Ansar itu.

Juga ia tidak mundur untuk menghadapi mereka ketika dikatakan kepadanya bahwa Anshar sudah mengambil keputusan dan tidak akan mengubah keputusannya. Kepergiannya bersama kedua sahabatnya ke Saqifah itu telah menentukan pengangkatan Abu Bakar dan bersatunya kembali umat Islam. (Baca juga: Membakar Masjid Kaum Munafik, Matinya Abdullah Bin Ubay )
(mhy)
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3198 seconds (0.1#10.140)