Inilah Alasan Nabi Muhammad SAW Poligami
loading...
A
A
A
Beragam alasan mengapa Nabi Muhammad SAW poligami. Sepanjang hidupnya, Rasulullah SAW menikahi 11 orang perempuan, ada pula pendapat yang mengatakan jumlahnya adalah 13 orang. Semuanya itu, motifnya bukan karena terdorong oleh nafsu birahi kepada perempuan. Bukan pula atas dasar cinta yang membara.
Syaikh Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya berjudul "Malaamihu Al Mujtama' Al Muslim Alladzi Nasyuduh" dan diterjemahkan menjadi "Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur'an & Sunnah" mengatakan pada masa pra-Islam, belum ada ketentuan mengenai jumlah wanita yang boleh dikawin. Belum ada batas, patokan, ikatan, dan syarat. Jadi, seorang laki-laki boleh saja kawin dengan sekehendak hatinya.
Hal ini memang berlaku pada bangsa-bangsa terdahulu, sehingga diriwayatkan dalam Perjanjian Lama bahwa Nabi Daud mempunyai 100 orang istri dan Nabi Sulaiman mempunyai 700 orang istri serta tiga 300 orang gundik.
Muhammad Husain Haekal dalam "Sejarah Hidup Muhammad" menuturkan Nabi Muhammad hidup hanya dengan Khadijah selama 17 tahun sebelum kerasulannya dan sebelas tahun sesudah itu; dan dalam pada itu pun sama sekali tak terlintas dalam pikirannya ia ingin kawin lagi dengan wanita lain.
Baik pada masa Khadijah masih hidup, atau pun pada waktu ia belum kawin dengan Khadijah, belum pernah terdengar bahwa ia termasuk orang yang mudah tergoda oleh kecantikan wanita-wanita yang pada waktu itu justeru wanita-wanita belum tertutup.
Selama 28 tahun Nabi Muhammad hanya beristerikan Khadijah seorang, tiada yang lain. Setelah Khadijah wafat, ia kawin dengan Saudah binti Zam'ah , janda Sakran bin 'Amr bin 'Abd Syams.
Haekal mengatakan tidak ada suatu sumber yang menyebutkan, bahwa Saudah adalah seorang wanita yang cantik, atau berharta atau mempunyai kedudukan yang akan memberi pengaruh karena hasrat duniawi dalam perkawinannya itu.
Melainkan soalnya ialah, Saudah adalah janda yang suaminya termasuk mula-mula masuk lslam, termasuk orang-orang yang dalam membela agama, turut memikul pelbagai macam penderitaan, turut berhijrah ke Abisinia setelah dianjurkan Nabi hijrah ke seberang lautan itu.
Saudah juga sudah memeluk Islam dan ikut hijrah bersama-sama, ia juga turut sengsara, turut menderita. Nabi Muhammad mengawininya untuk memberikan perlindungan hidup dan untuk memberikan tempat setaraf dengan Umm'l-Mu'minin.
Adapun Aisyah dan Hafshah adalah putri-putri dua orang pembantu dekatnya: Abu Bakar dan Umar bin Khattab . Segi inilah yang membuat Nabi Muhammad mengikatkan diri dengan kedua orang itu dengan ikatan semenda perkawinan dengan putri-putri mereka.
Sama juga halnya ia mengikatkan diri dengan Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib dengan jalan mengawinkan kedua putrinya kepada mereka.
Haekal mengatakan kalaupun benar kata orang mengenai Aisyah serta kecintaan Nabi Muhammad SAW kepadanya itu, maka cinta itu timbul sesudah perkawinan, bukan ketika kawin.
Gadis itu dipinangnya kepada orangtuanya tatkala ia berusia sembilan tahun dan dibiarkannya dua tahun sebelum perkawinan dilangsungkan. Logika tidak akan menerima kiranya, bahwa dia sudah mencintainya dalam usia yang masih begitu kecil.
Hal ini diperkuat lagi oleh perkawinannya dengan Hafsah binti Umar yang juga bukan karena dorongan cinta berahi, dengan ayahnya sendiri sebagai saksi.
"Sungguh," kata Umar, "Tatkala kami dalam zaman jahiliah, wanita-wanita tidak lagi kami hargai. Baru setelah Tuhan memberikan ketentuan tentang mereka dan memberikan pula hak kepada mereka."
Dan katanya lagi: "Ketika saya sedang dalam suatu urusan tiba-tiba isteri saya berkata: 'Coba kau berbuat begini atau begitu." Jawab saya: "Ada urusan apa engkau di sini, dan perlu apa engkau dengan urusanku!"
Dia pun membalas: "Aneh sekali engkau Umar. Engkau tidak mau ditentang, padahal puterimu menentang Rasulullah SAW. sehingga ia gusar sepanjang hari."
Kata Umar selanjutnya: "Kuambil mantelku, lalu aku keluar, pergi menemui Hafsah. "Anakku," kataku kepadanya. "Engkau menentang Rasulullah SAW sampai ia merasa gusar sepanjang hari?!"
Syaikh Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya berjudul "Malaamihu Al Mujtama' Al Muslim Alladzi Nasyuduh" dan diterjemahkan menjadi "Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur'an & Sunnah" mengatakan pada masa pra-Islam, belum ada ketentuan mengenai jumlah wanita yang boleh dikawin. Belum ada batas, patokan, ikatan, dan syarat. Jadi, seorang laki-laki boleh saja kawin dengan sekehendak hatinya.
Hal ini memang berlaku pada bangsa-bangsa terdahulu, sehingga diriwayatkan dalam Perjanjian Lama bahwa Nabi Daud mempunyai 100 orang istri dan Nabi Sulaiman mempunyai 700 orang istri serta tiga 300 orang gundik.
Muhammad Husain Haekal dalam "Sejarah Hidup Muhammad" menuturkan Nabi Muhammad hidup hanya dengan Khadijah selama 17 tahun sebelum kerasulannya dan sebelas tahun sesudah itu; dan dalam pada itu pun sama sekali tak terlintas dalam pikirannya ia ingin kawin lagi dengan wanita lain.
Baik pada masa Khadijah masih hidup, atau pun pada waktu ia belum kawin dengan Khadijah, belum pernah terdengar bahwa ia termasuk orang yang mudah tergoda oleh kecantikan wanita-wanita yang pada waktu itu justeru wanita-wanita belum tertutup.
Selama 28 tahun Nabi Muhammad hanya beristerikan Khadijah seorang, tiada yang lain. Setelah Khadijah wafat, ia kawin dengan Saudah binti Zam'ah , janda Sakran bin 'Amr bin 'Abd Syams.
Haekal mengatakan tidak ada suatu sumber yang menyebutkan, bahwa Saudah adalah seorang wanita yang cantik, atau berharta atau mempunyai kedudukan yang akan memberi pengaruh karena hasrat duniawi dalam perkawinannya itu.
Melainkan soalnya ialah, Saudah adalah janda yang suaminya termasuk mula-mula masuk lslam, termasuk orang-orang yang dalam membela agama, turut memikul pelbagai macam penderitaan, turut berhijrah ke Abisinia setelah dianjurkan Nabi hijrah ke seberang lautan itu.
Saudah juga sudah memeluk Islam dan ikut hijrah bersama-sama, ia juga turut sengsara, turut menderita. Nabi Muhammad mengawininya untuk memberikan perlindungan hidup dan untuk memberikan tempat setaraf dengan Umm'l-Mu'minin.
Adapun Aisyah dan Hafshah adalah putri-putri dua orang pembantu dekatnya: Abu Bakar dan Umar bin Khattab . Segi inilah yang membuat Nabi Muhammad mengikatkan diri dengan kedua orang itu dengan ikatan semenda perkawinan dengan putri-putri mereka.
Sama juga halnya ia mengikatkan diri dengan Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib dengan jalan mengawinkan kedua putrinya kepada mereka.
Haekal mengatakan kalaupun benar kata orang mengenai Aisyah serta kecintaan Nabi Muhammad SAW kepadanya itu, maka cinta itu timbul sesudah perkawinan, bukan ketika kawin.
Gadis itu dipinangnya kepada orangtuanya tatkala ia berusia sembilan tahun dan dibiarkannya dua tahun sebelum perkawinan dilangsungkan. Logika tidak akan menerima kiranya, bahwa dia sudah mencintainya dalam usia yang masih begitu kecil.
Hal ini diperkuat lagi oleh perkawinannya dengan Hafsah binti Umar yang juga bukan karena dorongan cinta berahi, dengan ayahnya sendiri sebagai saksi.
"Sungguh," kata Umar, "Tatkala kami dalam zaman jahiliah, wanita-wanita tidak lagi kami hargai. Baru setelah Tuhan memberikan ketentuan tentang mereka dan memberikan pula hak kepada mereka."
Dan katanya lagi: "Ketika saya sedang dalam suatu urusan tiba-tiba isteri saya berkata: 'Coba kau berbuat begini atau begitu." Jawab saya: "Ada urusan apa engkau di sini, dan perlu apa engkau dengan urusanku!"
Dia pun membalas: "Aneh sekali engkau Umar. Engkau tidak mau ditentang, padahal puterimu menentang Rasulullah SAW. sehingga ia gusar sepanjang hari."
Kata Umar selanjutnya: "Kuambil mantelku, lalu aku keluar, pergi menemui Hafsah. "Anakku," kataku kepadanya. "Engkau menentang Rasulullah SAW sampai ia merasa gusar sepanjang hari?!"